Jumat, 26 Februari 2016

PRODUK BARU PERANG GENERASI 4

KORUPSI, LGBT, TERORIS, NARKOBA, ALIRAN SESAT, PROSTITUSI ONLINE, VIRUS ZIKA dan lain-lain
semua itu adalah Produk Baru Perang Generasi ke-4, mereka menyebutnya perang proxy, ini sedang dikembangkan dan disebarluakan di negeri ini dengan tujuan untuk menguasai Negeri ini.

Fenomena lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) di Indonesia adalah bagian dari proxy war atau perang proksi untuk menguasai suatu bangsa tanpa perlu mengirim pasukan militer. Demikian dikatakan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu saat berbicara di Kantor Kementerian Pertahanan, Jakarta, Selasa (23/2/2016).

Ia menjelaskan, perang proksi itu menakutkan lantaran musuh tidak diketahui. Kalau melawan militer negara lain, musuh mudah dideteksi dan bisa dilawan. "Kalau perang proksi, tahu-tahu musuh sudah menguasai bangsa ini. Kalau bom atom atau nuklir ditaruh di Jakarta, Jakarta hancur, di Semarang tak hancur. Tapi, kalau perang proxy semua hancur. Itu bahaya," paparnya.

Semua jenis perang proxy ini sedang diujicoba di Negara ini dalam rangka menguasai pikiran anak-anak bangsa, agar mau menuruti apa saja yang mereka inginkan. Perang akhir jaman yang mereka rancang adalah perang dimana mereka tidak perlu repot-repot mengirim banyak pasukan ke medan perang dan menumpahkan banyak darah, tetapi cukup dengan mengendalikan alam bawah sadar masyarakat dengan berbagai ideologi dan gaya hidup hedonis sehingga bisa dikendalikan dari jarak jauh.

Setelah sekian tahun lamanya mereka sudah berhasil menguasai hampir seluruh sumber daya alam kita (Freeport di papua dsb), kini mereka juga menginginkan kepala kita. Mereka akan berusaha sebisa mungkin menghancurkan bangsa ini dengan cara mencuci otak kita dengan berbagai motif dan ideology sesat yang mereka ciptakan sehingga perlahan-lahan kita akan menanggalkan akidah kita dan beralih memeluk agama baru yang belakangan ini juga ramai dibicarakan di media yaitu agama Gafatar.

Bangsa ini kini sudah Tenggelam setengah badan, setengah badan itu adalah kini sudah sampai sebatas perut, yaitu dimana kini mereka sudah berhasil menguasai seluruh kebutuhan sandang dan pangan kita, sehingga kini kita kesulitan memenuhi kebutuhan pokok kita karena mereka yang mengendalikan pasar komoditi.

Dan kini mereka sedang berusaha menggempur akidah kita dengan berbagai macam kedok terorisme dan ajaran aliran sesat yang dibiarkan tumbuh subur disekitar kita, sedikitnya bertujuan agar kita berkelahi dan berbenturan sesame muslim lalu terciptalah permusuhan dan bibit kebencian antar umat (tapi untungnya itu tidak terjadi). Mereka bukan hanya ingin isi perut bumi negeri ini, mereka juga inginkan kepala kita dan akhirnya mereka bisa menguasai negeri ini secara keseluruhan (total) dari sabang sampai merauke dan dari ujung rambut hingga ujung kaki.

Beberapa waktu lalu pemerintah rebut-ribut meminta agar merevisi Undang-undang Anti Terorisme, tapi akhirnya batal dilakukan karena belum dibutuhkan dan yang sekarang sedang ramai dibicarakan adalah merevisi Undang-undang KPK, pemerintah ngotot ingin dirubahnya pasal-pasal dalam undang-undang KPK yang menurut beberapa pakar berpendapat bahwa itu bertujuan melemahkan kerja KPK, karena disinyalir dengan revisi UU KPK ini akan memudahkan badan intelegen luar akan masuk dan mengendalikan sistem pemerintahan kita, lalu gencarnya kampanye Anti Narkoba yang digembor-gemborkan media sebenarnya mengandung makna ganda, disamping mereka berlakon sedang berperang melawan pelaku Narkoba mereka juga mengkampanyekan Slogan Narkoba itu ke masyarakat, padahal hingga kini tidak ada tindakan nyata pemerintah ingin memerangi Narkoba, hanya slogan-slogan saja. Dan sebagainya berbagai aksi berlebihan yang dilakukan pemerintah sebenarnya mengandung arti ganda (propaganda), disamping melawan mereka juga menyuburkan praktek tersebut dimasyarakat.

Lalu bagaimana caranya masyarakat mensikapi situasi menyengsarakan ini? Adakah jalan keluarnya, sampai kapan kita akan dibuat sibuk dan lelah dengan berbagai bentuk intimidasi seperti ini. Setiap hari kita diminta sabar dan tidak perpancing dengan segala bentuk propaganda, tetapi lihatlah apa yang terjadi dibelakang dan di grass root sana, bagaimana dengan nasib rakyat kecil yang tidak tahu menahu dengan hal ini? Bagaimana caranya mereka mempertahankan diri dan bisa membuat diri mereka bisa bertahan hidup dalam perang seperti ini?

Ini adalah bentuk perang menghancurkan jiwa, menggerogoti ketenangan jiwa kita perlahan-lahan menjadi lemah dan akhirnya menyerah, kondisi ini memaksa kita untuk selalu waspada dengan berbagai bentuk kekejian media yang selalu membuat berita miring dan kekacauan dimana-mana. Salam persaudaraan, semoga hari-hari anda bisa membawa pada jalan keselamatan dunia akhirat. amin

Selasa, 23 Februari 2016

DEFINSI SESAJEN/SESAJI

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Sebuah contoh sesajen sederhana pada upacara hari pertama mengayun bayi dalam masyarakat Suku Sunda Dayeuhluhur Sesajen atau sajen adalah sejenis persembahan kepada dewa atau arwah nenek moyang pada upacara adat di kalangan penganut kepercayaan kuno di Indonesia,[1] seperti pada Suku Sunda, Suku Jawa, Suku Bali dan suku lainnya.[butuh rujukan]

BENDA SAJEN

Benda sesajen berbeda dengan benda untuk persembahan, kurban atau tumbal, di mana sesajen hanya dibuat untuk kepentingan upacara adat skala kecil dengan tujuan yang berupa rutinitas adat dan memiliki "tujuan baik".[butuh rujukan]

Benda sesajen biasanya hanya sederhana berupa rangkaian bunga dan daun yang berbau wangi seperti melati dan irisan daun pandan, kemudian buah-buahan dan makanan jajanan pasar, yang kemudian diiringi pembakaran kemenyan sebagai pengantar kepada nenek moyang.[butuh rujukan]

Sesajen Menurut Pendapat Suku atau Agama

Sesajen berarti sajian atau hidangan. Sesajen memiliki nilai sakral di sebagian besar masyarakat kita pada umumnya acara sakral ini dilakukan untuk mengharap berkah di tempat-tempat tertentu yang diyakini keramat atau di berikan kepada benda-benda yang diyakini memiliki kekuatan ghaib semacam keris trisula dan sebagainya untuk tujuan yang bersifat duniawi. Sedangkan waktu penyajiannya di tentukan pada hari-hari tertentu. Seperti malam jum’at kliwon selasa legi dan sebagainya. Adapun bentuk sesajiannya bervariasi tergantung permintaan atau sesuai bisikan ghaib yang di terima oleh orang pintar paranormal dukun dan sebagainya. Banyak kaum muslimin berkeyakinan bahwa acara tersebut merupakan hal biasa bahkan dianggap sebagai bagian daripada kegiatan keagamaan.

Sehingga diyakini pula apabila suatu tempat atau benda keramat yang biasa diberi sesaji lalu pada suatu pada saat tidak diberi sesaji maka orang yang tidak memberikan sesaji akan kualat. Anehnya perbuatan yang sebenarnya pengaruh dari ajaran Animisme dan Dinamisme ini masih marak dilakukan oleh orang-orang pada jaman modernisasi yang serba canggih ini. Hal ini membuktikan pada kita bahwa sebenarnya manusianya secara naluri/ fitrah meyakini adanya penguasa yang maha besar yang pantas dijadikan tempat meminta mengadu mengeluh berlindung berharap dan lain-lain. Fitrah inilah yg mendorong manusia terus mencari Penguasa yg maha besar ? Pada akhirnya ada yg menemukan batu besar pohon-pohon rindang kubur-kubur benda-benda kuno dan lain-lain lalu di agungkanlah benda-benda tersebut.

Pengagungan itu antara lain diekspresikandalam bentuk sesajen yg tak terlepas dari unsur-¬unsur berikut: menghinakan diri rasa takut berharap tawakal do’a dan lainnya. Unsur-unsur inilah yg biasa disebut dalam islam sebagai ibadah. Islam datang membimbing manusia agar tetap berjalan diatas fitrah yang lurus dengan diturunkannya syari’at yang agung ini. Allah Ta’ala menerangkan tentang fitrah yang lurus tersebut dalam Al Qur’an Rasul-rasul mereka berkata apakah ada keragu-raguan terhadap Allah pencipta langit dan bumi ?. Allah juga berfirman : "Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Agama tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.

Berkenaan dengan ayat-ayat diatas nabi pun bersabda : “Setiap anak dilahirkan diatas fitrah maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi Nasrani atau penyembah api. .Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits Qudsi : Aku menciptakan hamba¬-hamba-Ku diatas agama yang lurus lalu syetan menyesatkan mereka.

Dalam hal tersebut diatas telah diterangkan bahwa dalam agama kami (ISLAM), dan khususnya suku kami Dayak Pantai yang sebagian besar memiliki kebudayaan melayu yang kental dengan Islam, sangat jarang di jumpai penerapan sesajen sepewrti yang dilakukan oleh kebudayaan dan suku lain. Khususnya dalam keluarga kami pelaksanaan sesajen seperti in sama halnya denga menyekutukan Allah, karena meyakini sesuatu selain Allah. Dan penyajian berbagai jenis macam makanan, buah – buahan ini juga dalam keluarga saya menganggap bahwa itu adalah hal yang berlebihan atau dalam istilah mubajir, karena menghambur-hamburkan sesuatu dengan berlebihan sementara hal semacam itu (sesajen) itu msih bisa diguinakan atau di konsumsi oleh orang yang lebih membutuhkan daripada memberikan ke sesuatu yang tidak jelas keberadaannya.

Namun, dalam suatu suku atau kebudayaan umumnya tidak semua orang memiliki cara pandang yang sama, dalam suku atau daerah saya masih ada juga yang melakukan kegiatan atau ritual sesajen, diantaranya sesajen untuk penghuni sungai (Buaya, Naga, Ular Dll.), dan darat seperti makhluk halus yang umumnya berupa keranjang makanan yang di simpan pada pohon besar, rumah tua dan tempat – temlainya yang di anggap ada penghuninya. Tapi, dalam hal ini saya tidak dapat mejelaskan secara detail tentang prosesnya, karena umumnya yang melakukan hal terebut hanyalah orang yang bersangkutan dan tidak di publikasikan atau tidak boleh ada yang mengetahuinya selainm dia dan keluarga yang dipercayai oleh orang tersebut.

Jadi, dalam pandangan Suku, Agama khususnya kelurga saya, kegiatan seperti ini tidak dilaksanakan karena dengan alasan tersebut diatas.

Minggu, 21 Februari 2016

Tumbal Dan Sesajen, Tradisi Syirik Warisan Jahiliyah



Oleh Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA

Ritual mempersembahkan tumbal atau sesajen kepada makhuk halus (jin) yang dianggap sebagai penunggu atau penguasa tempat keramat tertentu tiada lain merupakan kebiasaan syirik (menyekutukan Allâh Azza wa Jalla dengan makhluk) yang sudah berlangsung turun-temurun di sebagian masyarakat kita. Mereka meyakini makhluk halus tersebut punya kekuatan untuk memberikan kebaikan (rezeki, jodoh, anak dan lainnya) atau menimpakan malapetaka kepada siapa saja, sehingga dengan mempersembahkan tumbal atau sesajen tersebut mereka berharap dapat meredam kemarahan makhluk halus itu dan agar segala permohonan mereka dipenuhinya.

Ternyata ritual ini sudah berkembang sejak jaman Jahiliyah sebelum Allâh Subhanahu wa Ta’ala mengutus Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menegakkan tauhid (peribadatan/penghambaan diri kepada Allâh Azza wa Jalla semata) dan memerangi syirik dalam segala bentuknya.

Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِنَ الْإِنْسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقًا

"Dan bahwasanya ada beberapa orang dari (kalangan) manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki dari (kalangan) jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan."[al-Jin/72 :6]

Maksudnya, orang-orang di jaman Jahiliyah meminta perlindungan kepada para jin dengan mempersembahkan ibadah dan penghambaan diri kepada para jin tersebut, seperti menyembelih hewan kurban (sebagai tumbal), bernazar, meminta pertolongan dan lain-lain[1].

Dalam ayat lain, Allâh Azza wa Jalla berfirman:

{وَيَوْمَ يَحْشُرُهُمْ جَمِيعًا يَا مَعْشَرَ الْجِنِّ قَدِ اسْتَكْثَرْتُمْ مِنَ الإنْسِ، وَقَالَ أَوْلِيَاؤُهُمْ مِنَ الإنْسِ رَبَّنَا اسْتَمْتَعَ بَعْضُنَا بِبَعْضٍ وَبَلَغْنَا أَجَلَنَا الَّذِي أَجَّلْتَ لَنَا، قَالَ النَّارُ مَثْوَاكُمْ خَالِدِينَ فِيهَا إِلا مَا شَاءَ اللَّهُ إِنَّ رَبَّكَ حَكِيمٌ عَلِيمٌ

Dan (ingatlah) hari di waktu Allâh menghimpunkan mereka semuanya, (dan Dia berfirman): “Hai golongan jin (syaitan), sesungguhnya kamu telah banyak (menyesatkan) manusia”. Lalu berkatalah teman-teman dekat mereka dari golongan manusia (para dukun dan tukang sihir): “Ya Rabb kami, sesungguhnya sebagian dari kami telah mendapatkan kesenangan/manfaat dari sebagian (yang lain) dan kami telah sampai kepada waktu yang telah Engkau tentukan bagi kami”. Allâh berfirman: “Neraka itulah tempat tinggal kalian, sedang kalian kekal didalamnya, kecuali kalau Allâh menghendaki (yang lain)”. Sesungguhnya Rabbmu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui” [al-An’âm/6:128]

Syaikh ‘Abdurrahmân as-Sa’di rahimahullah berkata: “Jin (syaitan) mendapatkan kesenangan ketika manusia menaatinya, menyembahnya, mengagungkannya dan berlindung kepadanya (berbuat syirik dan kufur kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala). Sedangkan manusia mendapatkan kesenangan dengan dipenuhi dan tercapainya keinginannya dengan sebab bantuan dari para jin untuk memuaskan keinginannya. Maka orang yang menghambakan diri pada jin (sebagai imbalannya) jin tersebut akan membantunya dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya”[2] .

HUKUM TUMBAL DAN SESAJEN DALAM ISLAM

Mempersembahkan kurban yang berarti mengeluarkan sebagian harta dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala [3] , adalah suatu bentuk ibadah besar dan agung yang hanya pantas ditujukan kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala. Allâh k berfirman:

قُلْ إِنَّ صَلاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ

Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, sembelihanku (kurbanku), hidupku dan matiku hanyalah untuk Allâh, Rabb semesta alam, tiada sekutu baginya; Dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)” [al-An’âm/6:162-163].

Dalam ayat lain, Allâh Azza wa Jalla berfirman kepada nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu (Allâh Subhanahu wa Ta’ala) dan berkurbanlah.[al-Kautsar/108:2)]

Kedua ayat ini menunjukkan agungnya keutamaan ibadah shalat dan berkurban, karena melakukan dua ibadah ini merupakan bukti kecintaan kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan pemurnian agama bagi-Nya semata-mata, serta pendekatan diri kepada-Nya dengan hati, lisan dan anggota badan, juga dengan menyembelih kurban yang merupakan pengorbanan harta yang dicintai jiwa kepada Dzat yang lebih dicintainya, Allâh Subhanahu wa Ta’ala [4].

Oleh karena itu, perbuatan mempersembahkan ibadah ini kepada selain Allâh Azza wa Jalla , baik itu jin, makhluk halus ataupun manusia, dengan tujuan untuk mengagungkan dan mendekatkan diri kepadanya, yang dikenal dengan istilah tumbal atau sesajen, adalah perbuatan dosa yang sangat besar, bahkan merupakan perbuatan syirik besar yang bisa menyebabkan pelakunya keluar dari agama Islam (menjadi kafir) [5].

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنزيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ

Sesungguhnya Allâh hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan sembelihan yang dipersembahkan kepada selain Allâh [al-Baqarah/2:173]

Imam Ibnu Jarîr ath-Thabari rahimahullah berkata: “Artinya, sembelihan yang dipersembahkan kepada sesembahan (selain Allâh Azza wa Jalla) dan berhala, yang disebut nama selain-Nya (ketika disembelih), atau diperuntukkan kepada sembahan-sembahan selain-Nya” [6] .

Dalam sebuah hadits shahih, dari ‘Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu, Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Allâh melaknat orang yang menyembelih (berkurban) untuk selain-Nya” [7] .

Hadits ini menunjukkan ancaman besar bagi orang yang menyembelih (berkurban) untuk selain-Nya berupa laknat Allâh Subhanahu wa Ta’ala yaitu dijauhkan dari rahmat-Nya. Karena perbuatan ini termasuk dosa yang sangat besar, bahkan termasuk perbuatan syirik kepada Allâh Azza wa Jalla, sehingga pelakunya pantas untuk mandapatkan laknat Allâh Azza wa Jalla dan dijauhkan dari rahmat-Nya [8] .

Penting sekali untuk diingatkan dalam pembahasan ini, bahwa faktor utama yang menjadikan besarnya keburukan perbuatan ini, bukanlah semata-mata karena besar atau kecilnya kurban yang dipersembahkan kepada selain-Nya, tetapi karena besarnya pengagungan dan ketakutan dalam hati orang yang mempersembahkan kurban tersebut kepada selain-Nya, yang semua ini merupakan ibadah hati yang agung yang hanya pantas ditujukan kepada Allâh Azza wa Jalla semata-mata.

Jadi, meskipun kurban yang dipersembahkan sangat kecil dan sepele, seperti seekor lalat sekalipun, jika disertai dengan pengagungan dan ketakutan dalam hati kepada selain-Nya, maka ini juga termasuk perbuatan syirik besar [9] .

Dalam sebuah atsar dari Sahabat mulia, Salmân al-Fârisi Radhiyallahu anhu beliau berkata: “Ada orang yang masuk surga karena seekor lalat dan ada yang masuk neraka karena seekor lalat, ada dua orang yang melewati (daerah) suatu kaum yang sedang bersemedi (menyembah) berhala mereka dan mereka mengatakan: “Tidak ada seorang pun yang boleh melewati (daerah) kita hari ini kecuali setelah dia mempersembahkan sesuatu (sebagai kurban/tumbal untuk berhala kita)”. Maka mereka berkata kepada orang yang pertama: “Persembahkanlah sesuatu (untuk berhala kami)!”, tapi orang itu enggan – dalam riwayat lain: orang itu berkata: “Aku tidak akan berkurban kepada siapapun selain Allâh Azza wa Jalla –. Maka dia pun dibunuh (kemudian dia masuk surga). Lalu mereka berkata kepada orang yang kedua: “Persembahkanlah sesuatu (untuk berhala kami)!”, Dalam riwayat lain: orang itu berkata: “Aku tidak mempunyai sesuatu untuk dikurbankan” Maka mereka berkata lagi: “Persembahkanlah sesuatu meskipun (hanya) seekor lalat!”. (Dengan menyepelekan), orang itu berkata: “Apalah artinya seekor lalat”. Lalu dia pun berkurban dengan seekor lalat. Dalam riwayat lain: maka mereka pun mengizinkannya lewat, kemudian (di akhirat) dia masuk neraka” [10] .

HUKUM BERPARTISIPASI DAN MEMBANTU DALAM ACARA TUMBAL DAN SESAJEN

Setelah kita mengetahui bahwa melakukan ritual Jahiliyyah ini adalah dosa yang sangat besar, bahkan termasuk perbuatan syirik kepada Allah, yang berarti terkena ancaman dalam firman-Nya:

إِنَّ اللَّهَ لا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا

Sesungguhnya Allâh tidak akan mengampuni (dosa) perbuatan syirik (menyekutukan-Nya), dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allâh, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang sangat besar” [an-Nisâ’/4:48]

Atas dasar itu, ikut berpartisipasi dan membantu terselenggaranya acara ini, dalam segala bentuknya, adalah termasuk dosa yang sangat besar, karena termasuk berta’awun (saling menolong) dalam perbuatan maksiat yang sangat besar kepada Allâh Azza wa Jalla, yaitu perbuatan syirik.

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الإثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan janganlah tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah. Sesungguhnya Allâh amat berat siksa-Nya [al-Mâidah/5:2]

Imam Ibnu Katsîr rahimahullah berkata: “(Dalam ayat ini), Allâh Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan hamba-hamba-Nya yang beriman untuk saling menolong dalam melakukan perbuatan-perbuatan baik, yakni perbuatan al-birr (kebajikan), dan meninggalkan perbuatan-perbuatan mungkar, yang ini adalah ketakwaan, serta melarang mereka dari (perbuatan) saling membantu dalam kebatilan dan saling membantu dalam perbuatan dosa dan maksiat” [11] .

Larangan berpartisipasi dalam perbuatan maksiat dan dosa juga dikuatkan oleh hadits hadits tentang haramnya perbuatan riba dan haramnya ikut membantu serta mendukung perbuatan ini. Dari Jâbir bin Abdillah Radhiyallahu anhu dia berkata: “Rasûlullâh Shalallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang memakan riba, orang yang mengusahakannya, orang yang menulis (transaksinya), dan dua orang yang menjadi saksinya, mereka semua sama (dalam perbuatan dosa)” [12].

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata: “Dalam hadits ini (terdapat dalil yang menunjukkan) diharamkannya menolong/mendukung (terselenggaranya perbuatan) batil (maksiat)” [13] .

HUKUM MEMANFAATKAN MAKANAN/HARTA YANG DIGUNAKAN UNTUK TUMBAL/SESAJEN

Jika makanan tersebut berupa hewan sembelihan, maka tidak boleh dimanfaatkan dalam bentuk apapun, baik untuk dimakan atau dijual, karena hewan sembelihan tersebut telah dipersembahkan kepada selain Allâh Subhanahu wa Ta’ala, maka dagingnya haram dimakan dan najis, sama hukumnya dengan daging bangkai [14] . Allâh Azza wa Jalla berfirman:

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنزيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ

Sesungguhnya Allâh hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan sembelihan yang dipersembahkan kepada selain Allâh [al-Baqarah/2:173]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah ketika menafsirkan ayat ini, beliau berkata: “Semua hewan yang disembelih untuk selain Allâh tidak boleh dimakan dagingnya” [15] .

Dan karena daging ini haram dimakan, maka berarti haram untuk diperjual-belikan, berdasarkan sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla jika mengharamkan memakan sesuatu maka Dia (juga) mengharamkan harganya (haram diperjualbelikan) [16].

Jika makanan tersebut selain hewan sembelihan, sebagian ulama mengharamkannya dan menyamakan hukumnya dengan hewan sembelihan yang dipersembahkan kepada selain Allâh Azza wa Jalla [17].

Akan tetapi, pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini, insya Allâh, adalah pendapat yang dikemukakan oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Bâz rahimahullah yang membolehkan pemanfaatan makanan dan harta tersebut, selain sembelihan, karena hukum asal makanan/harta tersebut adalah halal dan telah ditinggalkan oleh pemiliknya.

Syaikh ‘Abdul ‘Azîz bin Bâz rahimahullah berkata: “(Pendapat yang mengatakan) bahwa uang (harta), makanan, minuman dan hewan yang masih hidup, yang dipersembahkan oleh pemiliknya kepada (sembahan selain Allâh Azza wa Jalla, baik itu) kepada nabi, wali maupun (sembahan-sembahan) lainnya, haram untuk diambil dan dimanfaatkan, pendapat ini tidak benar. Karena semua itu adalah harta yang bisa dimanfaatkan dan telah ditinggalkan oleh pemiliknya, serta hukumya tidak sama dengan bangkai (yang haram dan najis), maka (hukumnya) boleh diambil (dan dimanfaatkan), sama seperti harta (lainnya) yang ditinggalkan oleh pemiliknya untuk siapa saja yang menginginkannya, seperti bulir padi dan buah korma yang ditinggalkan oleh para petani dan pemanen pohon korma untuk orang-orang miskin.

Dalil yang menunjukkan kebolehan ini adalah (perbuatan) Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam (ketika) beliau mengambil harta (yang dipersembahkan oleh orang-orang musyrik) yang (tersimpan) di perbendaharaan (berhala) Lâta, dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam (memanfaatkannya untuk) melunasi utang (Sahabat yang bernama) ‘Urwah bin Mas’ûd ats-Tsaqafi. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (dalam hadits ini) tidak menganggap dipersembahkannya harta tersebut kepada (berhala) Lâta sebagai (sebab) untuk melarang mengambil (dan memanfaatkan harta tersebut) ketika bisa (diambil).

Akan tetapi, orang yang melihat orang (lain) melakukan perbuatan syirik tersebut (mempersembahkan makanan/harta kepada selain Allâh Azza wa Jalla), dari kalangan orang-orang bodoh dan para pelaku syirik, wajib baginya untuk mengingkari perbuatan tersebut dan menjelaskan kepada pelaku syirik itu bahwa perbuatan tersebut termasuk syirik, supaya tidak timbul prasangka bahwa sikap diam dan tidak mengingkari (perbuatan tersebut), atau mengambil seluruh/sebagian dari harta persembahan tersebut, adalah bukti yang menunjukkan bolehnya perbuatan tersebut dan bolehnya berkurban dengan harta tersebut kepada selain Allâh Subhanahu wa Ta’ala. Karena perbuatan syirik adalah kemungkaran (kemaksiatan) yang paling besar (dosanya), maka wajib diingkari/dinasehati orang yang melakukannya.

Adapun kalau makanan (yang dipersembahkan untuk selain Allâh Subhanahu wa Ta’ala) tersebut terbuat dari daging hewan yang disembelih oleh para pelaku syirik, maka (hukumnya) haram (untuk dimakan/dimanfaatkan), demikian juga lemak dan kuahnya, karena (daging) sembelihan para pelaku syirik hukumnya sama dengan (daging) bangkai, sehingga haram (untuk dimakan) dan menjadikan najis makanan lain yang tercampur dengannya. Berbeda dengan (misalnya) roti atau (makanan) lainnya yang tidak tercampur dengan (daging) sembelihan tersebut, maka ini semua halal bagi orang yang mengambilnya (untuk dimakan/dimanfaatkan), demikian juga uang dan harta lainnya (halal untuk diambil), seperti yang telah dijelaskan. Wallâhu a’lam” [18].

PENUTUP Demikianlah tulisan ringkas ini, semoga bermanfaat bagi semua orang yang membacanya untuk kebaikan dunia dan akhiratnya.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun XIV/1431/2010M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]

_______ Footnote

[1]. Lihat Tafsir Ibnu Katsir 4/550, Taisîrul Karîmir Rahmân hlm. 890, at-Tamhîd li Syarhi Kitâbit Tauhîd hlm. 317 dan Hum Laisû Bisyai hlm. 4 [2]. Taisîrul Karîmir Rahmân hlm. 273 [3]. Ibid hlm. 282 [4]. Ibid hlm. 228 [5]. Lihat Syarhu Shahîhi Muslim 13/141, al-Qaulul Mufîîd ‘alâ Kitâbit Tauhîd 1/215 dan at-Tamhîd li Syarhi Kitâbit Tauhîd hlm. 146. [6]. Jâmi’ul Bayân fi Ta’wîlil Qur`ân 3/319 [7]. HR. Muslim no. 1978 [8]. Keterangan Syaikh Shaleh Alu Syaikh dalam at-Tamhîd li Syarhi Kitâbit Tauhîd hlm. 146 [9]. Lihat Fathul Majîd hlm. 178 dan 179 [10]. Atsar riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf no. 33038 dengan sanad shahih. Juga diriwayatkan dari jalan lain oleh Imam Ahmad dalam az-Zuhd hlm. 15-16, al-Baihaqi dalam Syu’abul Imân no. 7343 dan Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliyâ 1/203 [11]. Tafsir Ibnu Katsîr 2/5 [12]. HR. Muslim no. 1598 [13]. Syarhu Shahîhi Muslim 11/26 [14]. Lihat keterangan Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Bâz dalam catatan kaki beliau terhadap Fathul Majîd hlm. 175 [15]. Daqâiqut Tafsîr 2/130 [16]. HR Ahmad 1/293, Ibnu Hibbân no. 4938 dan lain-lain. Dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibbân dan Syaikh al-Albâni dalam Ghâyatul Marâm no. 318 [17]. Lihat keterangan Syaikh Muhammad Hamîd al-Faqi dalam catatan kaki beliau terhadap Fathul Majîd hlm. 174 [18]. Catatan kaki Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz terhadap Fathul Majîd hlm. 174-175

Sumber: https://almanhaj.or.id/3544-tumbal-dan-sesajen-tradisi-syirik-warisan-jahiliyah.html

Rabu, 17 Februari 2016

BUNUH DIRI adalah...

Bunuh Diri; Pengertian Dan Jenisnya
Label: Humaniora
Bunuh diri (bahasa Inggris: suicide; dalam budaya Jepang dikenal istilah harakiri), adalah tindakan mengakhiri hidup sendiri tanpa bantuan aktif orang lain. Secara istilah bunuh diri adalah suatu upaya yang disadari dan bertujuan untuk mengakhiri kehidupan, individu secara sadar dan berhasrat dan berupaya melaksanakan hasratnya untuk mati. Perilaku bunuh diri meliputi isyarat-isyarat, percobaan atau ancaman verbal, yang akan mengakibatkan kematian, luka atau menyakiti diri sendiri.

Dalam Islam, istilah bunuh diri sering disebut dengan intihar, yang berasal dari kata (nahara) yang berarti menyembelihnya. Imam al-Qurtubi mengartikan bunuh diri sebagai pembunuhan diri sendiri dengan sengaja karena gagal mencapai ambisi yang bersifat keduniaan atau keinginan akan kekayaan atau membunuh diri sendiri karena akan kekayaan atau membunuh diri sendiri karena perasaan marah atau putus asa.
Bunuh diri secara umum, adalah perilaku membunuh diri sendiri dengan intensi mati sebagai penyelesaian atas suatu masalah. Agar sebuah kematian bisa disebut bunuh diri, maka harus disertai adanya intensi untuk mati. Meskipun demikian, intensi bukanlah hal yang mudah ditentukan, karena intensi sangat variatif dan bisa mendahului, misalnya untuk mendapatkan perhatian, membalas dendam, mengakhiri sesuatu yang dipersepsikan sebagai penderitaan, atau untuk mengakhiri hidup.

Sosiolog Emile Durkheim memandang perilaku bunuh diri sebagai hasil dari hubungan individu dengan masyarakatnya, yang menekankan apakah individu terintegrasi dan teratur atau tidak dengan masyarakatnya. Berdasarkan hubungan tersebut, Durkheim membagi bunuh diri menjadi 4 tipe yaitu:
Egoistic Suicide. Bunuh diri akibat individu yang terisolasi dengan masyarakatnya, dimana individu mengalami underinvolvement dan underintegration. Individu menemukan bahwa sumber daya yang dimilikinya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan, dia lebih beresiko melakukan perilaku bunuh diri.

Altruistic Suicide. Bunuh diri akibat mengalami overinvolvement dan overintegration. Pada situasi demikian, hubungan yang menciptakan kesatuan antara individu dengan masyarakatnya begitu kuat sehingga mengakibatkan bunuh diri yang dilakukan demi kelompok. Identitas personal didapatkan dari identifikasi dengan kesejahteraan kelompok, dan individu menemukan makna hidupnya dari luar dirinya. Pada masyarakat yang sangat terintegrasi, bunuh diri demi kelompok dapat dipandang sebagai suatu tugas.

Anomic Suicide. Bunuh diri yang didasarkan pada bagaimana masyarakat mengatur anggotanya. Masyarakat membantu individu mengatur hasratnya (misalnya hasrat terhadap materi, aktivitas seksual, dll.). Ketika masyarakat gagal membantu mengatur individu karena perubahan yang radikal, kondisi anomie (tanpa hukum atau norma) akan terbentuk. Individu yang tiba-tiba masuk dalam situasi ini dan mempersepsikannya sebagai kekacauan dan tidak dapat ditolerir cenderung akan melakukan bunuh diri. Misalnya remaja yang tidak mengharapkan akan ditolak oleh kelompok teman sebayanya.

Fatalistic Suicide. Tipe bunuh diri ini merupakan kebalikan dari anomic suicide, dimana individu mendapat pengaturan yang berlebihan dari masayarakat. Misalnya ketika seseorang dipenjara atau menjadi budak.
Tipe bunuh diri yang dihasilkan dari prilaku yang mengarah kepada tindakan bunuh diri melahirkan metode-metode seseorang dalam melakukan bunuh diri. Terhadap metode seseorang melakukan tindakan bunuh diri kemudian memiliki beberapa istilah yang berbeda sesuai dengan alasan seseorang dalam melakukan bunuh diri diantaranya adalah:

Euthanasia, yaitu tindakan pencabutan kehidupan manusia dengan melalui cara yang dianggap tidak menimbulkan rasa sakit atau menimbulkan rasa sakit yang minimal.
Murder–suicide, yaitu tindakan di mana individu membunuh satu atau lebih orang lain, sebelum atau pada waktu yang besamaan kemdian membunuh dirinya sendiri.

Suicide attack atau serangan bunuh diri, yaitu suatu serangan yang dilakukan oleh penyerangnya dengan maksud untuk membunuh orang (atau orang-orang) lain dan bermaksud untuk turut mati dalam proses serangannya.

Mass suicide, yaitu bunuh diri masal, atau usaha untuk mengakhiri hidup secara yang dilakukan secara bersama-sama.

Suicide pact, yaitu bunuh diri yang dilakukan oleh dua atau lebih individu dengan telah direncanakan dan telah disepakati sebelumnya. Ini dilakukan di tempat yang berbeda dengan adanya kesepakatan sebelumnya.
Defiance or protest, yaitu bunuh diri yang dilakukan sebagai tindakan pembangkangan atau protes politik. Hal ini dilakukan sebagai bentuk protes terhadap pemerintah.

Dutiful suicide, yaitu tindakan yang dilakukan karena tindak kekerasan fatal di tangan diri sendiri dilakukan dengan keyakinan bahwa itu akan menimbulkan kebaikan yang lebih besar, daripada melarikan diri kondisi yang keras. Hal ini dilakukan untuk meringankan beberapa aib atau hukuman, atau ancaman kematian atau balas dendam pada keluarga atau reputasi seseorang.

Escape, yaitu bunuh diri yang dilakukan untuk meringankan situasi untuk hidup yang tak mampu untuk dijalaninya, beberapa orang menggunakan bunuh diri sebagai sarana untuk melarikan diri dari penderitaan.
Richman menyatakan ada dua fungsi dari metode bunuh diri. Fungsi pertama adalah sebagai sebuah cara untuk melaksanakan intensi mati. Fungsi kedua, bahwa metode bunuh diri memiliki makna khusus atau simbolisasi dari individu.

Tentang alasan seseorang melakukan bunuh diri menurut Husain Jauhar. bahwa tindakan bunuh diri bukanlah keberanian, karena seorang tidak akan mati oleh satu faktor, baik itu dekat maupun jauh. Apa yang dilakukan dari tindakan bunuh diri merupakan suatu ketakutan, sifat lemah dan hina.
Dari prilaku untuk melakukan bunuh diri hingga tindakan bunuh diri memerlukan suatu metode seseorang dalam melakukan aksi bunuh dirinya. Dari rangkaian inilah sebuah kesadaran di bangun dari faktor kognitif (berdasar kepada pengetahuan faktual yang empiris), afektif (mempengaruhi keadaan perasaan dan emosi) dan psikomotorik (berkaitan dng proses mental dan psikologi) yang kemudian menjadi penggerak seseorang untuk jadi atau tidaknya melakukan tindakan bunuh diri. Faktor kesadaran mendasari seseorang untuk mengakhiri hidupnya sendiri, hal ini di dukung oleh kebulatan tekat dari keputusan yang diambil untuk melakukan bunuh diri.

Referensi Makalah®
Kepustakaan:
Wikipedia, Bunuh Diri, http://id.wikipedia.org/wiki/Bunuh_diri. Michael Clinton, Mental Health and Nursing Practice, (Australia: Prentice Hall, 1996). Chaplin, J.P., Kamus Lengkap Psikologi, terj Dr. Kartini Kartono, Jakarta: Rajawali Pers. 2004). Ronald W. Maris, Alan L. Berman, Morton M. Silverman, Comprehensive Textbook Of Suicidology. (Belmont: Guilford Press. 2000). Ahmad al-Mursi Husain Jauhar, Maqashid Syariah, (Jakarta: Grafika Offfset, 2009).


Senin, 15 Februari 2016

BAHAYA PENYAKIT HATI : DENGKI

Dengki merupakan salah satu penyakit hati yang harus dihindari. Karena dengki merujuk kepada kebencian dan kemarahan yang timbul akibat perasaan cemburu atau iri hati yang sangat besar. Dengki amat dekat dan berhubungan dengan unsur jahat, benci, fitnah dan perasaan dendam yang terpendam.

Dengki (hasad), kata Imam Al-Ghazali, adalah membenci kenikmatan yang diberikan Allah kepada orang lain dan ingin agar orang tersebut kehilangan kenikmatan itu. Dengki dapat merayapi hati orang yang sakit, karena orang dengki itu merasa lebih hebat, tidak ingin kalah, ingin dianggap ataupun membesar-besarkan diri. Tidak mungkin seseorang merasa iri kepada orang yang dianggapnya lebih “kecil” atau lebih lemah. Sebuah pepatah Arab mengatakan, “Kullu dzi ni’matin mahsuudun.” (Setiap yang mendapat kenikmatan pasti didengki).

Rasulullah shallallahu alaihi wassalam bersabda, “Janganlah kalian saling mendengki, saling menfitnah (untuk suatu persaingan yang tidak sehat), saling membenci, saling memusuhi dan jangan pula saling menelikung transaksi orang lain. Jadilah kalian hamba Allah yang bersaudara. Seorang muslim adalah saudara muslimnya yang lain, ia tidak menzaliminya, tidak mempermalukannya, tidak mendustakannya dan tidak pula melecehkannya. Takwa tempatnya adalah di sini, seraya Nabi shallallahu alaihi wassalam menunjuk ke dadanya tiga kali. Telah pantas seseorang disebut melakukan kejahatan, karena ia melecehkan saudara muslimnya. Setiap muslim atas sesama muslim yang lain adalah haram darahnya, hartanya dan kehormatannya. ” (HR. Muslim dari Abu Hurairah ra)

Allah subhanuhu wata’ala berfirman: Katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhan Yang Menguasai subuh, dari kejahatan makhluk-Nya, dan dari kejahatan pendengki bila ia dengki. (AI Falaq : 1, 2 dan 5).

Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wassalam bersabda: “Ada tiga hal yang menjadi akar semua dosa. Jagalah dirimu dan waspadalah terhadap ketiganya. Waspadalah terhadap kesombongan, sebab kesombongan telah menjadikan iblis menolak bersujud kepada Adam. Waspadalah terhadap kerakusan, sebab kerakusan telah menyebabkan Adam memakan buah dari pohon terlarang. Dan jagalah dirimu dari dengki, sebab dengki telah menyebabkan salah seorang anak Adam membunuh saudaranya.”
(HR Ibnu Asakir).

Perhatikan juga sabda Rasulullah shallallahu alaihi wassalam yang lainnya, Rasulullah shallallahu alaihi wassalam Bersabda: “Hindarilah dengki karena dengki itu memakan (menghancurkan) kebaikan sebagaimana api memakan (menghancurkan) kayu bakar.” (Abu Daud).

Hadits itu menegaskan kepada kita bahwa dengki itu merugikan. Yang dirugikan bukanlah orang yang didengki, melainkan si pendengki itu sendiri. Di antara makna memakan kebaikan, seperti yang disebutkan dalam hadits di atas, dijelaskan dalam kitab ‘Aunul Ma’bud, “Memusnahkan dan menghilangkan (nilai) ketaatan pendengki sebagaimana api membakar kayu bakar. Sebab kedengkian akan mengantarkan pengidapnya menggunjing orang yang didengki dan perbuatan buruk lainnya. Maka berpindahlah kebaikan si pendengki itu pada kehormatan orang yang didengki. Maka bertambahlah pada orang yang didengki kenikmatan demi kenikmatan sedangkan si pendengki bertambah kerugian demi kerugian.

Hilangnya pahala itu hanyalah salah satu bentuk kerugian pendengki. Masih banyak kebaikan-kebaikan atau peluang-peluang kebaikan yang akan hilang dari pendengki, antara lain :

Orang yang dengki perilakunya sering tidak terkendali. cenderung terjebak dalam tindakan merusak nama baik, mendiskreditkan, dan menghinakan orang yang didengkinya. Dengan cara itu ia membayangkan akan merusak citra, kredibilitas, dan daya tarik orang yang didengkinya. Dan sebaliknya, mengangkat citra, nama baik dan kredibilitas pihaknya. Namun kehendak Allah tidaklah demikian. Perhatikan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wassalam. Berikut ini: Dari Jabir dan Abu Ayyub Al-Anshari, mereka mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wassalam bersabda, “Tidak ada seorang pun yang menghinakan seorang muslim di satu tempat yang padanya ia dinodai harga dirinya dan dirusak kehormatannya melainkan Allah akan menghinakan orang (yang menghina) itu di tempat yang ia inginkan pertolongan-Nya. Dan tidak seorang pun yang membela seorang muslim di tempat yang padanya ia dinodai harga dirinya dan dirusak kehormatannya melainkan Allah akan membela orang (yang membela) itu di tempat yang ia menginginkan pembelaan-Nya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ath-Thabrani)

Ketika seorang pendengki melampiaskan kebencian dan kedengkian dengan melakukan hasutan kepada pihak lain, jangan beranggapan bahwa semua orang akan terpengaruh olehnya. Yang terpengaruh hanyalah orang-orang yang tidak membuka mata terhadap realitas, tidak dapat berpikir objektif. Akan tetapi banyak juga yang akan mencoba mencari informasi pembanding dan berusaha berpikir objektif. Sesungguhnya kedengkian merupakan penyakit yang dapat mencukur habis atau mencukur gundul agama. Perhatikan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wassalam berikut ini: “Menjalar kepada kalian penyakit umat-umat (terdahulu): kedengkian dan kebencian. Itulah penyakit yang akan mencukur gundul. Aku tidak mengatakan bahwa penyakit itu mencukur rambut, melainkan mencukur agama.” (At-Tirmidzi)

Perilaku dan sikap pendengki mirip perilaku orang-orang munafik. Di antara perilaku orang munafik adalah selalu mencerca dan mencaci apa yang dilakukan orang lain terutama yang didengkinya. Jangankan yang tampak buruk, yang nyata-nyata baik pun akan dikecam dan dianggap buruk. Orang yang dengki itu hanya melihat dirinya, dan akan mencari keambing hitam atas kegagalan atau kekecewaan atas hal yang sudah ditetapkan Allah. Penyakit dengki tidak ada urusan apakah seseorang tersebut fasih berbahasa arab atau pandai mengutip hadist atau bangga dengan gelar dan titel, ini tanda orang yang belum sampai kepada ilmu, ada yang lebih besar dari Allah di dalam dirinya, dengki.

Allah subhanuhu wata’ala. menggambarkan perilaku itu sebagai perilaku orang munafik. Abi Mas’ud Al-Anshari mengatakan, saat turun ayat tentang infak para sahabat mulai memberikan infak. Ketika ada orang muslim yang memberi infaq dalam jumlah besar, orang-orang munafik mengatakan bahwa dia riya. Dan ketika ada orang muslim yang berinfak dalam jumlah kecil, mereka mengatakan bahwa Allah tidak butuh dengan infak yang kecil itu. Maka turunlah ayat 79 At-Taubah. (Bukhari dan Muslim).

Perhatikan firman Allah subhanuhu wata’ala berikut ini: ”Orang-orang munafik itu yaitu orang-orang yang mencela orang-orang mukmin yang memberi sedekah dengan sukarela dan (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan) selain sekedar kesanggupannya, maka orang-orang munafik itu menghina mereka. Allah akan membalas penghinaan mereka itu, dan untuk mereka azab yang pedih.” (QS. At Taubah [9] : 79)

Orang yang membiarkan dirinya dikuasai oleh iri hati dan dengki akan menanggung beban berat yang tidak seharusnya. Karena setiap kali ia melihat orang yang didengkinya dengan semua kesuksesannya, hati dan persaannya menderita dan hatinya semakin penuh dengan dengki, marah, benci, curiga, kesal, kecewa, resah, dan perasaan-perasaan negatif lainnya. Sungguh sangat tidak enak menjalani kehidupan seperti itu. Seperti layaknya penyakit, ketika dipelihara akan mendatangkan penyakit lainnya, seperti penyakit hati yang bernama iri hati dan dengki. Bila tidak segera dihilangkan akan mengundang penyakit-penyakit lainnya. Sebagaimana tertulis dalam firman Allah subhanuhu wata’ala berikut ini: “ Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta .” (QS.Al-Baqarah [2]: 10).

Sesungguhnya ilmu ini adalah agama, maka lihatlah dari siapakah kalian mengambil agama kalian” (Shahih Muslim, Muqaddimah kitab Shahih).

Dari penjelasan di atas kita dapatkan petunjuk dari Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam serta para shahabat dan tabi’in (serta ulama lain setelah mereka) agar kita mengambil ilmu dari orang yang alim, ’adil (terpercaya dalam agamanya) dan istiqamah, serta melarang mengambil ilmu dari orang-orang jahil dan fasiq. Al-Imam Malik bin Anas menambahkan : ”Ilmu tidaklah diambil dari empat orang : ”(1) Orang yang bodoh yang menampakkan kebodohannya meskipun ia banyak meriwayatkan dari manusia, (2) Pendusta yang ia berdusta saat berbicara kepada manusia, meskipun ia tidak dituduh berdusta atas nama Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam (dalam hadits), (3) Orang yang menurutkan hawa nafsunya dan mendakwahkannya; dan (4) Orang yang mempunyai keutamaan dan ahli ibadah, namun ia tidak tahu apa yang dikatakannya (yaitu tidak faqih)” [Al-Kifaayah 1/77-78]

Semoga Allah menambahkankan petunjuk jalan yang lurus kepada kita semua dan dikumpulkan selalu bersama para salihin, arifin, shidiqqin dan yang terkasih Rasulullah shallallahu alaihi wassalam, amin. (Sumber: SA/Dinarfirst)
http://dinarfirst.org

Apa Itu Lauhul Mahfuz Dan Apa Maknanya

Penafsiran para ulama besar seperti Ibnu Katsir atau Tobari atau lainnya terkait firman Allah : فِي لَوْحٍ مَحْفُوظٍ (سورة البروج: 22) “Dalam Lauhul Mahfuz.” (QS Al-Buruj: 22) Alhamdulillah

Lauh Mahfuzh (Arab: لَوْحٍ مَحْفُوظٍ) adalah kitab tempat Allah menuliskan segala seluruh skenario/ catatan kejadian di alam semesta. Lauh Mahfuzh disebut di dalam Al-Qur'an sebanyak 13 kali diantaranya adalah dalam surah Az-Zukhruf 43: 4, Qaf 50: 4, An-Naml 27: 75 dan lainnya.

1. Ibnu Mandzur mengatakan, “Lauh’ adalah alas lebar terbuat dari papan kayu. Azhari mengatakan, “Lauh adalah papan dari papan kayu. Dan papan kalau ditulis di dalamnya dinamakan ‘Lauh’. Dan ‘Lauhul Mahfudzz” sebagaimana terdapat dalam Al-Quran “Dalam Qur’an (yang (tersimpan) dalam Lauh Mahfuzh.” Maksudnya adalah Al-Quran yang tersimpan atas kehendak Allah.

Tulang yang pipih lebar juga disebut ‘Lauh’. Kata jamaknya adalah ‘Alwah’ dan ‘Alawih’ jam’ul Jam’. (Lisanul Arab, 2/584).

2. Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “yang (tersimpan) dalam Lauh Mahfuzh.” Maksudnya (bahwa Al-Quran) di tempat tertinggi dan terjaga dari adanya penambahan, pengurangan, penyelewengan dan penggantian. (Tafsir Ibnu Katsir, 4/497, 498)

3. Ibnu Qoyim rahimahullah mengatakan, “Ungkapan (Mahfudz/terjaga) kebanyakan ahli qiroat membacanya dengan jar sebagai sifat untuk lauh. Di dalamnya ada isyarat bahwa syetan tidak akan mungkin masuk di dalamnya karena tempatnya terjaga agar (tidak) sampai kesana. Maka dia terjaga dari tindakan syetan baik untuk menambah atau mengurangi. Maka (Allah subhanahu) mensifati bahwa ia terjaga dalam firman-Nya إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ (سورة الحجر: 9)

“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS. Al-Hijr: 9)


Maka Allah subhanahu menjaga tempatnya. Menjaga dari tambahan, pengurangan dan penggantian. Menjaga maknanya dari penyelewengan sebagaimana menjaga lafaznya dari penggantian. Dan Dia menetapakn siapa yang menjaga hurufnya dari tambahan dan pengurangan dan menjaga maknanya dari penyelewengan dan perubahan.” (At-Tibyan Fi Aqsamil Qur’an, hal. 62)

4. Sedangkan apa yang ada dalam sebagian kitab Tafsir bahwa Lauhul Mahfud itu adalah dahi Isrofil atau dia adalah makhluk terbuat dari zambrut hijau, atau selain dari itu. Itu semua tidak ada ketetapannya. Perkara ini termasuk perkara gaib yang tidak dapat diyakini kecuali bersumber dari yang memberikan wahyu kepadanya.

Wallahu a’lam . https://islamqa.info/id/7002

Rabu, 03 Februari 2016

SEKILAS TENTANG BID'AH

Pengertian bid’ah

1. Bid’ah adalah —-> sesuatu perbuatan yang baru dalam agama Islam yang bertentangan dengan syareat, dan diniatkan untuk beribadah kepada Allah.

2. Bid’ah semuanya sesat, sebagaimana tersebut dalam hadits :

( كل بدعة ضلالة)

3. Adapun yang membagi bid’ah menjadi : bid’ah sayyiah dan bid’ah hasanah dan berdalil dengan perkataan Umar r.a , ketika menghidupkan kembali sholat terawih berjama’ah : ( نعم البدعة هذه ) adalah tidak benar, karena yg. dimaksud Umar ra adalah bid’ah secara bahasa.

Selain itu sholat terawih secara berjama’ah pada bulan Ramadhon pernah dikerjakan oleh Rosulullah saw, kemudian beliau meninggalkannya, karena merasa kawatir sholat tersebut akan menjadi suatu kewajiban. Sholat terawih dengan berjama’ah tersebut tidak dihidupkan juga ada pada zaman Abu Bakar As- Siddiq r.a.

Adapun hadist : من سن سنة حسنة كان له أجرها وأجر من عمل بها

Sunnah hasanah disini artinya bukan bid’ah hasanah, karena menurut sebab wurud hadits ini “sunnah hasanah” adalah shodaqoh, dan shodaqah bukanlah perbuatan bid’ah.

4. Sebagian ulama ( seperti Izuddin bin Abdus Salam dan Qorofi ) telah membagi bid’ah menjadi lima ( bid’ah wajib, sunah, makruh, haram dan mubah). Pembagian ini kurang tepat, paling tidak, ditinjau dari dua alasan :

Pembagian bid’ah semacam ini belum pernah dilakukan oleh ulama sebelumnya. Selain itu terlihat kontradiksi menyolok di dalam pembagian tersebut secara .

Kelima istilah tersebut sudah dibahas secara panjang lebar di dalam ilmu ushul fiqh, dan istilah-istilah tersebut tidak sesuai dengan defenisi bid’ah itu sendiri.

5. Perbedaan antar Ahlu Suffah dengan tasawuf ( bid’ah sufiyah ) :

Ahlu Suffah adalah para muhajirin yang diusir dari kampung halamannya, yaitu Mekkah, karena tidak mampu kerja dan tidak mendapatkan tempat tinggal, Rosulullah saw mengijinkan mereka untuk tinggal di serambi masjid Nabawi. Adapun orang-orang sufi, mereka tinggal di pojok-pojok masjid secara sengaja dan sadar, karena mereka berkeyakinan bahwa bentuk peribadtan seperti itu adalah ajaran Islam yang mulia, padahal latar belakang dari dua kasus tersebut sangatlah berbeda.

Bid’ah Idhofiyah :

Bid’ah Idhofiyah —–> suatu bentuk peribadatan baru, yang mempunyai dua sisi ; sisi yangberlandasakan dalil syar’I, dan sisi yang tidak ada landasannya dari syareat.

Bisa juga diartikan —> suatu peribadatan yang mempunyai landasan syar’I secara umum,akan tetapi tata cara pelaksanaannya dibuat sendiri dengan menyakini bahwa tata cara tersebut berasal dari syare’at. Diantara contoh bid’ah idhofiyah adalah :

Puasa Ngebleng ( puasa terus menerus tanpa berbuka )

Sholat malam tanpa istirahat dan tidur.