Tanbihun.com- Hutang adalah sunnatullah. Kalau tidak percaya coba amati, kata addin (agama) sekarib dengan kata addain yang berarti hutang. Sebagaimana lafadz hidayah segaris dengan hadiah. Itu artinya bahwa semakin beragama seseorang dirinya merasa bahwa hutangnya kepada Allah semakin banyak, maka ia akan selalu berusaha mencicil hutang-hutangnya dengan cara bertakwa.
Kalau kita menghitung nikmat Allah yang tak terbatas, maka kita akan menghitung pula sudah berapa hutang kita kepada Tuhan. Kalau perangkat desa tiap bulan menagih pajak PBB, karena kita punya tanah dan bangunan, walaupun milik sendiri. Apakah Allah pernah menarik pajaknya tanah? Padahal Dialah pemilik sejati tanah bangunan itu. Bukankah Dia hulu dari semua pemilik. Dialah pemilik sejati apa yang kita temui. Kita menempati derajat ‘tukang ngutang’ kepada Tuhan.
Kalau pegawai PDAM tiap bulan menagih retribusi penggunaan air, kapan Allah menagihmu, karena dirimu telah menghabiskan sekian juta liter? Sedangkan satu pohon padi saja membutuhkan dua ribu liter, kalau ingin padinya sampai jadi beras. Bukankah Dia pemilik sejati air, bukan Aqua, bukan pula Ades, apalagi PDAM!
Kalau anda sempat mampir di Rumah Sakit setingkat provinsi, iseng-iseng anda tanyakan berapa biaya sewa fentilator, atau alat yang memicu paru-paru agar terus bergerak bernafas. Setengah hari sampai tujuh ratus lima puluh, belum oksigennya. Fantastis bukan? Betapa nikmat yang Allah glontorkan tak bisa dihitung. Gratis pula!
Kata orang tuaku, orang kaya dulu adalah orang yang paling sedikit hutangnya. Sekarang adalah kebalikannya. Orang dengan rumah mewah, mobil terbaru, kemungkinan besar sertifikatnya ‘sekolah’ di bank, BPKBnya tak ayal nginep di Pegadaian. Kekayaannya justru membuat keresahan karena dauber-uber deepcolector, memikirkan setoran jatuh tempo, merancang ini itu, hingga hasilnya tak bisa menikmati. Jadi kekayaan tak segaris lurus dengan kebahagiaan. Terutama kehidupan manusia sekarang.
Inilah peradaban ekonomi manusia mutakhir. Roda ekonomi tak akan berjalan kalau tanpa hutang. Bahkan manusia pebisnis tidak akan mencapai derajat konglomerat kalau tak dilalui dengan hutang. Produksi pakaian berbahan yang dihasilkan dari hutang, dengan cara jual janji melalui ‘kertas janji’ yang bernama giro. Seorang pengusaha bisa saja bayar kontan membeli bahan baku, tetapi beresiko untuk terus ‘nalangi’ uangnya yang ngendon di para sales dan pedagang pasar yang dihutang pula. Karena sistem pembayaran dagangan yang paling diminati adalah konsinasi, dan pembayaran tempo alias ngutang dulu. Jadi tidak bisa tidak barang dagangan harus dihutang para sales dan pedagang.
Manajemen hutang sudah pasti menghambat laju produksi. Untuk memperlancarnya kembali Si Bos harus punya ‘gemok’ atau pelicin yang bernama kartu janji, biasa disebut giro, cek, dll. Bank adalah lembaga keuangan yang mempelopori peradaban hutang. Dengan dalih memperingan semua jenis transaksi, maka bank secara leluasa memutar uangnya, agar bank dapat laba, kalau bisa sebanyak-banyaknya.
Haji pun dengan cara berhutang di Bank. Semakin banyak lembaga keuangan otomatis mengkader manusia-manusia penghutang; dan mendidik manusia untuk menjadi munafik. Disatu sisi lembaga keuangan menawarkan keringanan kredit, hingga manusia walaupun tak pernah tahu nasib masa depan apakah umur panjang atau pendek, tetapi masih saja enjoy melakukan hutang. Disisi lain lembaga keuangan menganjurkan setiap manusia untuk mengikuti asuransi. Itu artinya bahwa manusia begitu pesimis tentang umurnya, tentang kesehatannya, yang segera tiba naasnya. Paduan perasaan optimis dan pesimis menimbulkan hati yang terpecah, tak mungkin keyakinan menancap, karena yang ada adalah rasa was-was.
Bahkan negara kita ini (Indonesia) denyut jantungnya dipicu oleh hutang dari luar negeri, berdasarkan sumber departemen keuangan tahun 2010 hutang Indonesia sudah mencapai 1.700 Trilyun Dan baru akan lunas sekitar tahun 2040 itupun jika tidak nambah hutang baru, yang kalau dilihat tiap tahunnya nambah terus. Ya Salam !!!!!
Hutang-piutang mempunyai kedudukan yang mulia kalau didasari dengan nilai taawun dan keikhlasan. Tiada motif apapun kecuali rasa welas asih seseorang terhadap saudaranya, hingga ia menolong, sedangkan menolong sendiri adalah kebaikan yang tentu dianjurkan semua agama, filsafat, nilai, ajaran dan akal. Dan Allah menyukainya!
