Kamis, 29 September 2011

Kisah Mengharukan Kasih Sayang Rasul SAW

Pada dasarnya Islam adalah agama kasih sayang. Hal ini bisa dilihat dari awal sejarah Kerasulan Muhammad saw. Rasul mengajak masyarakat Quraish untuk memeluk Islam dengan cara yang santun dan bijak. Setelah Hijrah ke Madinah, Rasul saw tetap mengedepankan kasih sayang. Hal ini dapat tercermin dalam sebuah kisah yang cukup masyhur.

Di masa Rasul telah hijrah ke Madinah hidup seorang Yahudi yang keadaannya cukup memprihatinkan. Dia buta dan hidup dengan cara menjadi pengemis di sudut pasar Madinah. Setiap hari dia selalu berkata kepada setiap orang yang mendekatinya ," Hai saudaraku, jangan kamu dekati Muhammad, dia itu orang gila, pembohong, dia tukang sihir. Jika kalian mendekatinya maka akan dipengaruhinya." Begitulah ketidaksukaannya kepada Muhammad saw.


Setiap pagi Rasul saw mendatangi si pengemis buta dengan membawa makanan, tanpa terucap satu patah kata Rasul menyuapkan makanan itu kepada si pengemis. Sedangkan Si pengemis buta tidak mengetahui bahwa yang menyuapinya adalah Rasulullah saw. Beliau selalu melakukan hal tersebut sampai beliau wafat. Sehingga setelah wafatnya Rasul, tidak ada lagi orang yang membawakan makanan dan menyuapi si pengemis buta.

Suatu ketika Abu Bakar RA berkunjung ke rumah anaknya yaitu Aisyiah RA yang merupkan istri Rasul saw.
Abu Bakar bertanya kepada Aisyiah, "Wahai anaku, adakah kebiasaan kekasihku (Rasul) yang belum aku kerjakan?

Aisyiah RA menjawab, "Wahai Ayahanda, Engkau adalah seorang ahli sunnah dan hampir tidak ada satu kebiasaan Rasul yang belum Ayah lakukan kecuali satu saja?
Apakah itu? Tanya Abu Bakar.

Setiap pagi Rasulullah SAW selalu pergi ke ujung pasar dengan membawakan makan untuk seorang pengemis Yahudi buta yang ada di sana, "Kata Aisyah RA.

Pagi harinya, Abu Bakar pergi ke ujung pasar dengan membawa makanan untuk si pengemis itu.
Saat Beliau mulai menyuapi si pengemis buta, si pengemis marah sambil menghardik, "Siapakah kamu?"
Abu Bakar Menjawab, "Aku orang yang biasa (mendatangimu)."
"Bukan! Engkau bukan orang yang biasa mendatangiku." Bantah si pengemis itu.
"Bila ia datang kepadaku tidak susah tangan ini memegang dan tidak susah mulut ini mengunyah. Orang yang selalu mendatangiku itu, selalu menyuapiku tapi telebih dulu makananya dihaluskan, baru ia berikan padaku." Pengemis itu melanjutkan perkataannya.

Abubakar RA tidak dapat menahan air matanya, ia menangis sambil berkata kepada pengemis itu, "Aku memang bukan orang yang biasa datang padamu. Aku adalah salah seorang dari sahabatnya, orang yang mulia itu telah tiada. Ia adalah Muhammad Rasulullah SAW."

Seketika itu juga pengemis itu pun menangis mendengar penjelasan Abubakar RA, kemudian berkata, "Benarkah demikian? Selama ini aku selalu menghinanya, memfitnahnya, ia tidak pernah memarahiku sedikitpun, ia mendatangiku dengan membawa makanan setiap pagi, ia begitu mulia."

Pengemis Yahudi buta tersebut akhirnya bersyahadat di hadapan Abubakar RA saat itu juga dan sejak hari itu menjadi muslim.

Read more: Kisah Mengharukan Kasih Sayang Rasul SAW - IslamWiki http://islamwiki.blogspot.com/2011/09/kisah-mengharukan-kasih-sayang-rasul.html#ixzz1dDmDaDx1
Under Creative Commons License: Attribution

Selasa, 27 September 2011

Dilarang Pamer Aurat

Oleh Paiman

Di zaman ini wanita-wanita yang berjalan berlenggak-lenggok mengenakan pakaian ketat lagi transparan hingga membentuk lekuk tubuhnya bahkan nyaris telanjang tampaknya sudah bukan lagi menjadi pemandangan yang asing. Pemandangan nggak halal kayak gitu tersedia gratis sepanjang hari dari pagi hingga malam dan di hampir setiap tempat, di jalan-jalan, mall, pasar, bahkan di kampus.

Aku heran, kok mereka ndak malu ya auratnya kelihatan, pakai pakaian serba minim kayak gitu? Atau jangan-jangan sengaja lagi, auratnya dipamer-pamerkan. Hiii…! Rasa malu yang menjadi salah satu ciri agama Islam yang paling jelas dari akhlak-akhlak mulia yang lain ini kayaknya sudah mereka tanggalkan.

Amat disayangkan, karena jauhnya umat Islam dari agamanya dan enggannya mereka mempelajari agamanya menyebabkan mereka terjatuh dari kerendahan kepada kerendahan yang lain dan akan senantiasa jatuh sehingga benar-benar turun di kerak Neraka yang paling bawah.

Malu adalah termasuk dari iman, apabila hilang rasa malu maka akan hilang bersamanya iman. Dari Ibnu Umar Rodliyallohu ‘anhu berkata, “Rosululloh Sholallohu alaihi wassalam bersabda, ‘Rasa malu dan iman, digandengkan bersamaan, maka apabila diangkat salah satunya, hilang yang lain’.” (Hadits Riwayat Al-Hakim)

Ngakunya Muslim, tapi masih memakai rok mini dengan kaos 'you can see' yang kelihatan pusarnya. Kalau sudah gitu, nggak ada lagi ciri-ciri keIslaman pada dirinya, sehingga sulit dibedakan mana wanita Muslimah dan mana wanita kafir, karena sama-sama nggak pakai Jilbab.

Kalaupun pakai, yah cuman asal-asalan saja. Padahal yang namanya Jilbab itu harus menutupi seluruh tubuh, tidak transparan, tidak ketat, tidak menyerupai pakaian wanita kafir dan laki-laki, dan tidak terhiasi oleh perhiasan yang menarik perhatian orang lain agar tidak termasuk golongan wanita-wanita yang ber-tabarruj (mempertontonkan) perhiasan.

Aurat adalah perhiasan yang semestinya dijaga dengan baik. Tak sepantasnya dipamer-pamerkan dan diobral dengan murah. Mengobral aurat pada setiap orang, seolah membiarkan barang yang amat berharga dijadikan keroyokan banyak orang. Dengan begitu, status berhargapun berubah menjadi barang yang rendah dan murah, karena setiap orang akan mudah menikmatinya. Itukah yang diinginkan para wanita?

Wahai saudariku, pakailah dan biasakanlah berhijab karena hal itu bisa menjagamu daari fitnah. Hijab dan penutup wajahmu adalah kemuliaan di sisi Alloh Ta’ala serta kebahagiaan bagimu di dunia dan akhirat.

Di dunia, hijab sebagai pertahanan kemuliaan dan kehormatan sedang di akhirat ada pahala yang besar dari Alloh. Coba pikirkan, adakah yang namanya kasus perkosaan itu dilakukan oleh laki-laki hidung belang terhadap wanita yang tertutup seluruh tubuhnya, yang menjalankan sunnah-sunnah Rosululloh Sholallohu alaihi wassalam baik itu dalam berbusana maupun dalam pergaulanya?

Kalaupun ada, pasti jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Tak disangkal bahwa kebanyakan yang terjadi adalah terhadap wanita yang terbuka auratnya sehingga menimbulkan syahwat kaum lelaki yang sudah tak terkendali lagi.

Karena itu, ya Ukhti, janganlah ragu untuk memakai Jilbab yang sesuai syar’i. Berpakaianlah yang sesuai dengan adab-adab yang telah ditetapkan oleh syariat ini. Gunakan kain yang tebal untuk menutupi tubuhmu dan hendaknya tidak berwarna menyolok sehingga mengundang fitnah atau menjadi godaan bagi kaum lelaki. Paling baik adalah Jilbab yang besar dan berwarna gelap.

Tahukah kamu tentang sebuah teknologi kamera tembus pandang? Ya, alat itu dapat memperlihatkan apa yang ada di balik pakaian yang dikenakan seseorang. Kabarnya alat itu tidak akan mampu menembus Jilbab-Jilbab yang besar, tebal, dan berwarna hitam yang dikenakan oleh para Muslimah yang benar-benar konsisten menjalankan syari’at ini.

Apa penyebabnya? Tidak lain karena teknologi ber-inframerah itu sifatnya memang tidak dapat menembus benda yang berwarna hitam. Subhanalloh…inilah indahnya syari’at yang sempurna ini. Tidaklah Alloh dan Rosul-Nya memerintahkan sesuatu kecuali hal itu jelas sekali manfaatnya. Wallohu ta’ala a’lam.

Minggu, 25 September 2011

Muhammad bin Abdillah Al-Mahdi, Sang Khalifah Rasyidah

Nama laki-laki yang dijanjikan ini seperti nama Rasulullah, dan nama ayahnya seperti nama ayah Rasulullah. Dia berasal dari keturunan putri Rasulullah, dari anak cucu Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Nama lengkapnya adalah Muhammad bin ‘Abdullah Al-’Alawi Al-Hasani Al-Qurasyi. Rasulullah menggelarinya dengan Al-Mahdi dan memberi kabar gembira dengan kemunculannya.

Imam Ibnul Atsir Al-Jazri berkata, “Makna Al-Mahdi adalah orang yang mendapatkan petunjuk dari Allah kepada kebenaran. Selanjutnya Al-Mahdi sering digunakan untuk nama sehingga jadilah seperti nama-nama yang lain pada umumnya. Dengan itulah Al-Mahdi diberi nama Al-Mahdi, hal mana Rasulullah memberi kabar gembira dengan kedatangannya di akhir zaman.”

Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam hadits-hadits yang shahih, di antaranya:

Pertama, hadits Abdullah bin Mas’ud. Dari ‘Abdullah bin Mas’ud katanya, Rasulullah bersabda,
“Kiamat tidak akan terjadi sampai semua manusia dipimpin oleh seseorang dari Ahlulbaitku. Namanya sama dengan namaku, nama ayahnya sama dengan nama ayahku. Ia akan memenuhi bumi dengan keadilan.”

Kedua, hadits Ali bin Abi Thalib: Dari ‘Ali bin Abu Thalib dari Nabi, beliau bersabda,
“Al-Mahdi dari kami, Ahlulbait; Allah akan menjadikannya shalih dalam satu malam.”

Ketiga, hadits Abu Sa’id Al-Khudri. Dari Abu Sa’id Al-Khudri, ia berkata: Rasulullah saw bersabda,
“Al-Mahdi dari kalangan kami, Ahlulbait. Ia berhidung mancung dan berdahi lebar. Ia akan memenuhi bumi dengan keadilan sebagaimana telah terpenuhi dengan laku durjana dan kezaliman. Ia akan hidup selama sekian.” Lantas beliau membentangkan tangan kiri dan dua jari tangan kanan beliau; jari telunjuk dan ibu jari. Beliau menyatakan demikian tiga kali.

Keempat, hadits Ummu Salamah. Dari Ummu Salamah bahwasanya Rasulullah bersabda,
“Al-Mahdi termasuk keturunanku, berasal dari putera Fathimah.”

Nasab Al-Mahdi bersambung sampai kepada Bait Nabawi dari jalur Hasan bin ‘Ali bin Abu Thalib. Sebagaimana dijelaskan dalam Sunan Abu Dawud dari Abu Ishaq disebutkan bahwa ‘Ali memandangi puteranya, Hasan seraya berkata, “Puteraku ini akan menjadi orang besar sebagaimana disebutkan oleh Nabi saw; dan akan keluar dari sumsumnya seorang laki-laki bernama sama dengan nama Nabi kalian; akhlaknya sama dengan akhlak Nabi kalian tetapi tidak dengan perawakannya.” Lantas ia menyebutkan kisah dan berkata, “Ia akan memenuhi bumi dengan keadilan.”

Imam Mula ‘Ali Al-Qari berkata, “Hadits ini adalah dalil yang tegas atas apa yang telah kami paparkan, bahwa Al-Mahdi termasuk keturunan Hasan.”

Ibnu Katsir menulis, “Al-Mahdi termasuk Ahlulbait, keturunan Fathimah puteri Rasul, keturunan Hasan dan bukan Husain.”

Adapun makna ‘dari ‘itrahku’, imam Ibnul Atsir Al-Jazri berkata, “‘Itrah seseorang adalah kerabat khususnya. ‘Itrah Nabi adalah Bani ‘Abdul Muthalib. Ada ulama yang mengatakan maksudnya adalah Ahlulbait Nabi yang terdekat yaitu beliau dan anak-anak beliau serta Ali dan anak-anaknya. Ada juga ulama yang mengatakan bahwa ‘itrah beliau adalah Ahlulbait yang dekat dan yang jauh… Pendapat yang terkenal dan makruf adalah bahwa maksud ‘itrah beliau adalah Ahlulbait beliau yang diharamkan menerima zakat.”

As Samhudi berkata, “Dari beberapa penjelasan hadits di atas (tentang Al-Mahdi) tersebut ditetapkan bahwa Al-Mahdi merupakan keturunan Fatimah, sedang dalam sunan Abu Dawud disebutkan bahwa dia anak keturunan Hasan yang meninggalkan kekhalifahan karena Allah dan belas kasih kepada umatnya. Khalifah yang hak ini akan diangkat jika benar-benar dibutuhkan oleh bumi yang telah dipenuhi oleh kedzaliman. Inilah sunnatullah kepada para hamba-Nya. Al-Hasan telah meninggalkan kekhilafan yang seharusnya menjadi miliknya, bahkan ia juga melarang Al-Husein dari kehilafahan juga. Hal ini disebutkan pada malam terbunuhnya karena sayang pada saudaranya.

Ciri-ciri Fisiknya
Muhammad bin Abdillah Al-Mahdi adalah seorang pemuda yang usianya hampir mencapai empat puluh tahun. Warna kulitnya coklat, hidungnya mancung, dahinya lebar, bagian tengahnya agak cembung dan indah dilihat. Gigi serinya berkilat indah. Berjenggot tebal. Pada pipinya ada tahi lalat. Wajahnya seperti bintang bercahaya. Postur tubuhnya tegap dan tergolong pria yang memiliki daging sedikit (tidak gemuk). Bicaranya gagap, jika ucapannya lambat, ia memukul paha kirinya dengan tangan kanannya, sehingga ucapannya menjadi lancar. Sifat sifat di atas termuat dalam beberapa hadits shahih, namun sebagian hanya tercantum dalam atsar yang masih diperselisihkan sanadnya.

Dengan demikian, di sana hanya ada dua tanda khusus pada fisik Al-Mahdi yang berpijak pada riwayat-riwayat shahih. Pertama pada rambut dan dahinya, dan kedua hidungnya, sebagaimana diisyaratkan oleh Nabi pada hadits-hadits berikut:

1. Dari Abu Sa’id Al-Khudri, ia berkata: Rasulullah bersabda,
“Al-Mahdi dari (keturunan)ku. Berdahi lebar dan berhidung mancung. Ia akan memenuhi bumi dengan keadilan sebagaimana telah terpenuhi dengan kezhaliman dan laku durjana. Ia akan berkuasa selama tujuh tahun.”
Sifat yang pertama, ia ajlal jabhah, berdahi lebar. Maknanya, rambut kepalanya rontok sampai separuhnya.

2. Hadits ini memunyai penguat dari riwayat Al-Bazzar dengan lafal yang serupa. Hadits dari jalur lain yang menjadi penguat atas hadits ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Adi di dalam Al-Kamil fi Adh-Dhu’afa’ dari ‘Abdurrahman bin ‘Auf bahwasanya Rasulullah bersabda,
“Sungguh, Allah akan mengutus dari keturunanku seorang laki-laki yang bergigi rapi dan berdahi lebar, ia akan memenuhi bumi dengan keadilan. Harta benda akan berlimpah ruah pada zamannya.”
Hadits ini telah menambah satu sifat, ialah gigi yang rapi. Ini adalah sifat yang baik di wajah.

Karakteristik akhlaknya
Beberapa nash menetapkan bahwa Al-Mahdi menyerupai Nabi dalam akhlaknya dan bahwa Allah akan menjadikannya shalih dalam satu malam, menyiapkannya dengan iman dan akhlak; supaya siap memimpin dan menuntun kaum muslimin. Dan hal itu sama sekali tidak sulit bagi Allah.Berikut ini nash-nash yang menetapkannya:

1. Di dalam kitab Shahihnya Ibnu Hibban membuat satu bab berjudul ‘Penjelasan bahwa akhlak Al-Mahdi menyerupai akhlak Al-Mushthafa ‘. Lantas ia menghadirkan hadits Ibnu Mas’ud bahwa Nabi bersabda, “Akan keluar seseorang dari umatku, namanya sama dengan namaku, akhlaknya sama dengan akhlakku; ia akan memenuhi bumi dengan keadilan sebagaimana telah terpenuhi dengan kezhaliman dan laku durjana.”

2. Dari Abu Ishaq, katanya ‘Ali bin Abi Thalib pernah memandangi puteranya, Hasan, seraya berkata, “Puteraku ini akan menjadi orang besar sebagaimana disebutkan oleh Nabi; dan akan keluar dari sumsumnya seorang laki-laki bernama sama dengan nama Nabi kalian; akhlaknya sama dengan akhlak Nabi kalian tetapi tidak dengan perawakannya.” Ali menyebutkan kisah, kemudian berkata: Ia akan memenuhi bumi dengan keadilan.”

Saat menjelaskan hadits ini, Al-Abadi berkata, “Akhlaknya sama dengan akhlak Nabi kalian tetapi tidak dengan perawakannya; maknanya perilakunya sama tetapi tidak dengan postur tubuhnya.”

3. Dari ‘Ali bin Abu Thalib dari Nabi, beliau bersabda, “Al-Mahdi dari kami, Ahlulbait; Allah akan menjadikannya shalih dalam satu malam.”

Ibnu Katsir menjelaskan maksud ‘menjadikannya shalih dalam satu malam’ adalah bahwa Allah menerima taubatnya, memberikan taufik baginya, memahamkannya, dan menunjukinya; setelah sebelumnya tidak demikian.

As-Suyuthi berkata, “Sabda Nabi ‘menjadikannya shalih dalam satu malam’ maksudnya shalih (baca: siap) untuk memimpin dan menjadi khalifah.”

Kedua pengertian ini, wallahu a’lam, sama-sama benar. Bisa dikatakan bahwa makna ‘menjadikannya shalih dalam satu malam’ adalah kedua-duanya; Allah menjadikannya shalih dengan taubat dan inabat, serta menjadikannya siap untuk memimpin dan menjadi khalifah.

Sabtu, 24 September 2011

Keluarnya Dajjal di penghujung ‘Fitnah Duhaima’

Salah satu persoalan yang perlu mendapat perhatian serius tentang huru-hara menjelang kiamat adalah fenomena Fitnah Duhaima’. Duhaima’ yang bermakna kelam atau gelap gulita merupakan satu fitnah yang mengiringi kedatangan Dajjal. Maka menjadi suatu hal yang sangat urgen untuk mengetahui hakikat dan bentuk dari fitnah ini. Sebagian ulama menyatakan bahwa fitnah ini belum terjadi dan sebagian lainnya mengatakan bahwa ia sudah (sedang) terjadi.
Riwayat yang menyebutkan akan terjadinya fitnah ini adalah sebagaimana yang dikisahkan dari Abdullah bin ‘Umar bahwasanya ia berkata : “Suatu ketika kami duduk-duduk di hadapan Rasulullah saw memperbincangkan soal berbagai fitnah, beliau pun banyak bercerita mengenainya. Sehingga beliau juga menyebut tentang Fitnah Ahlas. Maka, seseorang bertanya: ‘Apa yang dimaksud dengan fitnah Ahlas?’ Beliau menjawab : ‘Yaitu fitnah pelarian dan peperangan. Kemudian Fitnah Sarra’, kotoran atau asapnya berasal dari bawah kaki seseorang dari Ahlubaitku, ia mengaku dariku, padahal bukan dariku, karena sesungguhnya waliku hanyalah orang-orang yang bertakwa. Kemudian manusia bersepakat pada seseorang seperti bertemunya pinggul di tulang rusuk, kemudian Fitnah Duhaima’ yang tidak membiarkan ada seseorang dari umat ini kecuali dihantamnya. Jika dikatakan : ‘Ia telah selesai’, maka ia justru berlanjut, di dalamnya seorang pria pada pagi hari beriman, tetapi pada sore hari men­jadi kafir, sehingga manusia terbagi menjadi dua kemah, kemah keimanan yang tidak mengandung kemunafikan dan kemah kemunafikan yang tidak mengandung keimanan. Jika itu sudah terjadi, maka tunggulah kedatangan Dajjal pada hari itu atau besoknya.[1]

Jika melihat dari teks yang menjelaskan berbagai bentuk fitnah di atas, nampaknya hakikat dan terjadinya fitnah-fitnah tersebut saling berhubungan satu sama lain. Peristiwa yang satu akan menjadi penyebab munculnya fitnah berikutnya. Sebagaimana tersebut dalam nash di atas, beliau mengungkapkan dengan kalimat “tsumma” yang bermakna kemudian. Ini menunjukkan bahwa fitnah-fitnah tersebut akan terjadi dalam beberapa waktu, yang ketika hampir berakhir atau masih terus terjadi hingga puncaknya, maka dilanjutkan dengan fitnah berikutnya. Kalimat “tsumma” menunjukkan jeda waktu yang tidak pasti, namun menunjukkan makna “tartib” (kejadian yang berurutan).

Fitnah pertama yang beliau sebutkan adalah Fitnah Ahlas. Tentang realita fitnah Ahlas ini, sebagian ada yang berpendapat bahwa ia sudah terjadi semenjak zaman para sahabat, dimana Al-Faruq ‘Umar bin Khaththab adalah merupakan dinding pembatas antara kaum Muslim­in dengan fitnah ini, sebagaimana yang diterangkan Nabi saw ketika beliau berkata kepada ‘Umar: “Sesungguhnya antara kamu dan fitnah itu terdapat pintu yang akan hancur.”[2] Dan sabda Rasul saw ini memang menjadi kenyataan dimana ketika ‘Umar baru saja meninggal dunia, hancurlah pintu tersebut dan terbukalah fitnah ini terhadap kaum Muslimin dan ia tidak pernah berhenti sampai sekarang ini. Sejak wafatnya Umar Ibnul Khaththab, maka kaum muslimin terus ditempeli dengan fitnah tersebut.

Adapun Fitnatu Sarra’, maka Imam Ali Al-Qaari menyatakan yang dimaksud dengan fitnah ini adalah nikmat yang menyenangkan manusia, berupa kesehatan, kekayaan, selamat dari musibah dan bencana. Fitnah ini disambungkan dengan sarra’ karena terjadinya disebabkan timbul / adanya berbagai kemaksiatan karena kehidupan yang mewah, atau karena kekayaan tersebut menyenangkan musuh.

Selanjutnya tentang Fitnah Duhaima. Kata duhaima’ merupakan bentuk tasghir (pengecilan) dari kata dahma’, yang berarti hitam kelam dan gelap. Fitnah ini akan meluas mengenai seluruh umat ini. Meskipun manusia menyatakan fitnah tersebut telah berhenti, ia akan terus berlangsung dan bahkan mencapai puncaknya. [3]

Ada beberapa ciri khusus dari fitnah ini yang tidak dimiliki oleh fitnah sebelumnya.

1. Fitnah ini akan menghantam semua umat Islam (lebih khusus lagi adalah bangsa Arab). Tidak seorangpun dari warga muslim yang akan terbebas dari fitnah ini. Beliau menggunakan lafadz “lathama” yang bermakna menghantam, atau memukul bagian wajah dengan telapak tangan (menempeleng/menampar). Kalimat ini merupakan gambaran sebuah fitnah yang sangat keras dan ganas.
2. Fitnah ini akan terus memanjang, dan tidak diketahui oleh manusia kapan ia akan berakhir. Bahkan ketika manusia ada yang berkata bahwa fitnah itu sudah berhenti, yang terjadi justru sebaliknya; ia akan terus memanjang dan sulit diprediksi kapan berhentinya. Inilah maksud ucapan beliau : Jika dikatakan : ‘Ia telah selesai’, maka ia justru berlanjut.
3. Efek yang ditimbulkan oleh fitnah ini adalah yaitu munculnya sekelompok manusia yang di waktu pagi masih memiliki iman, namun di sore hari telah menjadi kafir. Ini merupakan sebuah gambaran tentang kedahsyatan fitnah tersebut. Fitnah ini akan mencabut keimanan seseorang hanya dalam bilangan satu hari, dan ini juga merupakan sebuah gambaran betapa cepatnya kondisi seseorang itu berubah.
4. Beliau menjelaskan bahwa proses terjadinya kemurtadan pada sebagian umat Islam yang begitu cepat itu akan terus berlangsung dalam waktu yang tidak diketahui. Manusia terus berguguran satu persatu dalam kekufuran, dan puncak dari kejadian ini adalah terbelahnya manusia dalam dua kelompok (fusthathain); kelompok iman yang tidak tercampur dengan kenifakan dan kelompok munafik yang tidak memiliki keimanan.

Benarkah Fitnah Duhaima’ ini sudah terjadi?

Sebagian pemerhati hadits-hadits fitnah berpendapat bahwa fitnah duhaima’ itu sudah terjadi dan terus berlangsung. Di antara realita dari fitnah tersebut adalah:

1. Fitnah demokrasi yang dipaksakan oleh barat kepada dunia. Sebenarnya demokrasi sudah dimulai dari Prancis pada sekitar abad 18. Saat itu ideologi demokrasi dengan pemilu sebagai produk turunannya belum ‘laku’ dan tidak banyak dilirik banyak manusia. Barulah di abad 20 ideologi itu mulai diterima, bahkan di awal abad 21, negara barat ‘memaksakan’ agar seluruh dunia menggunakan sistem tersebut sebagai ideologi yang harus dipakai oleh setiap negara. Ideologi yang menjadikan keputusan berada di tangan rakyat -tanpa memperhatikan apakah sesuai dengan hukum Islam atau justru bertolakbelakang- jelas merupakan sebuah ideologi kufur yang ditentang oleh para ulama. Tidak sedikit ulama yang telah mengupas akan kekafiran sistem ini, dimana Allah tidak boleh ‘terlibat’ dalam sebuah keputusan undang-undang. Dan sebagaimana realita yang ada, ideologi ini mulai menjangkiti beberapa negara dengan mayoritas muslim yang sebelumnya menolak untuk dijadikan sebagai landasan bernegara.
2. Pendapat lain tentang makna fitnah Duhaima’ adalah fitnah perang terhadap terorisme yang sebenarnya bermakna perang terhadap Islam dan umat Islam, terkhusus umat Islam yang memiliki jalan jihad sebagai cara untuk menegakkan agama (iqamatuddin).

Dalam hal ini, jika fitnah Duhaima’ dimaknai dengan fitnah demokrasi, maka fenomena terjerumusnya umat pada kekufuran juga sangat nyata. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa demokrasi merupakan ideologi kufur yang tidak menghendaki campur tangan Allah dalam urusan manusia dengan dunianya. Keengganan sekelompok masyarakat untuk menjadikan hukum Allah sebagai aturan hidup dan menjadikan pendapat mayoritas sebagai acuan dalam mengambil setiap aturan hidup merupakan bentuk kesyirikan nyata. Dengan demikian, besar kemungkinan semua pihak yang turut mengambil bagian dalam tegaknya sistem demokrasi ala barat ini akan terjerumus dalam lubang kekafiran. Dan realita seperti inilah yang kebanyakan tidak disadari oleh banyak manusia. Wal iyadz billah.

Wallahu A’lam bish shawab, untuk sementara pendapat tentang fitnah Duhaima’ yang bermakna ideologi demokrasi sekuler liberal dan perang melawan umat Islam atas nama pemberantasan terorisme barangkali merupakan pendapat yang lebih dekat kepada kebenaran dari pada fitnah televise dan hiburan. Dan sesungguhnya, pemaksaan ideologi demokrasi sekuler liberal sebenarnya juga memiliki hubungan yang sangat erat dengan fitnah terorisme ini. Karena pemaksaan demokrasi sekuler liberal dengan sendirinya merupakan perang terhadap konsep khilafah dan kewajiban kembali kepada Al-Qur’an dan sunnah yang hari ini menjadi cita-cita kelompok yang tertuduh sebagai teroris itu. Wallahu A’lam bish shawab.

Keluarnya dajjal di ujung Fitnah Duhaima’?

Berdasarkan riwayat di atas, Dajjal akan keluar untuk yang terakhirnya kalinya di penghujung fitnah Duhaima’ ini. Lalu, jika benar fitnah demokrasi dan perang melawan terorisme merupakan fitnah Duhaima’, dimana korelasinya dengan kemunculan Dajjal dan bagaimana kita dapat mengetahuinya?

Jika melihat dari periodesasi umat Islam yang dimulai dari fase nubuwah, kemudian fase khilafah nabawiyah (khulafaaur rasyidin), kemudian fase mulkan adhud (yang dimulai dari bani Umayyah hingga Turki Utsmani), lalu dilanjutkan dengan mulkan Jabbar (kekuasaan diktator) yang berakhir dengan munculnya ideologi demokrasi, maka fase kemenangan ideologi demokrasi merupakan tanda dekatnya janji Rasulullah saw. akan kemunculan fase khilafah rasyidah nabawiyah ‘alamiyah (dalam skala internasional). Sebab, Rasulullah saw. menyebutkan akan kemunculan khilafah rasyidah ini setelah tumbangnya mulkan jabbar. Dengan kata lain, kehadiran ideologi demokrasi yang menumbangkan mulkan jabbar justru menjadi tanda semakin dekatnya kebangkitan Islam yang ditandai dengan khilafah rasyidah dengan Imam Mahdi sebagai pemimpin tertinggi kaum muslimin.[4]

Kemunculan Imam Mahdi dengan ideologi garis keras dan fundamental yang menginginkan syari’at Islam sebagai satu-satunya aturan hidup manusia, sudah pasti akan meruntuhkan ideologi demokrasi dengan semua turunannya (liberalisme, kapitalisme, sekulerisme dll), dimana hari ini justru paham-paham jahat itu banyak dianut oleh mayoritas negara berpenduduk muslim. Dan untuk hal itu Rasulullah saw. telah memberikan janji akan kembalinya Islam ke setiap rumah yang dilewati oleh siang dan malam. Jika korelasi ini telah menjadi realita, maka jelaslah hubungan kemunculan dajjal dan fitnah duhaima’ ini. Saat ini, setiap kita (dari kelompok manapun) terus berupaya untuk menjadi muslim yang terbaik dan terdekat dengan sunnah Rasulullah saw. tanpa punya ‘hak veto’ untuk memvonis kelompok lain di luar dirinya pasti sesat. Namun, kemunculan Al-Mahdi dengan manhajnya yang paling lurus akan dengan mudah kita menjatuhkan vonis; siapa yang bergabung dan mendukung Al-Mahdi, dialah mukmin sejati dan siapapun yang menolak –dengan alasan apapun- maka dia adalah munafik sejati. Itulah makna sehingga manusia terbagi menjadi dua kemah, kemah keimanan yang tidak mengandung kemunafikan dan kemah kemunafikan yang tidak mengandung keimanan. Jika itu sudah terjadi, maka tunggulah kedatangan Dajjal pada hari itu atau besoknya.[5]

[1] HR. Abu Dawud, Kitabul Fitan no. 4242, Ahmad 2/133, Al-Hakim 4/467, Dishahihkan syaikh Al-Albani dalam Shahih Jami’ Shaghir no. 4194, Silsilah Ahadits Shahihah no. 974.

[2] Diriwayatkan dalam hadits Hudzaifah yang masyhur dalam kitab Bukhari dan Muslim.

[3] Selengkapnya lihat ‘Annul Ma’bud 11/310-311 dan Jaami’ul Ushul 10/25

[4] Dalam hal ini, perlu diskusi panjang tentang ‘apakah mungkin khilafah rasyidah akan terjadi sebelum kemunucalan imam Mahdi’. Karena terbatasnya halaman, hal ini tidak kami kupas. Lebih detilnya lihat: Menanti Kehancuran Amerika dan Eropa – Granada Mediatama-Solo.

[5] Silsilah Ahadits Shahihah no. 974.


Jumat, 23 September 2011

Malam Hari Seperti Nabi

MALAM dan siang sudah biasa kita lalui. Mungkin di antara kita ada yang menganggapnya biasa-biasa saja. Padahal malam adalah momentum sangat berharga bagi mereka yang menginginkan keridaan Allah SWT.

Bagi seorang Muslim malam memiliki dua manfaat yang tak terpisahkan. Yaitu sebagai momentum untuk berisirahat sekaligus sebagai momentum yang sangat istimewa untuk melebur dosa dan meraih ampunan dari Allah SWT.

Sayang, sebagian besar umat Islam mulai terbiasa dengan aktivitas begadang, khususnya generasi muda. Malam dihabiskan untuk hal-hal yang kurang bermanfaat, bahkan ada yang sampai lalai menjalankan sholat shubuh karena begadang semalaman.

Malam dan siang bagi mereka sama saja. Dua puluh empat jam digunakan untuk bersenang-senang, santai, dan bergembira ria. Hadirnya mentari kadang digunakan untuk tidur seharian, dan datangnya malam seringkali digunakan sekedar untuk menunggu pagi.

Padahal hidup ini bukanlah untuk foya-foya. Hadirnya siang dan malam dalam kehidupan ini Allah maksudkan agar kita menjadi hamba-Nya yang pandai bersyukur, mengisi waktu dengan jihad, menuntut ilmu, meningkatkan kualitas diri, beramal sholeh dan hal-hal lain yang mendatangkan rahmat dan keridoan-Nya.

Kini sudah saatnya kita menata diri, mengisi waktu dan memanfaatkan sisa umur kita untuk hidup lebih berarti, hidup penuh makna, dan hidup penuh kebahagiaan.

Satu di antara upaya yang mesti kita lakukan ialah mencontoh amalan Rasulullah saw ketika bertemu dengan malam. Dengan cara demikian, insya Allah hidup kita akan lebih punya makna.

Allah menjadikan malam agar manusia bisa beristirahat, memohon ampun dan mengingat-Nya dengan lebih baik lagi. Karena malam hari adalah waktu yang lebih hening dan lebih tepat untuk bertaqarrub kepada Allah SWT.

Oleh karena itu, rasulullah saw tidak pernah tidur larut malam. Beliau bersegera untuk tidur begitu sholat Isya’ telah dilaksanakan.

Dalam sebuah hadis diriwayatkan, “Sesungguhnya rasulullah saw membenci tidur sebelum isya’ dan membenci obrolan setelah isya’.” (Muttafaqun Alaih).

Syeikh Nashiruddin Al-Albani menjelaskan bahwa boleh seorang Muslim tidak segera tidur setelah sholat Isya’ dengan catatan yang diobrolkan adalah hal-hal yang positif, seperti mengulang-ulang pelajaran, menceritakan orang-orang sholeh, atau tentang akhlak mulia, bicara dengan tamu, dan lainnya. Demikian pula bila ada udzur atau keperluan mendadak yang bertepatan setelah sholat Isya’.

Namun demikian kegiatan atau obrolan setelah sholat Isya’ itu jangan sampai melalaikan kewajiban lainnya. Seperti pemuda yang begadang di malam hari untuk mengulang-ulang pelajarannya, atau mempersiapkan diri menempuh ujian sampai akhir malam kemudian tidur kecapaian, akhirnya ia tertinggal sholat shubuh (berjama’ah) maka begadang semacam ini tidak boleh.

Keadaan demikian diumpamakan seperti orang yang hendak membangun istana tetapi pada saat yang sama tanpa disadari dirinya telah menghancurkan kota. Akan sangat baik jika segera tidur setelah sholat isya, dan segera bangun dini hari, sholat shubuh, kemudian belajar.

Sebagaimana sabda rasulullah saw, “Umatku diberkati ketika mereka berpagi-pagi.”
Mengapa rasulullah saw mengajarkan umatnya agar segera tidur setelah sholat Isya’?
Beliau ingin umatnya bangun di tengah malam mendirikan sholat tahajjud sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT.

Dikisahkan dalam sebuah hadits, di tengah malam Rasulullah saw khusyuk dalam menjalankan sholat tahajjud hingga bengkak kedua telapak kakinya.

Sesungguhnya dahulu Nabi benar-benar bangun untuk sholat hingga bengkak kedua telapak kakinya. Maka dikatakan kepada beliau; “Telah diampuni dosamu yang telah lalu dan yang akan datang.” Beliaupun berkata; “Tidak pantaskah aku menjadi seorang hamba yang pandai bersyukur?.



” (HR Bukhari).

Tengah malam adalah momen terindah dan terdekat manusia dengan Allah SWT berkomunikasi. Dan sholat tahajjud adalah momentum yang sangat pas untuk kita mendapat ampunan Allah SWT dan meminta apapun dari Nya. Maka bangunlah untuk mendirikan sholat tahajjud lalu beristighfar kepada-Nya dengan penuh keikhlasan.

Bahkan siapa yang mampu dan sungguh-sungguh mengisi malam harinya dengan taqarrub kepada Allah niscaya dia telah mencapai derajat taqwa yang telah Allah janjikan surga baginya.

Allah memberi janji dan keutamaan pada orang-orang yang bangun malam untuk bersujud dan menangis di hadapanNya.

“Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa ada di dalam syurga dan dekat dengan air yang mengalir. Sambil mengambil apa yang diberi oleh Tuhan mereka. Sesungguhnya mereka sebelum ini di dunia adalah orang-orang yang berbuat baik. Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. Dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun kepada Allah.” ( Surah az-Zariat ayat 15-18).

Sungguh sangat luar biasa manfaat malam bagi seorang Muslim. Waktu yang akan melebur dosa dan mengundang berkah-Nya di pagi hari. Pantas dahulu para sahabat nabi berusaha membangun budaya intropeksi diri di tengah malam dengan memperbanyak istighfar.

Dalam salah satu atsar Sayyidina Ali ra menyatakan, “Aku heran dengan orang yang binasa padahal bersamanya ada penyelamat?” Ali pun ditanya, “Apakah penyelamat itu?” Ali menjawab, “Beristighfar.” Ketahuilah, lanjut Ali, “Allah tidak memberikan ilham kepada seorang hamba untuk beristighfar, jika memang, Dia ingin menyiksanya.”

Masihkah kita relakan malam berlalu hanya untuk melihat sinetron hingga larut malam atau sekedar duduk sambil tertawa bersama teman-teman sekedar untuk menanti siaran langsung sepak bola? Padahal tiada yang kita dapat selain lelah dan makin enggan untuk beribadah.

Mulai sekarang mari kita hidupkan malam-malam kita dengan aktivitas yang telah dicontohkan Nabi kita. Walahu a’lam.*/Imam Nawawi

Kamis, 22 September 2011

Cara Shalat Fardhu Sesuai Sunnah Rosul

Assalamu 'alaikum
Alhamdulillah semoga kita semua umat muslim selalu ada dalam limpahan Ridho Allah SWT

Langsung aja pa Ustad, Saya mau tanya soal bacaan bacaan solat yang sesuai sunnah mulai dari bacaan Iftitah sampai Tahiyat Akhir yang sesuai dengan Sunnah Nabi SAW.

satu lagi Ustad apakah do'a setelah solat Tahajjud ada yang di sunnahkan atau bisa berdo'a biasa saja? (kalau ada tolong disertakan)

atas jawabanya saya ucapkan terima kasih wassalam

Jawaban

Waalaikumusslam Wr Wb

Saudara Rian yang dimuliakan Allah swt

Untuk menjawab pertanyaan anda, saya mencoba mengurutkannya sesuai dengan rukun-rukun shalat—menurut jumhur ulama—sekaligus saya sisipkan beberapa sunnah-sunnah dan bacaan-bacaannya sesuai dengan hadits-hadits Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam sebagai berikut :

1. Niat.

Sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Umar bin Khattab dia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya amal itu tergantung dengan niatnya, dan sesungguhnya ia akan mendapatkan sesuatu yang diniatkannya.”

2. Takbirotul Ihram

Disunnahkan pada saat takbirotul ihram agar mengangkat kedua tangan sejajar pundak atau sejajar kedua telinga sambil mengucapkan : اللَّهُ أَكْبَرُ (ALLAHU AKBAR).

Setelah itu disunnahkan baginya membaca doa istiftah. Ada beberapa macam doa-doa istiftah ini didalam hadits-hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, diantaranya :

اللَّهُمَّ بَاعِدْ بَيْنِي وَبَيْنَ خَطَايَايَ كَمَا بَاعَدْتَ بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ اللَّهُمَّ نَقِّنِي مِنْ خَطَايَايَ كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ الْأَبْيَضُ مِنْ الدَّنَسِ اللَّهُمَّ اغْسِلْنِي مِنْ خَطَايَايَ بِالثَّلْجِ وَالْمَاءِ وَالْبَرَدِ

Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Zur'ah dari Abu Hurairah dia berkata; Apabila Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bertakbir ketika shalat, maka beliau diam sejenak sebelum membaca Al Fatihah, lalu aku bertanya; "Wahai Rasulullah, demi ayah dan ibuku, apa yang engkau baca saat engkau diam antara takbir dan membaca Al Fatihah?" beliau menjawab: "ALLAAHUMMA BAA'ID BAINII WABAINA KHATHAYAAYA KAMAA BAA'ADTA BAINAL MASYRIQI WAL MAGHRIB, ALLAAHUMMA NAQQINII MIN KHOTHAAYAAYA KAMAA YUNAQQATS TSAUBUL ABYADHU MINAD DANASI, ALLAAHUMMAGH SIL NII MIN KHATHAAYAAYA BITSTSALJI WALMAA'I WALBARAD (Ya Allah, jauhkanlah antara aku dan kesalahanku sebagaimana Engkau jauhkan antara timur dan barat, Ya Allah, bersihkanlah aku dari kesalahanku sebagaimana baju putih dibersihkan dari kotoran, Ya Allah, cucilah aku dari kesalahanku dengan es, air dan embun)."

3. Berdiri bagi yang mampu

Imam Bukhari meriwayatkan dari 'Imran bin Hushain berkata: "Suatu kali aku menderita sakit wasir lalu aku tanyakan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tentang cara shalat. Maka Beliau shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: "Shalatlah dengan berdiri, jika kamu tidak sanggup lakukanlah dengan duduk dan bila tidak sanggup juga lakukanlah dengan berbaring pada salah satu sisi badan".

4. Membaca Al Fatihah

Diriwayatkan Oleh Imam Bukhari dari 'Ubadah bin Ash Shamit, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidak ada shalat bagi yang tidak membaca Faatihatul Kitab (Al Fatihah)."

Disunnahkan setelah itu membaca surat sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Abu Hurairah dari Rasululah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,” Jika kalian tidak tambah selain Al Fatihah, maka itu sudah cukup. Namun bila kalian tambah setelahnya itu lebih baik."

5. Ruku’

Diwajibkan mengucapkan tasbih disaat ruku’ sebanyak satu kali dan disunnahkan tiga kali. Ada beberapa macam tasbih ruku’ didalam sunnah-sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, diantaranya ucapan :

سُبْحَانَ رَبِّيَ الْعَظِيمِ

Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Hudzaifah, bahwa dia pernah shalat bersama Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dan ketika ruku' beliau membaca: "SUBHAANA RABBIYAL 'AZHIIM (Maha Suci Tuhanku yang Maha Agung)."

6. I’tidal (Bangun dari Ruku)

Disunnahkan tatkala bangun dari ruku mengucapkan tasmi’ dan ketika berdiri tegak membaca tahmid.

Ucapan tasmi adalah

سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ

Diriwayatkan oleh Abu Daud dari Abu Hurairah Setelah itu mengucapkan Allahu Akbar, kemudian ruku' sampai tenang semua persendiannya, lalu mengucapkan " SAMI’ALLAHU LIMAN HAMIDAH " sampai berdiri lurus

Sedangkan bacaan tahmid adalah رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ

Diriwayatkan oleh Bukhari dari Abu Hurairah berkata, "Jika Nabi shallallahu 'alaihi wasallam membaca: 'SAMI'ALLAHU LIMAN HAMIDAH (Semoga Allah mendengar pujian orang yang memuji-Nya) ', maka beliau melanjutkan dengan: 'RABBANAA WA LAKAL HAMDU (Wahai Rabb kami, bagi-Mu lah segala pujian) '. Jika Nabi shallallahu 'alaihi wasallam rukuk dan mengangkat kepalanya (dari sujud), beliau bertakbir, dan jika bangkit dari dua sujud (dua rakaat), beliau mengucapkan 'Allahu Akbar'."

Setelah membaca tahmid, disunnahkan untuk membaca dzikir :


مِلْءُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمِلْءُ مَا بَيْنَهُمَا وَمِلْءُ مَا شِئْتَ مِنْ شَيْءٍ بَعْدُ

Sebagaimana disebutkan didalam riwayat Abu Daud dari Ali bin Abi Thalib bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam apabila i'tidal maka beliau mengucapkan; "SAMI'ALLAHU LIMAN HAMIDAH, RABBANAA WALAKAL HAMDU MIL`US SAMAAWAATI WAL ARDLI WA MIL`U MAA BAINAHUMAA WAMIL`U MAA SYI`TA MIN SYAI`IN BA'DU (Maha Mendengar Allah terhadap siapa saja yang memuji-Nya, Wahai Rabb kami, hanya bagi Engkau jua segala pujian, sepenuh langit, bumi, dan sepenuh isi langit dan bumi dan sepenuh apa yang Engkau kehendaki setelah itu)."

7. Sujud
Diwajibkan mengucapkan tasbih disaat sujud sebanyak satu kali dan disunnahkan tiga kali. Ada beberapa macam tasbih sujud didalam sunnah-sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, diantaranya ucapan :

سُبْحَانَ رَبِّيَ الْأَعْلَى

Diriwayatkan oleh Muslim dari Hudzaifah, bahwa ia pernah shalat bersama Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dan ketika sujud beliau membaca: "SUBHAANA RABBIYAL A'LAA (Maha Suci Tuhanku Yang Maha Tinggi)."

8. Duduk Diantara Dua Sujud

Terdapat beberapa macam bacaan disaat duduk diantara dua sujud yang disebutkan didalam sunnah-sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa wallam, diantaranya :


رَبِّ اغْفِرْ لِي رَبِّ اغْفِرْ لِي

Diriwayatkan Imam an Nasai dari Hudzaifah bahwa ia pernah shalat bersama Nabi ketika berada diantara dua sujud beliau membaca, " ROBBIGHFIRLI, ROBBIGHFIRLI (Wahai Rabbku ampunilah aku, wahai Rabbku ampunilah aku)."

Atau bisa juga ia membaca :

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي وَارْحَمْنِي وَعَافِنِي وَاهْدِنِي وَارْزُقْنِي

Diriwayatkan Abu Daud dari Ibnu Abbas bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengucapkan diantara dua sujudnya "ALLAHUMMA GHFIR LI WARHAMNI WA'AFINI WAHDINI WARZUQNI" (ya Allah anugerahkanlah untukku ampunan, rahmat, kesejahteraan, petunjuk dan rizki)."

Dan di rakaat kedua pada shalat yang empat atau tiga rakaat disunnahkan untuk duduk tasyahud awal dengan membaca bacaan tasyahud dan shalawat atas Nabi, diantara bacaan tasyahud yang disunnahkan adalah :

التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّبَاتُ السَّلَامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ السَّلَامُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ

Kemudian mengucapkan dua kalimat syahadat :

وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ

Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Ibnu Mas'ud berkata; "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah mengajariku tasyahud -sambil menghamparkan kedua telapak tangannya- sebagaimana beliau mengajariku surat Al Qur'an, yaitu “'ATTAHIYYAATU LILLAHI WASHSHALAWAATU WATHTHAYYIBAAT. ASSALAAMU 'ALAIKA AYYUHANNABIYYU WA RAHMATULLAHI WA BARAKAATUH. ASSALAAMU 'ALAINAA WA 'ALAA 'IBAADILLAHISH SHAALIHIIN ASYHADU AN LAA ILAAHA ILLALLAH WA ASYHADU ANNA MUHAMMADAN ABDUHU WA RASULUHU.’ (Segala penghormatan hanya milik Allah, juga segala pengagungan dan kebaikan. Semoga kesejahteraan terlimpahkan kepada engkau wahai Nabi dan juga rahmat dan berkah-Nya. Dan juga semoga kesejahteraan terlimpahkan kepada kami dan kepada hamba-hamba Allah yang shalih Aku bersaksi tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya') Yaitu ketika beliau masih hidup bersama kami, namun ketika beliau telah meninggal, kami mengucapkan; "Assalaamu maksudnya atas Nabi shallallahu 'alaihi wasallam."

9. Duduk Pada Tasyahud Akhir
10. Tasyahud Akhir
11. Shalawat Atas Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam Setelah Tasyahud Akhir

Bacaan pada tasyahud akhir seperti pada tasyahud awal namun ditambah setelah itu dengan bershalawat atas Nabi atau dengan Shalawat Ibrahimiyah yang berbunyi :

اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ

Diriwayatkan oleh Bukhari dari 'Abdur Rahman bi Abi Laila berkata : Ka'ab bin 'Ujrah menemui aku lalu berkata; "Maukah kamu aku hadiahkan suatu hadiah yang aku mendengarnya dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam". Aku jawab; "Ya, hadiahkanlah aku". Lalu dia berkata; "Kami pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam; "Wahai Rasulullah, bagaimana caranya kami bershalawat kepada tuan-tuan kalangan Ahlul Bait sementara Allah telah mengajarkan kami bagaimana cara menyampaikan salam kepada kalian?". Maka Beliau bersabda: "Ucapkanlah; “ALLAHUMMA SHOLLI ‘ALAA MUHAMMADIN WA ‘ALAA AALI MUHAMMAD KAMAA SHOLLAITA ‘ALLA IBRAHIM WA ‘ALAA AALI IBRAHIM INNAKA HAMIDUN MAJID. ALLAHUMAA BAARIK ‘ALAA MUHAMMADIN WA ‘ALAA AALI MUHAMMAD KAMAA BAAROKTA ‘ALAA IBRAHIM WA ‘ALAA AALI IBRAHIM INAAKA HAMIDUN MAJID" (Ya Allah berilah shalawat kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah memberi shalawat kepada Ibrahiim dan kepada keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkah Maha Terpuji dan Maha Mulia. Ya Allah berilah barakah kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah memberi barakah kepada Ibrahim dan kepada keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkah Maha Terpuji dan Maha Mulia) ".

Ada juga riwayat Ibnu Hibban yang dishahihkan oleh al Albani berbunyi :
ALLOOHUMMA SHOLLI 'ALAA MUHAMMAD, WA'ALAA AALI MUHAMMAD, KAMAA SHOLLAITA 'ALAA IBROOHIIMA WA'ALAA AALI IBROOHIIMA WABAARIK 'ALAA MUHAMMAD WA'ALAA AALI MUHAMMAD KAMAA BAAROKTA 'ALAA IBROOHIIMA WA'ALAA AALI IBROOHIIMA FIL'AALAMIINA INNAKA HAMIIDUN MAJIID

Disunnahkan setelah bershalawat atas Nabi pada tasyahud kedua untuk berdoa :

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ وَمِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ وَمِنْ شَرِّ فِتْنَةِ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ

Diriwayatakan oleh Imam Muslim dari Abu Salamah dari Abu Hurairah, dia berkata; "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: " Jika salah seorang diantara kalian tasyahud, hendaklah meminta perlindungan kepada Allah dari empat perkara dan berdoa "ALLAHUMMA INNI A'UUDZUBIKA MIN 'ADZAABI JAHANNAMA WAMIN 'ADZAABIL QABRI WAMIN FITNATIL MAHYAA WAL MAMAAT WAMIN SYARRI FITNATIL MASIIHID DAJJAL (Ya Allah, saya berlindung kepada-Mu dari siksa jahannam dan siksa kubur, dan fitnah kehidupan dan kematian, serta keburukan fitnah Masihid Dajjal)."

12. Salam

Sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Daud dari Aisyah bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam beliau menutup shalat dengan salam.

Ucapan salam yang biasa dilakukan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam ketika menutup shalatnya adalah السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ

Diriwayatkan oleh Abu Daud dari 'Alqamah bin Wa`il dari ayahnya dia berkata; "Aku shalat di belakang Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, beliau memberi salam ke arah kanan dengan mengucapkan "ASSLAMU’ALAIKUM WA ROHMATULLAHI WA BARAOKAATUHU (Semoga keselamatan, rahmat dan berkah Allah tetap atas kalian), " dan kearah kiri dengan mengucapkan "Assalamu 'alaikum warahmatullah (Semoga keselamatan dan rahmat Allah tetap atas kalian)."

13. Thuma’ninah
14. Tertib Rukun-rukunnya

Doa Setelah Shalat Tahajjud

Dzikir-dzikir dan wirid-wirid yang dibaca didalam shalat tahajjud tidaklah berbeda dengan dzikir-dzikir dan wirid-wirid yang telah saya sebutkan diatas dalam setiap gerakannya. Hanya saja Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam ketika hendak melaksanakan shalat tahajjud berdoa dengan mengucapkan :

اللَّهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ قَيِّمُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَنْ فِيهِنَّ وَلَكَ الْحَمْدُ لَكَ مُلْكُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَنْ فِيهِنَّ وَلَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ نُورُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَنْ فِيهِنَّ وَلَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ مَلِكُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَلَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ الْحَقُّ وَوَعْدُكَ الْحَقُّ وَلِقَاؤُكَ حَقٌّ وَقَوْلُكَ حَقٌّ وَالْجَنَّةُ حَقٌّ وَالنَّارُ حَقٌّ وَالنَّبِيُّونَ حَقٌّ وَمُحَمَّدٌ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَقٌّ وَالسَّاعَةُ حَقٌّ اللَّهُمَّ لَكَ أَسْلَمْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَعَلَيْكَ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْكَ أَنَبْتُ وَبِكَ خَاصَمْتُ وَإِلَيْكَ حَاكَمْتُ فَاغْفِرْ لِي مَا قَدَّمْتُ وَمَا أَخَّرْتُ وَمَا أَسْرَرْتُ وَمَا أَعْلَنْتُ أَنْتَ الْمُقَدِّمُ وَأَنْتَ الْمُؤَخِّرُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ أَوْ لَا إِلَهَ غَيْرُكَ

Sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari Ibnu 'Abbas berkata; Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bila berdiri melaksanakan shalat malam, Beliau membaca doa (istiftah) "ALLAHUMMA LAKAL HAMDU. ANTA QOYYUMUS SAMAWAATI WAL ARDHI WA MAN FIIHINNA. WA LAKAL HAMDU LAKAL MULKUS SAMAAWAATI WAL ARDHI WA MAN FIIHINNA. WA LAKAL HAMDU ANTA NUURS SAMAAWAATI WAL ARDHI WA MAN FIIHINNA. WA LAKAL HAMDU ANTA MALIKUS SAMAAWAATI WAL ARDHI. WA LAKAL HAMDU ANTAL HAQQ WA WA’DUKAL HAQQ WA LIQO-UKAL HAQQ WA QOULUKAL HAQQ WAL JANNATU HAQQ WAN NAARU HAQQ WAN NABIYYUUNA HAQQ WA MUHAMMADUN SHALALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM HAQQ WAS SAA’ATU HAQQ. ALLAHUMMA LAKA ASLAMTU WA BIKA AAMANTU WA ‘ALAIKA TAWAKKALTU WA ILAIKA ANABTU WA BIKA KHASHAMTU WA ILAIKA HAAKAMTU, FAGHFIRLII MAA QODDAMTU WA MAA AKHARTU WA MAA ASRORTU WA MAA A’LANTU ANTAL MUQOODIM WA ANTAL MU’AKHIRU LAA ILAAHA ILLAA ANTA AW “LAA ILAAHA GHOIRUKA” ("Ya Allah bagiMulah segala pujian. Engkaulah Yang Maha Memelihara langit dan bumi serta apa yang ada pada keduanya. Dan bagiMulah segala pujian, milikMu kerajaan langit dan bumi serta apa yang ada pada keduanya. Dan bagiMu segala pujian, Engkau cahaya langit dan bumi dan apa yang ada pada keduanya. Dan bagiMu segala pujian, Engkaulah raja di langit dan di bumi serta apa yang ada pada keduanya. Dan bagiMulah segala puian, Engkaulah Al Haq (Yang Maha Benar), dan janjiMu haq (benar adanya), dan perjumpaan dengaMu adalah benar, firmanMu benar, surga adalah benar, neraka adalah benar, dan para nabiMu benar, Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam benar dan hari qiyamat benar. Ya Allah, kepadaMulah aku berserah diri, kepadaMulah aku beriman, kepadaMu lah aku bertawakal, kepadaMulah aku bertaubat (kembali), karena hujah yang Kau berikan kepadaku aku memusuhi siapapun yang menentang (syareat-Mu) dan kepadaMu aku berhukum. Ampunilah aku dari dosa yang lalu maupun yang akan datang, yang aku sembunyikan atau yang aku tampakkan. Engkaulah yang Awal dan yang Akhir dan tidak ada ilah yang berhaq disembah selain Engkau atau tidak ada ilah selainMu"

Adapun setelah tahajjud maka tidak ada doa secara khusus. Dibolehkan membaca setiap doa terutama doa-doa yang berasal dari Al Qur’an dan Sunnah.

Wallahu A’lam

Rabu, 21 September 2011

Wajah Dunia Global di Era Pembai’atan Al-Mahdi

Banyak orang memiliki persepsi yang keliru tentang kemunculan Imam Mahdi dan zaman yang akan dilewati olehnya. Mereka menduga bahwa ketika Imam Mahdi datang, maka dalam sekejab dunia akan berubah menjadi aman, adil, makmur dan penuh kesejahteraan. Mereka menyangka bahwa dengan kemunculan Imam Mahdi maka, dalam waktu singkat musuh akan ditumbangkan, kedzaliman akan dihilangkan dan ketidakadilan akan lenyap tanpa sisa. Meski pendapat tersebut tidak sepenuhnya salah, namun implikasi dari keyakinan di atas akan membuat banyak orang banyak mengidam-idamkan kedatangan Al-Mahdi tanpa berfikir sama sekali resiko dari harapannya.

Sebab, kemunculan dan masa-masa awal pemerintahan Al-Mahdi justru akan dipenuhi dengan beragam fitnah dan huru-hara yang membuat banyak manusia lari menjauhi dan memusuhi Al-Mahdi. Beratnya kebanyakan umat Islam untuk meninggalkan ideologi demokrasi, nasionalisme, kepartaian dan fanatisme golongan inilah yang membuat kebanyakan mereka berat untuk menerima Al-Mahdi. Sebab, kedatangan Al-Mahdi dan kelompoknya akan membersihkan semua berhala itu dan menggantinya dengan panji-panji tauhid. Sikap tegas tanpa kompromi dalam menerapkan syari’at Islam inilah yang mengundang seluruh kekuatan kufur dunia bersatu-padu untuk menghadang Imam Mahdi dan kelompoknya.Dengan demikian, bisa dipastikan bahwa masa-masa pra, era dan pasca pembai’atan Al-Mahdi akan dipenuhi dengan perkara-perkara yang amat tidak disukai oleh manusia. Setidaknya, inilah berbagai kondisi yang akan mengelilingi masa-masa Al-Mahdi.

1. Pembantaian dan Pembunuhan Massal Terhadap Umat Islam

Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Rasulullah saw bersabda, Nyaris tiba saatnya banyak umat yang memperebutkan kalian, seperti orang-orang makan yang memperebutkan hidangannya. Maka, ada seseorang bertanya : “Apakah karena sedikitnya kami pada hari itu?” Beliau menjawab : “Justru jumlah kalian banyak pada hari itu, tetapi ibarat buih di atas air. Sungguh Allah akan mencabut rasa takut kepada kalian dari dada musuh kalian dan menimpakan kepada kalian penyakit wahn.” Seseorang bertanya: “Apakah wahn itu, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda: “Cinta dunia dan takut mati. ” [1] Inilah zaman yang dikatakan oleh Rasulullah saw. sebagai puncak kedzaliman dan kecurangan. Para penegak hukum Allah dituding sebagai teroris yang menjadi biang keladi kerusakan dunia, ideologi mereka dituduh sebagai ideologi Iblis dan nabi mereka difitnah dengan keji. Kaum muslimin dikepung dari seluruh dunia, mereka yang istiqamah menjalankan syari’at bagai memegang bara; sangat panas dan hampir-hampir tak mampu untuk menggenggamnya. Dunia terasa sempit bagi setiap mukmin, tidak ada tempat berlari atau wilayah aman untuk tegaknya hukum hukum Allah.Al-Mahdi yang dijanjikan akan muncul di saat fitnah benar-benar tidak ada jalan keluar, saat kaum muslimin telah mengerahkan seluruh kemampuan dan tenaga mereka untuk menegakkan seruan-Nya, namun kebengisan musuh dan makar mereka semakin menggila. Di saat manusia dilanda perselisihan dan pertikaian, Al Mahdi akan datang untuk memerangi kedzaliman, menaklukkan seluruh dunia, hingga benar benar hanya Allah yang disembah. Demi Allah, andaikan umur dunia tinggal satu hari, niscaya Allah akan panjangkan hingga Ia membangkitkan seorang lelaki dari keluargaku. Namanya sama dengan namaku, nama bapaknya juga sama dengan nama bapakku dan ia menebarkan kedamaian di bumi. (HR. Tirmidzi)

2. Kehancuran Ideologi Demokrasi Sekuler Liberal[2]

Sebagaimana penjelasan yang dijelaskan dalam hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad, bahwa kemunculan khilafah rasyidah akan terjadi setelah lewatnya periode mulkan jabbar (raja-raja diktator).Isyarat dalam nubuwat tersebut adalah bahwa ideologi yang muncul menggantikan ideologi diktator justru semakin mendekatkan kita dengan masa kemunculan Al-Mahdi. Dalam hal ini, fenomena tumbangnya rezim diktator di beberapa negara (khususnya negara-negara berpenduduk muslim) merupakan indikasi kuat bahwa Allah benar-benar akan mengangkat periode itu dari umat Islam. Maka, keberadaan ideologi demokrasi yang menggeser rezim diktator (mulkan jabbar) hanyalah fase antara, sebuah jeda yang mengawali kemunculan fase terakhir, yaitu khilafah rasyidah menurut manhaj nubuwah dimana Al-Mahdi sebagai khalifahnya.Sebenarnya keberadaan ideologi sekuler yang melahirkan demokrasi liberal telah memunculkan kediktatoran gaya baru yang berlindung di balik baju demokrasi. Para diktator itu juga banyak berlindung di balik HAM. Hal ini bisa kisa saksikan ketika sebuah masyarakat (negara) dengan suara mayoritas menghendaki tegaknya hukum Islam, maka para diktator (barat) itu dengan berbagai dalih berupaya untuk menggagalkan yang mereka inginkan. Sebaliknya, jika dengan demokrasi dan produk turunannya (pemilu) mereka mendapatkan kemenangan (atau sesuai dengan apa yang mereka inginkan), maka dengan mati-matian pula mereka akan membelanya.Keadaan ini boleh jadi akan terus berlangsung hingga akhirnya masyarakat dunia mengetahui bahwa apa yang selama ini berlangsung bukanlah hakikat dari demokrasi yang banyak mereka pahami, melainkan demokrasi liberal yang diinginkan oleh barat. Demokrasi ini adalah sebuah ideologi yang diproduksi untuk membela dan melindungi kepentingan barat, bukan untuk kepentingan manusia seluruh dunia. Jika kondisi ini terus berlangsung, maka dengan sendirinya kepercayaan masyarakat dunia hilang hingga akhirnya demokrasi akan ditinggalkan. Dan nampaknya inilah fenomena yang banyak kita saksikan terjadi pada negara-negara yang tengah mempraktikkan demokrasi liberal.Jika periode zaman diktator telah berakhir dengan kemunculan demokrasi sekuler liberal, lalu ideologi ini juga dengan sendirinya runtuh dengan berbagai sebab yang telah kita bicarakan di atas, maka konsekwensi yang akan muncul adalah kembalinya khilafah rasyidah adalah sebuah kepastian, tidak mungkin tidak. Karena Imam Mahdi adalah seorang pemimpin muslim yang akan mempraktikkan hukum Islam secara total dalam kepemimpinannya, maka dengan sendirinya ideologi sekuler dan praktik demokrasi akan dibersihkan dari wilayah kekuasaannya, dan itu akan terjadi pada seluruh dunia. Dengan demikian, Imam Mahdi pasti akan menghancurkan sistem ini juga sistem-sistem kufur lainnya.

3. Kehancuran Ekonomi Kapitalis Ribawiyah dan Semua Institusinya

Kondisi lain yang juga mengiringi keluarnya Al-Mahdi adalah dimulainya fase kehancuran ekonomi barat yang bercorak kapitalis, dimana sistem ekonomi ribawiah merupakan salah satu pilar penting bagi tegaknya sistem ekonomi ini. Indikasi yang paling riil adalah problematika ekonomi, sosial dan politik dalam negeri Amerika yang sedang menuju status sekarat. Hubungannya dengan kemunculan Al-Mahdi adalah bahwa fase kehancuran ekonomi kapitalis ribawiyah ini akan mengawali kehancuran dunia secara umum. Dapat kita bayangkan jika akhirnya masyarakat seluruh dunia harus kesulitan untuk mendapatkan kebutuhan pokok karena tidak beroperasinya kembali pabrik-pabrik yang memproduksi seluruh kebutuhan mereka (disebabkan runtuhnya pondasi ekonomi mereka), maka jalan menuju kemiskinan dan kehancuran total telah terbentang di depan mata. Kondisi ini memiliki hubungan erat dengan masa-masa sulit yang akan dihadapi oleh manusia sebelum kemunculan Dajjal.

4. Kehancuran Mata Uang Kertas dan Kembalinya era Dinar dan Dirham

Semakin menambah runyam dan carut-marutnya kondisi manusia saat itu adalah dimulainya masa kehancuran mata uang kertas dan kembalinya manusia kepada mata uang yang sesungguhnya, yaitu dinar dan dirham (emas dan perak).Sebagaimana yang kita ketahui bahwa nilai dan harga sebuah mata uang tergantung dengan kredibilitas dan kekuasaan yang dimiliki oleh kepemimpinan sebuah negara. Ketika sebuah rezim ditumbangkan, lalu rezim penggantinya menyatakan tidak diberlakukannya mata uang kertas rezim sebelumnya, maka dengan sendirinya mata uang kertas tersebut tidak berlaku. Demikian pula yang kelak akan terjadi pada Amerika dan negara-negara Eropa pada umumnya, ketika perekonomian mereka hancur dihantam gelombang tsunami moneter dan krisis kepemimpinan yang membuat satu sama lainnya saling berperang untuk berebut kekuasaan. Faktor lain yang juga mengambil peran cukup besar adalah kehancuran negeri tersebut karena faktor-faktor alam berupa bencana alam dalam skala yang sangat besar.

5. Kembalinya manusia ke Zaman Unta

Hal lain yang juga menggambarkan betapa mengerikannya huru-hara dan bencana yang akan menimpa manusia adalah ketika mereka kelak akan kembali ke zaman unta; zaman batu yang jauh dari teknologi modern. Analisa tentang kembalinya manusia ke zaman unta telah banyak dipaparkan oleh para penulis tentang akhir zaman dengan sudut pandang yang berbeda. Dasar yang menjadi pijakan asumsi di atas adalah hadits Rasulullah saw tentang perang Malhamatul Kubra antara pasukan Al-Mahdi dan asukan Romawi (Amerika dan Eropa) yang sudah tidak lagi menggunakan teknologi modern.

6. Kehancuran Ekonomi Dunia di Masa Tiga Tahun Kekeringan

Dengan hancurnya pusat ekonomi dunia, maka secara otomatis dan sistematis akan berimplikasi pada roda ekonomi seluruh dunia. Salah satu logika sederhana dalam kasus ini adalah beredarnya mata uang kertas (mata uang palsu) yang kemudian tidak lagi berfungsi sebagai alat pembayaran akibat hancurnya negara yang mengeluarkan mata uang tersebut. Dengan kehancuran dollar, maka implikasinya juga akan merembet kepada mata uang-mata uang negara lainnya. Dengan demikian, setiap orang (di negara manapun) yang saat itu masih memegang mata uang kertas tak ubahnya seperti anak-anak yang bermain dengan mata uang kertas mainan, yang tak laku untuk digunakan sebagai alat pembayaran atas barang atau jasa riil yang diinginkannya. Dalam kondisi seperti itu, pemenuhan kebutuhan manusia hanya akan terjadi dengan cara jual beli yang paling adil; barter! Atau dengan menggunakan mata uang yang memiliki nilai intristik yang adil; emas dan perak!. Dalam kondisi yang benar-benar membuat setiap orang mengalami depresi berat dan stress yang memuncak, saat itulah masa-masa sulit yang terjadi karena suasana alam yang tidak bersabahat akan dimulai. Peristiwa kemarau panjang dan kekeringan ekstrim selama tiga tahun yang berimbas pada langkanya bahan pangan akan terjadi pada detik-detik menjelang keluarnya Dajjal, yang berarti merupakan kondisi dimana Al-Mahdi baru muncul dan mendeklarasikan kedaulatannya.

7. Pembunuhan dan Peperangan demi mempertahankan hidup

Panjangnya masa kehancuran dan kerusakan ekonomi yang merata di setiap negeri, terjadinya instabilitas keamanan, tidak berfungsinya alat-alat negara (para polisi dan aparat) karena mereka sudah tidak lagi mendapatkan gaji dari pemerintah pusat, berhentinya mesin-mesin produksi dan pabrik-pabrik makanan dan minuman, tidak berfungsinya kantor-kantor pemerintahan dan pelayanan masyarakat, rusaknya teknologi tranportasi dan komunikasi dan beragam pemandangan mengerikan lainnya, akan melahirkan satu kengerian baru; berpacunya manusia untuk mempertahankan hidup dengan cara-cara kalap; membunuh dan merampas serta cara-cara brutal lainnya. Orang-orang yang kuat akan memangsa yang lemah dan hukum rimba akan mewarnai setiap kehidupan. “Sungguh, menjelang terjadinya Kiamat ada masa-masa harj. ” Para sahabat bertanya : “Apakah harj itu ?” Beliau bersabda : “Pembunuhan.” Mereka bertanya : “Apakah lebih banyak jumlahnya dari orang yang kita bunuh? Sesungguhnya kita dalam satu tahun membunuh lebih dari tujuh puluh ribu orang?” Beliau bersabda : “Bukan pembunuhan orang-orang musyrik oleh kalian itu, tetapi pembunuhan dilakukan oleh sebagian kalian terhadap sesamanya. ” Mereka bertanya : “Apakah pada masa itu kami masih berakal?“Beliau bersabda .-“Akal kebanyakan manusia zaman itu dicabut, kemudian mereka dipimpin oleh orang-orang yang tak berakal, ke­banyakan manusia menyangka para pemimpin itu mempunyai pegangan, padahal sama sekali tidak demikian. [3] Wallahu a’lam bish shawab, barangkali saat itulah masa yang dijanjikan Rasulullah saw akan terjadi. Para pemimpin mereka sudah tidak lagi memiliki akal. Perang antar kelompok, aksi saling bunuh dan rampas bukan lagi berdasar pada agama, bahkan akal sehat sekalipun. Apa yang mereka lakukan berangkat dari kondisi mengerikan yang menyebabkan mereka sudah tidak lagi mampu berfikir normal. Tindakan mereka benar-benar kalap, penuh nafsu, tidak rasional, dan akal manusia saat itu sudah benar-benar dicabut saking tidak sanggupnya melihat kondisi yang sama sekali tidak pernah mereka bayangkan. Wallahu a’lam bish shawab
[1] HR. Ahmad : 21891 dan Abu Daud : 4297.

[2] Lihat penjelasan detil masalah ini dalam tulisan kami sebelumnya: Menanti Kehancuran Amerika dan Eropa, Granada Mediatama.
[3] HR. Ahmad dan Ibnu Majah. Hadits shahih.

Selasa, 20 September 2011

Siapakah Nenek Nabi Muhammad SAW?

Didalam kitab “as Sirah an Nabawiyah” karya Ibnu Hisyam disebutkan bahwa anak dari Abdul Muthalib bin Hasyim ada sepuluh orang dan enam adalah wanita : al Abbas, Hamzah, Abdullah, Abu thalib—namanya adalah Abdu Manaf--, az Zubeir, al Harits, Hajlan, al Muqawwa, Dhiror, Abu Lahab—namanya adalah Abdul ‘Uzza—, Sofiya, Ummu Hakim al Baidho, Atikah, Umaimah, Arwa, Barrah.

Pada hal 109 disebutkan bahwa Ibu dari al Abbas dan Dhiror adalah Nukailah binti Junab bin Kulaib bin Malik bin Amr bin Amir bin Zaid Manat bin Amir—dia adalah adh Dhahiyan—bin Sa’ad bin al Khazraj bin Taim al Laat bin am Namr bin Qasith bin Hanab bin Afdha bin Judailah bin Asad bin Rabi’ah bin Nazar. Ada yang menyebut : Afdha putra Da’mi bin Judailah.

Ibu dari Hamzah dan al Muqawwam serta Hajlan digelari dengan al Ghaidaaq dikarenakan banyaknya kebaikan dan harta yang ada pada dirinya, dan Shafiyah adalah : Halat binti Wuhaib bin Abdi Manat bin Zahrah bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luay.

Ibu dari Abdullah, Abu Thalib, az Zubeir dan seluruh anak wanita kecuali Sofiyah adalah Fatimah binti ‘Amr bin ‘Aidz bin Imran bin Makhzum bin Yaqzhah bin Murrah bin Ka’ab bin Luay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin an Nadhr.

Sedangkan ibu dari ibunya adalah Shakhrah binti Abdin bin Imran bin Makhzhum bin Yaqzhah bin Murrah bin Ka’ab bin Luay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin an Nadhr.

Sedang Ibu dari Shakhrah adalah Takhammar binti Abdin bin Qusay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin an Nadhr.
Ibu dari al Harits bin Abdul Muthalib adalah Samraa binti Jundab bin Hujair bin Riaab bin Hubaib bin Suwa’ah bin ‘Amir bin Sha’sha’ah bin Muwaiyah bin Bakr bin Hawazin bin Manshur bin Ikrimah.

Pada halaman 110 disebutkan bahwa Ibu dari Abi Lahab Lubnaa binti Hajir bin Abdi Manaf bin Dhathir bin Habasyah bin Salul bin Ka’ab bin ‘Amr al Khuza’i. (www.islamweb.net)

Didalam kitabnya itu, Ibnu Hisyam juga mengatakan bahwa putra Abdullah bin Abdul Muthalib adalah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam penghulu anak-anak Adam, yaitu Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib shalallahu ‘alaihi wa sallam.

Sedang ibunya adalah Aminah binti Wahab bin Abdi Manaf bin Zahrah bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luay bin Ghalib dan Malik bin an Nadhr.

Sedang ibu dari ibunya—Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam—adalah Barah binti Abdul ‘Uzza bin Utsman bin Abdi ad Daar bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin an Nadhr.

Sedang Ibu dari Barah adalah Ummu Hubaib binti Asad bin Abdul ‘Uzza bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin an Nadhr.

Sedang ibu dan Ummu Hubaib adalah Barah binti ‘Auf bin Uwaij bin ‘Adiy bin Ka’ab bin Luay bin Ghalib bin Malik bin an Nadhr. (Sirah Ibnu Hisyam 1/237)

Senin, 19 September 2011

Masalah Jihad

A. Pengertian Jihad

Kata ‘jihad’ berasal dari kata kerja ‘jahada’, berarti usaha, upaya. Jadi, ber-‘jihad’ adalah membangun sesuatu yang sifatnya fisik maupun non-fisik. Sebutan lain yang berasal dari akar kata jihad ini, pertama, adalah “ijtihad”, yang berarti usaha membangun sisi intelektualitas manusia, seperti ijtihad para ulama Kedua, ‘mujahadah’, yang berarti upaya sungguh-sungguh membangun spiritualitas manusia. Kemudian dalam perkembangannya kemudian, jihad mengarah pada pengertian tertentu yang menekankan sesuatu yang sifanya fisik atau material. Sedangkan ijtihad dan mujahadah penekanannya kepada non- fisik atau immaterial. Masing-masing dari ketiganya ini menempati nilai dan posisi tersendiri dalam Islam

Dari ketiga kata tersebut di atas, ternyata kata ‘jihad’ mendapatkan perhatian lebih dibanding dua kata lainnya. Hanya saja pengetahuan yang terbatas akan referensi Islam mengakibatkan tema jihad dipahami sebagai sebuah gerakan fisik yang berkonotasi kekerasan, kekejaman, kebrutalan dan bahkan pertumpahan darah. Trend pemaknaan jihad seperti ini makin diperparah dengan kemunculan beberapa tragedi kemanusiaan yang diklaim sebagai akibat dari gerakan “Islam garis-keras”. Opini dunia pun mengarah kepada Islam. Islam sebagai agama rahmatan lil-alamin, agama penabur kasih bagi seluruh alam, lagi-lagi menjadi tergugat.
Term “jihad” dilansir dalam al-Qur’an sebanyak 41 kali. Kata tersebut secara lughawi “jahada-yujahidu-jihad wa mujahadah”. Karena itu, jika kita membincangkan “jihad” paling tidak ada dua terma lain yang memiliki kemiripan, yaitu ijtihad dan mujahadah. Baik jihad, ijtihad maupun mujahad berasal dari satu akar kata (musytaqqat) yang memiliki makna keseriusan dan kesungguh-sungguhan.

Jihad itu mengandung dua muatan makna, bahasa dan syariat. Makna jihad secara bahasa adalah kesulitan (masyaqah) (Fathul Bari Syarh Shakhih Bukhari dan Naylul Awthar), atau juga mempunyai arti kesungguhan (juhd), kemampuan menanggung beban (thaqah) dan kesulitan (masyaqah) (Kamus al Muhath). Jihad dalam aspek bahasa juga bermakna mencurahkan segala usaha atau tenaga untuk memperoleh tujuan tertentu (Al Jihad Walqital Fissiyasah Asy Syar’iyah).

Sementara pengertian jihad dalam konteks syar’i adalah mengerahkan segenap potensi untuk berperang di jalan Allah, baik secara langsung atau tidak langsung, misalnya melalui bantuan materi, sumbangsih pendapat, penyediaan logistik dan lain-lain (Raddul Mukhtar III). Dalam pengertian syar’i, jihad juga bermakna mengerahkan segenap kesungguhan dalam memerangi orang kafir (Fathul Bari Syarh Shakhih Bukhari).Walhasil, secara bahasa, jihad mencakup makna yang cukup luas, meliputi jihad melawan hawa nafsu, jihad ekonomi, jihad pendidikan, jihad politik, jihad pemikiran, jihad mencari ilmu dan lain-lain.

Sebaliknya, jihad menurut makna syariat, sebagaimana dibahas dalam literatur fiqh, selalu berkaitan dengan pembahasan tentang perang, penaklukan, ekspedisi militer di wilayah-wilayah Darul Harb (negara yang memusuhi Islam). Banyak sekali ayat-ayat Al Quran yang berbicara tentang jihad (perang). Namun demikian, dalam konteks jihad sesuai pengertian syar’i, ada dua jenis penjelasan, yaitu yang eksplisit (gamblang) dan implisit (tersirat). Yang eksplisit antara lain adalah firman Allah Subhanahu wata’ala:
“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu.” (QS. Al Haj:39).
atau seperti ayat berikut: “Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah.” )QS. Al Anfal;39).
Sedangkan yang implisit, tetapi tetap tidak bisa diartikan kecuali perang, antara lain:
“Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka ialah neraka Jahannam. Dan itulah tempat kembali yang seburuk-buruknya.” (QS. At Taubah:73)
Ada pula nash-nash jihad yang mengandung pengertian selain peperangan, antara lain:
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al Ankabut:69).
Juga ada Hadits yang berbicara tentang jihad yang mengandung pengertian selain perang, yaitu: “Sayyidatina A’isyah bertanya kepada Nabi, ‘Adakah jihad bagi kaum wanita?’ ‘Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda: ‘Yaitu haji dan umrah.” (HR. Ahmad).
Para ulama fiqih membahas makna jihad dalam arti syara’ (bukan dalam pengertian bahasa) dalam beberapa aspek, dari hukum berjihad, siapa yang wajib berperang, etika berperang, siapa yang wajib diperangi, keutamaan mati syahid dan lain sebagainya. Oleh karena itu pengertian jihad dalam arti syar’i harus dipahami oleh seluruh umat Islam. Jangan sampai pemaknaan jihad itu mengalami kerancuan dan pembelokan, seperti yang sedang marak akhir-akhir ini. Sebagian kelompok menterjemahkan jihad dengan makna perang secara membabi buta, seperti halnya bom bunuh diri. Sebaliknya, kelompok lain memahami jihad dengan pemaknaan yang terkesan mengecilkan perang. Mereka lebih suka mengedepankan jihad dengan pengertian jihad ekonomi, jihad pendidikan, jihad melawan nafsu dan lain-lain dari pada jihad yang bermakna perang. Bahkan sebagian yang lain, jelas-jelas mengatakan bahwa jihad itu bukan perang, menurutnya, nash Al Quran menjelaskan perang dengan sebutan qital, bukan jihad. Sungguh, beberapa pendapat di atas yang dewasa ini seringkali menghiasi media masa, jelas-jelas merupakan pendapat yang tidak berdasar dan tidak mempunyai pijakan yang jelas dalam kitab-kitabnya para ulama salaf yang telah terbukti kredibitasnya.

B.Bentuk-Bentuk JIhad

Untuk memperluas wacana kita dalam diskursus “jihad”, dapat kita rujuk kepada salah satu kitab yang selaku dikaji di pesantren-pesantren, yakni kitab I’anatut Thalibin syarh Fathul Mu’in. Muallif kitab tersebut dengan bahasa sederhana mengemukakan suatu ta’bir yang memiliki makna dan implikasi luar biasa. Menurutnya ”al-jihadu fardhlu kifayatin marratan fi kulli ‘aam”, bahwa jihad itu hukumnya fardhlu kifayah dalam setiap tahun. Kemudian ditambahkan pula, dalam bentuk jihad itu ada empat macam, pertama, itsbatu wujuudillah; kedua, iqamatu syari’atiilah, ketiga qital fi sabilillah dan keempat daf’u dlararil ma’shumin, musliman kana au dzimmiyyan.

Bentuk jihad pertama adalah itsbatu wujudillah, yaitu menegaskan eksistensi Allah swt di muka bumi, seperti dengan melantunkan adzan, takbari serta bermacam-macam dzikir dan wirid. Bentuk kedua adalah iqamatu syari’atillah, menegakkan syariat Allah (baca: nilai-nilai agama), seperti shalat, puasa, zakat, haji, nilai-nilai kejujuran, keadilan, kebenaran, dan sebagainya. Bentuk ketiga, al-qital fi sabilillah, berpegang di jalan Allah, artinya jika ada komunitas yang memusuhi kita dengan segala argumentasi yang dibenarkan agama, maka kita baru dibenarkan berperang sesuai dengan rambu-rambu yang ditetapkan Allah. Bentuk keempat, daf’u dlararul ma’shumin musliman kana au dzimmiyyan, yakni mencukupi kebutuhan dan kepentingan orang yang harus ditanggung (oleh pemerintah) baik itu yang muslim maupun kafir dzimmi (termasuk orang kristani, majusi, yahudi serta pemelum-pemeluk agama lainnya yang bukan menjadi musuh). Cara pemenuhan kebutuhan tersebut ditambahkan mushannif I’anah, dengan mencukupi sandang, pangan dan papan. Kalau kita implementasikan di negara kita, peranan Bulog, Perumnas, pabrik tekstil dan sejenisnya jelas menjadi tanggungan pemerintah dan wajib dikelola secara adil dan benar untuk memenuhi kepentingan 200 juta lebih anak bangsa, jika tidak maka pemerintahan tersebut tergolong fajir dan lalim.
C. Rumusan Jihad
Hal yang menarik dan perlu dicermati adalah rumusan makna jihad sebagai upaya mengayomi dan melindungi orang-orang yang berhak mendapatkan perlindungan, baik muslim atau non-muslim. Dalam konteks kekinian, rumusan jihad ini akan mendapatkan relevansinya dan terasa membumi ketika seseorang melakukan langkah-langkah aktualisasi berikut -- sebagaimana yang dirumuskan para ulama klasik:
1. al-Ith’am (jaminan pangan)
Jihad dengan mengupayakan masyarakat sekeliling agar mendapatkan hak kelangsungan hidup, seperti sembako, dengan harga terjangkau, santunan bagi masyarakat terlantar, subsidi bagi yang tidak mampu, dan lainnya.
2. al-Iksa’ (jaminan sandang)
Jihad dengan memperjuangkan agar masyarakat mampu memperoleh kebutuhan sandang secara cukup, seperti harga tekstil terjangkau, bahan baku tekstil tercukupi, tersedianya pakaian yang sesuai dengan kemampuan masyarakat, dan lainnya.
3. al-Iskan (jaminan pangan)
Jihad dengan mengusahakan agar masyarakat mampu mendapatkan kebutuhan tempat tinggal, seperti pengadaan rumah sederhana dengan harga terjangkau, melindungi masyarakat dari jerat kredit memberatkan dari para pengembang real estate, dan lainnya.
4. Tsaman al-dawa’ (jaminan obat-obatan)
Jihad dengan mengupayakan agar masyarakat dapat memenuhi kebutuhannya atas obat-obatan. Masyarakat diberi kesadaran bahwa tindakan preventif perlu dilakukan agar diri kita terhindar dari sakit dan ketergantungan kepada obat-obatan, seperti: memasyarakatkan obat generik, sosialisasi gaya hidup sehat, menjaga kebersihan lingkungan, subsidi obat murah bagi masyarakat tidak mampu, dan lainnya.
5. Ujrah al-Tamridl (jaminan berobat)
Jihad dengan mengusahakan agar orang-orang yang jatuh sakit tidak terbebani oleh ongkos berobat yang tidak terjangkau. Masyarakat yang terserang penyakit harus mendapatkan layanan yang cukup hingga sembuh. Jihad ini pada tataran aplikasi dapat berbentuk subsidi bagi penderita penyakit, pengadaan puskesmas dengan layanan yang baik dan murah, pengobatan gratis bagi yang tidak mampu, dan lainnya.
Lima kebutuhan dasar (mabadi’ khaira ummah) ini adalah orientasi perjuangan Nabi Muhammad saw ketika berada di Madinah. Lima dasar ini jika benar-benar realisasinya akan melahirkan muslim militan dan fundamentalis, yaitu orang Islam yang berhati-hati dalam menjalankan ajaran Islam


Sejarah Hasyasyin (Assassins)

Saifuddin Zuhri Qudsy

Dosen Fakultas Ushuluddin, Studi Agama, dan Pemikiran IslamUIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Pendahuluan

Dalam Syi‘ah, perpecahan terjadi diantara para ekstrimis dan moderat setelah wafatnya Ja‘far Shadiq pada 765, imam yang keenam setelah Ali. Pada waktu itu, anak yang tertua Ja‘far adalah Ismail. Karena alasan-alasan yang belum jelas, dan barangkali karena kerja samanya dengan elemen-elemen ekstrimis, Ismail tidak dianggap sebagai pewaris keimaman, dan sebagian besar orang Syiahmenjadikan adiknya yakni Musa al-Kazim sebagai Imam ketujuh. Garis keturunan Musa bersambunghingga imam kedua belas yang menghilang pada 873, beliau tetap menjadi imam ‗yang dinantikan‘atau imam Mahdi, bagi sebagian besar orang-orang Syi‘ah saat ini. Para pengikut keduabelas imamtersebut terkenal dengan nama Itsna Asyariyah atau Twelver Syiah yang merupakan sekte yangpaling moderat di antara sekte yang lain. Perbedaan mereka dari Sunni hanya sebatas pada pokok-pokok ajaran tertentu saja yang pada tahun-tahun terakhir menjadi tidak signifikan lagi. Sejak abadXVI sekte Syiah Itsna syariyah menjadi anutan resmi penduduk Iran (Bernard Lewis, 1967: 26

Kelompok yang lain mengikuti Ismail dan keturunannya, dan dikenal sebagai Ismailiyah. Untuk sekian lama bekerja secara diam-diam, dan mendirikan sebuah sekte yang terorganisir dengan baik dan memiliki daya tarik intelektual maupun emosional yang jauh melampaui saingan-saingannya.Untuk mengganti semrawutnya dugaan-dugaan dan takhayul primitif dalam sekte-sekte Ismailiyahyang terdahulu, sejumlah teolog terkemuka membangun sebuah sistim doktrin religius yangmengandung filsafat tingkat tinggi dan mengarang berbagai karya yang, setelah beberapa abadkemudian masih diakui kehebatannya. Bagi orang-orang saleh, sekte Ismailiyah sebenarnya jugamenghormati al-
Qur‘an, hadits, dan Syari‘ah sama halnya dengan yang dilakukan oleh orang
-orangSunni. Dalam masalah intelektual, mereka memberikan penjelasan-penjelasan filosofis mengenaialam semesta, dengan merujuk pada sumber-sumber kuno khususnya ide-ide platonik. Dalammasalah spiritual membawa kehangatan, kepercayaan emosional dan personal yang disokong olehcontoh penderitaan para imam dan pengorbanan para pengikutnya

pengalaman tentang gairah danpencapaian kebenaran. Kepada orang-orang yang tidak puas terhadap penguasa, merekamenawarkan daya tarik sebuah gerakan oposisi yang kuat, tersebar luas, dan terorganisir denganbaik, yang tampaknya mampu menawarkan kemungkinan untuk menggulingkan penguasa yang ada,dan membangun sebuah tatanan masyarakat baru yang adil, dipimpin oleh Imam

pewaris nabi yangdipilih oleh Tuhan dan satu-satunya pemimpin yang paling tepat untuk seluruh manusia.Dalam buku-buku sejarah disebutkan bahwa pada masa sepeninggal al-Mustansir (1035-1094M),gerakan Ismailiyah mengalami perpecahan serius dengan adanya dua kelompok yang berada dibelakang kedua putra Al-Mustansir yakni Nizar dan Al-Musta'li. Kelompok Nizar cendrung ekstremdan aktif, basis gerakannya di Suriah dan Persia. Kelompok Nizar inilah yang menjadi cikal bakaldari kelompok Hasyasyin yang menentang kepemimpinan Fatimiyyah, bahkan Nizar memproklamirkan dirinya sebagai khalifah yang syah dengan gelar Al-Musthafa li Din Allah (AjidThahir, 2004: 121-122). Kelompok Nizariyah dapat ditumpas kekuatannya oleh Khalifah Al-

2
Musta‘li. Sedangkan Kelompok Al
-
Musta‘li lebih moderat, mereka adalah leluhur dari kelom
pok spiritual Ismailiyah Bohra di Bombay India (Bosworth, 1993: 73).
Sejarah Assassins
Assassins atau hasyasyin, begitulah sebutannya. Kata inilah yang kemudian populer saatterjadinya perang Salib, dan di Barat kata ini dibawa oleh Marco Polo, serta dipopulerkan olehEdward Burman (1987) dan Bernard Lewis. Dalam sejarahnya, hasyasyin merupakan satu kelompok sempalan dari sekte Syiah Ismailiyyah. Hitti dalam bukunya tidak menyebutkan kata assassins, tetapihasyasyin. Gerakan ini merupakan gerakan sempalan dari ajaran Ismailiyyah yang berkembang padadinasti Fathimiyyah, Mesir. Hassan Sabbah (w. 1124) adalah pendirinya dan para anggota hasyasyin
menyebut gerakan mereka sebagai da‘wah jadidah (ajaran baru). Menurut Hitti, Hassan Sabbah
mengaku sebagai keturunan raja-raja Himyar di Arab Selatan. Menurutnya motif gerakan ini murnimemuaskan ambisi pribadi, dan dari sisi keagamaan sebagai alat untuk balas dendam (Philip K. Hitti,2010: 565). Hassan Sabbah dilahirkan di kota Qumm, salah satu pusat perkampungan Arab di Persiadan benteng orang-
orang Syi‘ah Itsna Asyariyah. Ayahnya, seorang pengikut Syiah Itsna Asyariyah,
datang dari Kufah, Iraq, dan dikatakan sebagai orang asli Yaman. Tanggal kelahiran Hasan tidak ketahui, namun barangkali sekitar pertengahan abad XI. Ketika dia masih kecil, ayahnya pindah keRayy

kota modern di dekat Tehran, di sana Hasan mendapatkan pendidikan agamanya. Rayymerupakan pusat aktivitas para dai semenjak abad IX dan tak lama kemudian Hasan mulaiterpengaruh oleh mereka (Philip K. Hitti, 2010: 565).Alamut merupakan basis pertahanan dari hasyasyin. Benteng ini dibangun di atas punggung bukitdi puncak sebuah gunung batu yang tinggi pada jantung pegunungan Elburz, serta mempunyaisebuah lembah yang tertutup dan kuat, yang panjangnya sekitar 30 mil, dan luasnya 3 mil. Tinggigunung tersebut sekitar 6000 kaki di atas permukaan laut, dan hanya bisa dicapai melalui sebuahjalan sempit, curam dan berliku. Untuk mendekati batu tersebut orang harus melalui jurang sempit disungai Alamut, yang terletak diantara jurang tegak lurus dan kadang menggantung.Istana tersebut dikatakan telah dibangun oleh salah seorang raja Daylam. Ketika dia sedang keluaruntuk berburu dia kehilangan burung Elang piarannya yang ternyata hinggap di gunung batutersebut. Raja melihat nilai strategis posisi gunung batu tersebut dan saat itu pula dia membangunsebuah istana di atasnya. Dia memberi nama istana tersebut Aluh Amut yang dalam bahasa orang-orang Daylam berarti ajaran burung Elang.Alamut, sebagai benteng pertahanan yang dimiliki oleh hasyasyin dipandang mempunyai perananpenting dalam melakukan serangan-serangan mendadak ke berbagai arah yang mengejutkan benteng-benteng pertahanan lawan. Dalam berbagai upayanya untuk mencapai tujuan, mereka menggunakanpisau-pisau belati yang indah, yang menjadikan pembunuhan sebagai seni. Organisasi rahasiamereka, yang didasarkan atas ajaran Ismailiyyah, mengembangkan agnostisisme yang bertujuanuntuk mengantisipasi anggota baru dari kekangan ajaran, mengajari mereka konsep keberlebihanpara nabi dan menganjurkan mereka agar tidak mempercayai apa pun serta bersikap berani untuk menghadapi apa pun. Di bawah mahaguru ada tingkatan guru senior yang masing-masingbertanggung jawab atas setiap daerahnya. Di bawahnya, ada dai-dai biasa, sedangkan tingkatan yang
paling rendah adalah para fida‘i yang selalu siap sedia melaksanakan setiap perintah sang Mahaguru
(syekh, the elder, orang tua) (Philip K. Hitti, 2010: 565).

3
Hasyasyin juga cukup dikenal di dunia Barat. Persentuhannya dengan Barat, menurut Lewis,dimulai ketika belati mereka tertancap pada Conrad of Montferrat, raja kerajaan Latin Yerusalem.Pembunuhan tersebut, menurut Lewis, menimbulkan kesan yang mendalam pada para pasukanperang salib, dan mayoritas kronikus perang salib III mempunyai pengungkapan sesuatu mengenaisekte yang menakutkan tersebut, dan keyakinan serta cara-caranya yang aneh, serta pemimpin
mereka yang mengagumkan. ―Saya

mengaitkan beberapa hal pada si syekh (the elder) ini‖ kata
penulis kronik Jerman, Ar
nold of Lubbeck, ―yang tampak menggelikan namun dapat saya buktikan
dengan bukti-bukti serta saksi-saksi yang terpercaya. Mahaguru ini mempunyai ilmu sihir yang dapatmembikin kagum banyak orang di negerinya, yang membuat mereka tidak menyembah dan tidak pula percaya kecuali kepadanya. Dia memikat mereka juga dengan cara yang aneh, seperti memberiharapan-harapan, janji-janji kesenangan dan kebahagiaan abadi, yang membuat mereka lebihmemilih mati untuk mendapatkannya. Bahkan banyak diantara mereka yang akan terjun dari dindingyang tinggi yang akan menghancurkan kepala mereka dan membuat mereka mati dengan cara yangamat mengerikan, hanya dengan aba-aba anggukan kepala atau perintahnya. Ketika beberapadiantara mereka lebih memilih mati dengan cara ini

membunuh seseorang dengan keahliannya dankemudian mereka akan membunuh diri mereka hingga sekarat dalam keberkatan

, sang mahagurumemberikan mereka belati yang disiapkan secara khusus untuk prosesi ini, dan kemudian diamemberi semacam obat yang dapat membuat mereka mabuk serta lupa, kemudian merekaditunjukkan, dengan magisnya, pada mimpi-mimpi yang fantastis, penuh kesenangan, atau semacamitu. Tidak hanya berhenti di situ saja, sang mahaguru menjanjikan bahwa mereka akan menikmatikebahagiaan seperti itu selamanya sebagai balasan perbuatan yang telah mereka lakukan
‖ (Bernard
Lewis, 1967: 4).Menurut Lewis, bagi para korbannya, para hasyasyin adalah orang-orang kriminal fanatik yangbergerak dalam konspirasi pembunuhan melawan agama dan masyarakat. Bagi para pengikutIsmailiyah, mereka adalah korps elit yang berperang melawan musuh-musuh imam; denganmenjatuhkan para penindas dan perebut kekuasaan, mereka memberikan bukti nyata akankepercayaan dan loyalitas mereka, serta segera memperoleh kebahagiaan yang abadi. Orang-orangIsmailiyah sendiri menggunakan istilah fidai

yang secara kasar berarti pengikut setia

untuk menyebut pasukan pembunuh mereka, dan sebuah syair Ismailiyah yang indah memuji keberaniandan kesetiaan total mereka. Dalam sebuah kronik lokal Ismailiyah di Alamut, yang ceritakan olehRashid ad-Din dan Kashani, ada sebuah daftar pujian untuk pembunuhan-pembunuhan, yang jugamenyertakan nama-nama korban beserta para pembunuhnya ((Bernard Lewis, 1967: 48).Dari segi bentuk, orang-orang Ismailiyah merupakan sebuah masyarakat rahasia, yangmempunyai sistem sumpah, inisiasi serta tingkatan-tingkatan pangkat dan pengetahuan. Rahasia-rahasia mereka terjaga dengan baik, dan informasi mengenai mereka terpisah-pisah sertamembingungkan. Orang-orang ortodoks yang suka berpolemik melukiskan orang-orang Ismailiyahsebagai gerombolan orang-orang nihilis palsu yang menipu korban-korbannya melalui tahapan-tahapan penistaan yang terus menerus, dan pada akhirnya memperlihatkan hal-hal yang amat buruk kepada orang-orang yang tidak mempercayai mereka.Para penulis Ismailiyah melihat sekte ini sebagai penjaga misteri yang suci yang hanya bisadicapai setelah melalui rangkaian panjang persiapan serta proses. Istilah yang umum dipergunakanuntuk organi
sasi sekte ini adalah da‘wa

(dalam bahasa Persianya Da‘vat), yang berarti missi atau
ajaran; agen-agennya adalah para dai atau missionaris

secara literal berarti penyeru ataupengajak

yang merupakan suatu jabatan kependetaan melalui pengangkatan. Dalam laporan-

4
laporan Ismailiyah belakangan mereka dibagi keberbagai macam tingkatan dai, guru, murid

tingkatan rendah atau tinggi-, sedangkan di bawah mereka adalah mustajib

secara literal berartisimpatisan atau responden, yang merupakan murid yang paling rendah

tingkatan yang palingtinggi adalah hujjah (dalam bahasa Persianya Hujjat),
dai senior. Kata jazirah ‗pulau‘, digunakan
untuk menunnjukkan teritorial atau yurisdiksi etnik yang diketuai oleh seorang dai (Bernard Lewis,1967: 49).Gambaran yang dideskripsikan oleh Lewis di atas sangat menarik, karena hal seperti ini pulasebenarnya yang memacu seseorang untuk melaksanakan jihad fi sabilillah dengan mengangkatpedang. Penjelasan mengenai surga

seperti yang dipaparkan dalam al-
Qur‘an—
yang di dalamnyaterdapat sungai anggur, madu, dan susu, perempuan-perempuan cantik, serta kebun-kebun yangbelum pernah dilihat di mata disuguhkan secara konkrit oleh sang mahaguru, sehingga pemuda yangdisiapkan menjadi hasyasyin benar-benar percaya dan tidak memiliki alasan untuk tidak percayabahwa itulah surga. Dan memang pada masa perang salib, hal ini memberikan kesan yang mendalammengenai taktik dan strategi hasyasyin dalam meneror dan membunuh target-target yang menjadikorbannya. Dan tidak itu saja, Lewis mensinyalir bahwa hasyasyin juga sering disewa oleh orang-orang Barat untuk membunuh musuh-musuhnya. Dalam setiap pembunuhan yang mereka lakukan,baik di persia maupun di Syiria, para Hasyasyin selalu menggunakan belati; tidak pernah memakairacun atau peluru meskipun dalam banyak kesempatan hal itu akan membuat pembunuhan menjadilebih mudah dan lebih aman. Menurut Lewis, seorang Hasyasyin hampir pasti selalu tertangkap, danbiasanya mereka memang tidak berusaha melarikan diri; bahkan ada anggapan bahwa selamatsetelah melaksanakan tugas merupakan suatu hal yang memalukan. Seorang pengarang Barat abad
XII mengatakan: ―ketika kemudian ada beberapa orang di antara mereka yang memilih mati dengancara ini… dia sendiri (baca: sang ketua) akan memberi mereka pisa
u yang menurutnya memang
disiapkan untuk itu…‖(Bernard Lewis, 1967: 47). Hal ini dikarenakan sang hasyasyin benar
-benarmengharapkan surga.
Sisa-sisa Hasyasyin Saat Ini (Abad XIX-XX)
Bagaimana keadaan sekte ini pada saat ini? Lewis dalam buku Assassins mengungkapkan bahwapada 1833, dalam Journal of The Royal Geographical Society, seorang pegawai British yang dikenaldengan Colonel W. Monteith dalam perjalanannya telah sampai pada pintu masuk lembah Alamut,tetapi belum benar-benar sampai atau mengenali istana tersebut. Lebih jauh dia menuliskan bahwahal ini kemudian berhasil dilakukan oleh seorang saudara W. Monteith, Lieutenant Colonel (sir)Justin Sheil, yang laporannya diterbitkan pada jurnal yang sama tahun 1838. Seorang pegawaiBritish yang ketiga yang bernama Stewart mengunjungi istana tersebut beberapa tahun kemudian.Setelah itu, baru satu abad kemudian penelitian mengenai Alamut dimulai lagi.Data ini kemudian Lewis perkuat dengan mengatakan bahwa, pada 1811, Rousseau, konsul dariAleppo, dalam sebuah perjalanan ke Persia menyelidiki pengikut Ismailiyah dan kaget saatmengetahui bahwa di kota tersebut masih banyak yang masih setia pada seorang imam yang bergarisketurunan Ismail. Nama imam tersebut adalah Shah Khalilullah, ia tinggal di sebuah desa yangbernama Kehk, dekat Qumm, yang terletak diantara Tehran dan Isfahan. Menurut Rousseau, Shah
Khalilullah hampir dianggap sebagai tuhan oleh para pengikutnya, dan dianggap memiliki mu‘jizat,
dan mereka terus menerus mempersembahkan harta kekayaan dari harta benda milik mereka danseringkali mereka menjulukinya sebagai khalifah. Bahkan banyak pengikut Ismailiyah yang beradadi India, mereka secara reguler datang ke Kehk melalui pinggiran sungai Gangga dan Indus untuk

5
menerima berkah dari imam mereka, sebagai balasan kebaikan dan sumbangan mereka (BernardLewis, 1967: 14).Pada tahun 1825 seorang pelancong Inggris, J.B. Fraser mengkonfirmasikan keberadaan pengikutIsmailiyah di Persia dan ketaatan mereka kepada para pemimpinnya, meski mereka tidak lagimempraktekkan pembunuhan dengan perintah para pemimpinnya; namun hingga saat ini Shah ataupemimpin sekte tersebut dipuja secara membabi buta oleh para pengikutnya yang masih tersisa,meskipun kegiatannya benar-benar sudah berbeda dengan karakter sekte pada awalnya. Ada jugabeberapa pengikut sekte ini yang bertempat tinggal di India, yang masih setia pada pemimpinnya.Pemimpin yang dahulu, Shah Khalilullah telah terbunuh di Yazd beberapa tahun sebelumnya (tahun1817), oleh para pemberontak yang melawan gubernur. Dia kemudian digantikan

dalam kapasitaskeagamaannya

oleh salah seorang anaknya yang mendapatkan penghormatan serupa dari sektetersebut.Lebih jauh, Lewis mengungkapkan bahwa pada Desember 1850 sebuah kasus pembunuhan yangbesar disidangkan pada pengadilan kriminal di Bombay empat orang tergeletak dan terbunuh dijalan pada siang hari bolong, yang merupakan akibat adanya perbedaan pendapat dalam komunitaskeagamaan tempat mereka berada. Sembilan belas orang diadili dan empat dari mereka divonis matidan digantung. Para korban serta para penyerangnya dikenal sebagai orang-orang Khoja; sebuahkomunitas kecil, kebanyakan terdiri dari pedagang di daerah Bombay dan beberapa bagian lain diIndia.Kejadian tersebut dipicu oleh sebuah perselisihan yang telah berlangsung selama dua puluh tahunlebih. Kejadian tersebut dimulai pada 1827, ketika sebuah kelompok Khoja menolak untuk membayar Upeti kepada pemimpin sekte mereka yang tinggal di Persia. Pemimpin tersebut adalahputera dari Shah Khalilullah, yang menggantikan ayahnya yang terbunuh pada 1817. Pada 1818 SyahPersia menunjuknya menjadi gubernur Mahallat dan Qumm, dan memberinya gelar Aga Khan.Dengan gelar inilah dia beserta keturunannya dikenal secara luas. Menghadapi penolakan tiba-tibayang dilakukan oleh para pengikutnya di India untuk membayar kewajiban-kewajiban keagamaanmereka, Aga Khan mengirimkan utusan khusus dari Persia ke Bombay agar mereka kembali kedalam kelompok. Turut serta dalam utusan tersebut nenek Aga Khan yang akan berpidato pada parapengikut Khoja di Bombay untuk memperoleh kembali kesetiaan mereka. Mayoritas komunitasKhoja masih setia kepada pemimpin mereka, tetapi ada sekelompok kecil yang masih tetapbersikukuh pada sikap menentang dan menegaskan bahwa mereka tidak mempunyai kewajibanuntuk patuh terhadap Aga Khan dan tidak mengakui bahwa komunitas Khoja masih terikatdengannya. Dampak konflik tersebut melahirkan ketegangan dalam komunitas Khoja dan berpuncak dengan pembunuhan di tahun 1850.Pada saat itu Aga Khan sendiri telah meninggalkan Persia, karena dia tidak berhasil memimpinsebuah pemberontakan melawan Shah, dan setelah tinggal sebentar di Afghanistan, ia kemudianberlindung di India. Jasanya kepada kepada orang-orang Inggris di Afghanistan dan Sindmembuatnya memperoleh terima kasih dari mereka. Setelah pada awalnya tinggal di Sind dankemudian di Calcuta, dia akhirnya tinggal di Bombay dimana dia mengukuhkan dirinya sebagaipemimpin komunitas Khoja. Kendati demikian ada beberapa orang yang tidak setuju yang kemudianmenentangnya, orang-orang tersebut menggunakan sarana-sarana hukum untuk mengalahkannya.Setelah mengadakan persiapan, pada bulan april 1866, kelompok penentang itu mengajukan berkas-

6
berkas tuntutan perkara kepada pengadilan tinggi di Bombay, dengan tuntutan agar Aga Khandilarang melakukan intervensi terhadap urusan-urusan serta hak milik komunitas Khoja.Masalah ini ditangani oleh Hakim Ketua Sir Joseph Arnould. Hearing berlangsung selama 25 hari,dan melibatkan hampir seluruh elemen pengadilan. Kedua kelompok mengajukan argumentasi-argumentasi serta berkas-berkas perkara, penyelidikan-penyelidikan yang dilakukan oleh pengadilancukup luas dan mendalam, baik dalam aspek sejarah, garis keturunan, teologi dan hukum. Aga Khansendiri memberikan kesaksian dan mengemukakan bukti-bukti tentang keturunannya. Pada tanggal12 November 1866 Sir Joseph Arnould menyampaikan keputusan. Komunitas Khoja Bombay,menurutnya, merupakan bagian dari komunitas besar Khoja di India yang ajarannya berasal dariIsmailiyah yang merupakan cabang dari Syiah; mereka adalah sebuah sekte yang para leluhurnyaberasal dari Hindu, yang telah berpindah keyakinan ke dalam kepercayaan Syiah Ismailiyah; sertaselalu dan masih terikat hubungan kesetiaan spiritual terhadap para imam Ismailiyah. Mereka telahdijadikan pengikut pada 400 tahun yang lalu oleh dai-dai Ismailiyah dari Persia, dan tetap berada dibawah pengaruh otoritas spiritual imam-imam Ismailiyah, yang imam terakhirnya adalah Aga Khan.Para imam tersebut keturunan dari para raja Alamut, dan melalui mereka, menjadi keturunanKhalifah Fathimiyah di Mesir, dan akhirnya keturunan Nabi SAW. Pengikut mereka pada abadpertengahan terkenal dengan nama Hasyasyi.Tampaknya Lewis sangat percaya dengan keputusan Arnould yang dengan didukung oleh data-data dan argumentasi historis yang kuat, kemudian secara legal mengukuhkan status komunitasKhoja sebagai bagian dari Ismailiyah, bahwa Ismailiyah merupakan keturunan dari para Hasyasyin,dan Aga Khan sebagai pemimpin spiritual Ismailiyah dan keturunan dari imam-imam Alamut.Keputusan Arnould juga menimbulkan perhatian terhadap eksistensi komunitas Ismailiyah didaerah-daerah lain di seluruh dunia, orang-orang yang sebenarnya tidak mengakui Aga Khan sebagaipemimpin mereka. Kelompok-kelompok ini biasanya merupakan kelompok minoritas, berada didaerah terpencil dan terisolasi, sulit dicapai dari manapun, suka menyembunyikan pudarnyakepercayaan dan hilangnya karya-karya tulis mereka. Beberapa tulisan dalam bentuk manuskripsampai ke tangan para sarjana. Pada awalnya kesemuanya datang dari Syiria

wilayah pertama yangmenjadi pusat perhatian orang-orang Barat modern untuk menyelidiki Ismailiyah, baik pada eramodern maupun pada abad pertengahan. Yang lain kemudian menyusul, dari berbagai wilayah yangberbeda-beda. Pada tahun 1903, seorang pedagang Italia, Caproti, membawa sekitar 60-an manuskrip
Arab dari San‘a, di Yaman, yang menjadi
kumpulan buku pertama yang disimpan di perpustakaanAmbrosiana, di Milan. Dalam pemeriksaan, mereka juga mengerjakan karya-karya yang berisidoktrin-doktrin Ismailiyah, yang berasal dari pengikut-pengikut Ismailiyah yang masih hidup diArab bagian selatan. Di antara buku-buku tersebut, ada yang berisi sandi-sandi rahasia. Ketika diEropa sudah tidak ada sumber-sumber baru lagi, para Sarjana Russia, yang telah menerima beberapamanuskrip sekte Ismailiyah dari Syiria, menemukan bahwa di negara mereka juga ada pengikutIsmailiyah yang tinggal di perbatasan kerajaan mereka, dan pada tahun 1902 Count AlexisBibrinskoy menerbitkan sebuah laporan tentang pengorganisasian dan penyebaran orang-orangIsmailiyah di Russia, Asia Tengah. Pada waktu yang sama seorang pegawai kolonial A. Polostsevmemperoleh salinan sebuah buku keagamaan sekte Ismailiyah yang ditulis dalam bahasa Persia.Buku tersebut ditempatkan pada museum Asiatic milik Russian Academy of the Scientist. Salinanlainnya menyusul, dan antara 1914 dan 1918 museum tersebut mendapatkan sebuah koleksimanuskrip Ismailiyah yang dibawa dari Shugnan -yang terletak diatas sungai Oxus- oleh duaorientalis I.I. Zarubin dan A.A. Semyonov. Dengan manuskrip-manuskrip ini serta manuskrip-

7
manuskrip yang didapatkan setelahnya, para sarjana Russian mampu menyelidiki literaturkeagamaan dan kepercayaan sekte Ismailiyah Pamir dan beberapa distrik yang berbatasan denganAfghanistan di Badakhsan.
Kritik Atas Lewis
Ada beberapa poin yang hendak saya pakai dalam mengulas dan mengkritisi Lewis ini. Poin-pointersebut antara lain: pertama, mencoba mengenali karakter hasyasyin dalam konteks Timur Tengahsaat ini, terutama kaitannya dengan terorisme yang seringkali menyudutkan umat Islam; kedua,melihat posisi Lewis sebagai seorang orientalis yang menjadi rujukan masyarakat Barat dalammasalah Irak, Iran, dan Afghanistan, serta rujukan-rujukan buku yang digunakannya; ketiga,menempatkan posisi Lewis dalam kerangka kritik Edward Said dalam membongkar ideologiorientalisme.
· Mengenali Karakter Hasyasyin Pada Konteks Saat Ini
Di beberapa negara Islam, kasus adanya bom bunuh diri merupakan satu hal yang tidak aneh dantidak mengejutkan. Biasanya bom bunuh diri baik dibawa sendiri ataupun diledakkan sendiri daridalam mobil, merupakan karakter khas dari orang-orang yang merasa dirinya kalah dan kehilanganakal dalam menghadapi musuhnya. Pada saat ini, hal seperti ini banyak dilakukan kelompok ekstrimIslam kepada Barat (yang menurut mereka adalah kafir yang harus diperangi). Jika dianalogkandengan hasyasyin, berarti kejadian pemboman ini tidak berasal dari ruang hampa. Karena hasyasyinpun juga tidak mau melarikan diri setelah targetnya berhasil dibunuh, bahkan jika disuruh sang gurupun dia akan membunuh dirinya sendiri, bahkan sebagaimana yang telah disebutkan di atas, bilatarget musuhnya sudah terbunuh dan misinya tercapai, si hasyasyin tidak melarikan diri, mereka siapdan surga sudah ada di depan mereka (satu kepercayaan yang sama sekali tidak dapat dipahami padasaat ini

bagaimana membunuh orang bisa dikatakan masuk surga. Hal yang sama pula dengan yangdilakukan oleh para pembajak dua pesawat yang ditabrakkan pada gedung WTC AS pada 2001.Tidak hanya ke Barat saja, di dalam Islam sendiri pun juga sering terjadi bom bunuh diri, misalnya diIrak ataupun Iran, dimana targetnya adalah orang Islam sendiri namun berbeda pandangan dengan sipembawa bom bunuh diri. Hal ini paling tidak menunjuk pada adanya analogi hasyasyin pada masalalu dengan masa sekarang, hanya saja peralatan dan modusnya saja yang berbeda bentuk.Dalam kasus ini, penelitian Lewis dalam buku The Assassins menemukan relevansinya, sehinggakemudian tak heran jika dia menjadi salah satu staf Ahli militer Bush dalam penyerangan ke Irak demi menghancurkan al-Qaeda yang dianggap organisasi teroris. Karena di samping dianggapkompeten dalam masalah ini, dia juga pakar masalah Middle East.
· Melihat Sumber-sumber yang Digunakan Lewis
Saya melihat data-data yang digunakan oleh Lewis kebanyakan adalah data-data yang berasal daripara orientalis sebelumnya. Memang ada beberapa rujukan yang digunakan Lewis yang berasal darisarjana muslim, seperti al-Juwaini, Rashid ad-Din, dan lain-lain, namun yang dipergunakan adalahsumber-sumber dari pihak lawan. Memang dia mengatakan bahwa sumber-sumber mengenaiIsmailiyah yang ditulis oleh orang dalam sudah banyak dibakar dan dihancurkan seiring dengandihancurkannya Ismailiyyah dan Alamut, sehingga data-data dari perspektif insider sama sekali tidak tercover di sini. Yang menarik di sini adalah, kepiawaian Lewis dalam menggiring opini mengenai

8
keburukan dari hasyasyin, seolah-olah kelompok ini sama sekali tidak ada sisi kebaikannya. Yangtak kalah menariknya adalah dia mendukung hal ini dengan data-data konkrit. Seolah dia hendak membuat satu kebenaran mengenai buruknya hasyasyin, tanpa harus mengetahui berbagai motif yangkonkret yang dijadikan argumen oleh kelompok ini. Jika meminjam bahasa Michel Foucault,kebenaran adalah kekuasaan. Bagi Foucault, terdapat lima ciri politik ekonomi keberan: kebenaranberpusat pada bentuk diskursus ilmiah dan istitusi yang memproduksinya. Ia adalah subjek bagirangsangan konstan ekonomi dan politik (kebutuhan akan kebenaran sama banyaknya denganproduksi ekonomi atau kekuasaan politik); ia adalah objek difusi besar-besaran dan konsumsi besar-besaran (yang beredar melalui perangkay pendidikan dan informasi yang meluas secara relatif dalam;lembaga sosial, tanpa ada batas yang tegas); ia diproduksi dan ditransmisikan di bawah aparatursentral dan dominan

kalau tidak eksklusif

dari segelintir aparatur besar politik dan ekonomi(universitas, angkatan bersenjata, tulisan, dan medua); dan yang terakhir ia adalah masalah darikeseluruhan debat politik dan konfrontasi sosial (perjuangan ideologis) (Michel Foucault, 1980: 131-132).Lewis membentuk kebenaran melalui data-data yang didisplay olehnya, sehingga ketika buku initelah jadi dan tersebar, buku inipun dikonsumsi dan membentuk satu opini publik AS mengenaigerakan-gerakan militan Islam. Hal inilah yang perlu dicermati dari sosok Lewis. Akhirnya peta-petaterorisme di dunia timur tengah yang terbentuk jika membaca buku ini adalah Iran, Irak, Syiria, danAfghanistan.
· Bernard Lewis dalam Kerangka Kritik Edward Said
Bagi Edward W. Said, Lewis merupakan kasus yang menarik untuk dikaji lebih lanjut karenakedudukannya dalam dunia politik Timur-Tengah, Inggris, dan Amerika adalah sebagai seorang
orientalis kawakan. Apa pun yang ditulisnya akan selalu dibarengi dengan ―otoritas‖ dan ―validitas‖
yang diberikan masyarakat Eropa pada setiap karyanya. Menurut Said, selama kira-kira setengahdasawarsa, karya-karya Lewis hampir selalu bersifat agresif ideologis meskipun ia tidak bisa lepasdari kesulitan dan ironi. Lebih jauh Said menyatakan bahwa tulisan Lewis bukanlah salah satucontoh sempurna akademisi orientalis yang berlandaskan pada pengetahuan yang benar-benarobjektif. Lebih dari itu, tulisan Lewis justru lebih dekat pada tulisan yang berwujud propagandistis,yakni dengan menentang objek bahasannya (Edward W. Said, 1978: 318-320). Meski demikian,kenyataan ini tentu bukan sesuatu yang mengejutkan bagi siapa pun yang akrab dengan sejarahorientalisme. Yang jelas, tulisan Lewis ini lebih tampak sebagai salah satu skan
dal ―kecendekiaan‖
yang paling akhir dan yang paling sering tidak mendapatkan kritik yang memadai dari paracendekiawan lainnya di Barat. Tulisan hasyasyin ini merupakan salah satu tulisan yang digarapLewis untuk menentang objek bahasannya sendiri. Secara lebih jauh Said menegaskan bahwaideologi Lewis mengenai Islam adalah bahwa Islam tidak pernah berubah, dan dengan bahasa yanglebih vukgar lagi Said menyatakan bahwa Lewis memiliki misi untuk memberikan informasi kepadamasyarakat pembacanya yang konservatif, Yahudi, dan siapapun juga yang sudi mendengar, bahwasemua penuturan politik, sejarah, dan kecendekiaan mengenai kaum muslim harus dimulai dandiakhiri dengan kenyataan bahwa kaum muslim tetaplah kaum muslim (tidak berubah), tak lebih dariitu. Dari sini pula kita melihat bahwa salah satu cara untuk menelanjangi pemikiran Lewis adalahdengan menggunakan kacamata pendekatan poskolonialisme.Secara lebih jauh, bagi Said, orientalisme merupakan suatu aliran penafsiran yang menjadikanTimur, peradaban-peradabannya, orang-orangnya, dan lokalitas-lokalitasnya sebagai objek

9
interpretasi. Dan yang menarik menurut Edward Said, aliran ini selalu mendapat legitimasi yangbesar secara moral. Secara lebih jauh Said mengatakan bahwa selama masih dalam kesadaran barat,Timur hanyalah satu kata yang kemudian diberi makna, asosiasi, dan konotasi. Bahkan semua hal initidak harus merujuk
pada Timur ‗yang sebenarnya‘ tetapi hal
-hal lain yang berhubungan dengankawasan itu (Edward W. Said, 1978: 318-320).
Daftar Pustaka
Ajid Thahir,
Perkembangan Peradaban Di Kawasan Dunia Islam
, Jakarta: PT Raja GrafindoPersada, 2004.Bosworth,
The Islamic Dynasties
, terjemah: Ilyas Hasan, Bandung: Mizan, 1993.Bernard Lewis,
The Assassins: Radical Sect In Islam
, London: Al Saqi Books. 1967.Edward Burman,
The Assassins: Holy Killers of Islam
, Ed. Crucible, Wellingborough, 1987,Edward W. Said,
Orientalism
, New York: Vintage Books, 1978.Michel Foucault,
Power/Knowledge
, New York: Pantheon Books, 1980.Philip K. Hitti,
The History of Arabs
, Jakarta: Serambi, 2010.