Paesan, 25 Oktober 2012. 7:55
Ahmad Saifullah Ahsa
Kalau kita menghitung nikmat Allah yang tak terbatas, maka kita akan menghitung pula sudah berapa hutang kita kepada Tuhan. Kalau perangkat desa tiap bulan menagih pajak PBB, karena kita punya tanah dan bangunan, walaupun milik sendiri. Apakah Allah pernah menarik pajaknya tanah? Padahal Dialah pemilik sejati tanah bangunan itu. Bukankah Dia hulu dari semua pemilik. Dialah pemilik sejati apa yang kita temui. Kita menempati derajat ‘tukang ngutang’ kepada Tuhan.
Kalau pegawai PDAM tiap bulan menagih retribusi penggunaan air, kapan Allah menagihmu, karena dirimu telah menghabiskan sekian juta liter? Sedangkan satu pohon padi saja membutuhkan dua ribu liter, kalau ingin padinya sampai jadi beras. Bukankah Dia pemilik sejati air, bukan Aqua, bukan pula Ades, apalagi PDAM!
Kalau anda sempat mampir di Rumah Sakit setingkat provinsi, iseng-iseng anda tanyakan berapa biaya sewa fentilator, atau alat yang memicu paru-paru agar terus bergerak bernafas. Setengah hari sampai tujuh ratus lima puluh, belum oksigennya. Fantastis bukan? Betapa nikmat yang Allah glontorkan tak bisa dihitung. Gratis pula!
Kata orang tuaku, orang kaya dulu adalah orang yang paling sedikit hutangnya. Sekarang adalah kebalikannya. Orang dengan rumah mewah, mobil terbaru, kemungkinan besar sertifikatnya ‘sekolah’ di bank, BPKBnya tak ayal nginep di Pegadaian. Kekayaannya justru membuat keresahan karena dauber-uber deepcolector, memikirkan setoran jatuh tempo, merancang ini itu, hingga hasilnya tak bisa menikmati. Jadi kekayaan tak segaris lurus dengan kebahagiaan. Terutama kehidupan manusia sekarang.
Inilah peradaban ekonomi manusia mutakhir. Roda ekonomi tak akan berjalan kalau tanpa hutang. Bahkan manusia pebisnis tidak akan mencapai derajat konglomerat kalau tak dilalui dengan hutang. Produksi pakaian berbahan yang dihasilkan dari hutang, dengan cara jual janji melalui ‘kertas janji’ yang bernama giro. Seorang pengusaha bisa saja bayar kontan membeli bahan baku, tetapi beresiko untuk terus ‘nalangi’ uangnya yang ngendon di para sales dan pedagang pasar yang dihutang pula. Karena sistem pembayaran dagangan yang paling diminati adalah konsinasi, dan pembayaran tempo alias ngutang dulu. Jadi tidak bisa tidak barang dagangan harus dihutang para sales dan pedagang.
Manajemen hutang sudah pasti menghambat laju produksi. Untuk memperlancarnya kembali Si Bos harus punya ‘gemok’ atau pelicin yang bernama kartu janji, biasa disebut giro, cek, dll. Bank adalah lembaga keuangan yang mempelopori peradaban hutang. Dengan dalih memperingan semua jenis transaksi, maka bank secara leluasa memutar uangnya, agar bank dapat laba, kalau bisa sebanyak-banyaknya.
Haji pun dengan cara berhutang di Bank. Semakin banyak lembaga keuangan otomatis mengkader manusia-manusia penghutang; dan mendidik manusia untuk menjadi munafik. Disatu sisi lembaga keuangan menawarkan keringanan kredit, hingga manusia walaupun tak pernah tahu nasib masa depan apakah umur panjang atau pendek, tetapi masih saja enjoy melakukan hutang. Disisi lain lembaga keuangan menganjurkan setiap manusia untuk mengikuti asuransi. Itu artinya bahwa manusia begitu pesimis tentang umurnya, tentang kesehatannya, yang segera tiba naasnya. Paduan perasaan optimis dan pesimis menimbulkan hati yang terpecah, tak mungkin keyakinan menancap, karena yang ada adalah rasa was-was.
Bahkan negara kita ini (Indonesia) denyut jantungnya dipicu oleh hutang dari luar negeri, berdasarkan sumber departemen keuangan tahun 2010 hutang Indonesia sudah mencapai 1.700 Trilyun Dan baru akan lunas sekitar tahun 2040 itupun jika tidak nambah hutang baru, yang kalau dilihat tiap tahunnya nambah terus. Ya Salam !!!!!
Hutang-piutang mempunyai kedudukan yang mulia kalau didasari dengan nilai taawun dan keikhlasan. Tiada motif apapun kecuali rasa welas asih seseorang terhadap saudaranya, hingga ia menolong, sedangkan menolong sendiri adalah kebaikan yang tentu dianjurkan semua agama, filsafat, nilai, ajaran dan akal. Dan Allah menyukainya!
Paesan, 25 Oktober 2012. 7:55
Ahmad Saifullah Ahsa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar