Kalau harga LPG 12 Kg naik di tingkat lokal, karena angkutannya sedang ada masalah, maka itu persoalan TEKNIS belaka. Tetapi kalau kenaikan harga LPG 12 KG itu selalu terjadi secara meluas (menasional), di tingkat pengecer sudah jauh di atas harga resmi, bahkan juga berimbas pada kelangkaan LPG 3 Kg, karena pengguna LPG 12 Kg pada beralih ke LPG 3 Kg, maka itu pasti persoalan SISTEMIK.
Kalau kenaikan harga sistemik itu dapat selesai dengan operasi pasar, atau selesai dengan penyediaan energi alternatif, maka itu SISTEM-TEKNIS. Kalau ini juga cuma trick pencitraan menjelang Pemilu 2014, dan bisa dibatalkan oleh Presiden kapan saja – tanpa dampak berkepanjangan – , itu juga masih sistem-teknis.
Namun kalau itu real akibat pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi yang memacu pertumbuhan kebutuhan energi yang tak terkendali, ditambah tata ruang dan transportasi publik yang amburadul sehingga muncul kemacetan dan pemborosan energi, sehingga subsidi energi menjadi tidak efisien, meroket dengan cepat, merampas subsidi pendidikan dan kesehatan, ditambah orang-orang yang mengurusnya tidak peduli dan tidak kompeten, dsb., maka itu sudah terkait dengan SISTEM-NON-TEKNIS.
Faktanya, secara teknis kebutuhan LPG kita sudah jauh berlipat dari tahun-tahun ketika LPG 3 Kg diperkenalkan. Kita memang punya sumber gas, tetapi itu LNG. LNG ini memiliki sifat yang berbeda, lebih efisien kalau dengan pipa di perkotaan padat, atau untuk kendaraan minimal mobil. Tetapi SPBG juga masih langka. Bus Transjakarta yang memakai BBG saja sering telat karena antri di SPBG. Apalagi karena negara ini merasa tidak punya uang untuk investasi di ladang gas, sehingga mengundang investor asing, maka LNG kita untuk sekian puluh tahun ke depan sudah digadai. LPG kita itu hasil kilang minyak. Kapasitas kilang kita terbatas, sehingga mayoritas LPG harus diimpor. Dibayar dengan harga internasional. Minyak mentahnya juga harus impor. Produksi dalam negeri, sekalipun seluruh kontraktor swasta/asing dijumlahkan, masih kurang. Lagi-lagi karena pertumbuhan penduduk & pertumbuhan ekonomi. Dan lagi-lagi ini terkait banyak sistem non teknis.
Sistem non teknis ini kalau saling terkait dan berhulu pada pemikiran mendasar bahwa ukuran kemajuan itu adalah pembangunan di sisi materi (materialisme), dan semua ini agar diserahkan kepada mekanisme pasar & proses demokratis, maka persoalannya sudah IDEOLOGIS.
Mekanisme pasar berarti membiarkan semuanya pada hukum permintaan dan penawaran. Misalnya, kepemilikan tanah sepenuhnya tergantung pasar. Akibatnya, banyak orang yang tadinya punya empang, akhirnya empangnya dijual karena perlu uang, dan oleh pembelinya, empangnya dikeringkan karena lebih menguntungkan untuk bikin real estate. Akibatnya real-estate muncul di tempat-tempat yang jauh dari tempat kerja dan infrastruktur transportasi publiknya belum mendukung.
Demokratis artinya, semua peraturan diserahkan pada “kehendak rakyat”, yang seringnya rakyat hanya legitimasi saja, karena opini sudah dibentuk oleh para kapitalis, dan wakil-wakil rakyat lebih mewakili kepentingannya sendiri. Proses demokratis juga membuat para politisi hanya berpikir 5 tahun ke depan. Masih mending kalau itu buat memikirkan rakyat dalam pembangunan yang berkelanjutan (misalnya membangun transportasi publik, yang mungkin yang akan meresmikan dan menikmatinya adalah pejabat penerusnya), kadang hanya memikirkan bagaimana agar cepat “balik modal”, dan bagaimana nanti bisa terpilih lagi.
Kalau benar masalahnya ideologis, maka benar bahwa usaha tuntas mengatasi krisis LPG itu adalah mengganti ideologi itu dengan Islam.
Dan sebuah negara yang ideologinya Islam, disebut KHILAFAH.
-Fahmi Amhar-
eramuslim.com
Kalau kenaikan harga sistemik itu dapat selesai dengan operasi pasar, atau selesai dengan penyediaan energi alternatif, maka itu SISTEM-TEKNIS. Kalau ini juga cuma trick pencitraan menjelang Pemilu 2014, dan bisa dibatalkan oleh Presiden kapan saja – tanpa dampak berkepanjangan – , itu juga masih sistem-teknis.
Namun kalau itu real akibat pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi yang memacu pertumbuhan kebutuhan energi yang tak terkendali, ditambah tata ruang dan transportasi publik yang amburadul sehingga muncul kemacetan dan pemborosan energi, sehingga subsidi energi menjadi tidak efisien, meroket dengan cepat, merampas subsidi pendidikan dan kesehatan, ditambah orang-orang yang mengurusnya tidak peduli dan tidak kompeten, dsb., maka itu sudah terkait dengan SISTEM-NON-TEKNIS.
Faktanya, secara teknis kebutuhan LPG kita sudah jauh berlipat dari tahun-tahun ketika LPG 3 Kg diperkenalkan. Kita memang punya sumber gas, tetapi itu LNG. LNG ini memiliki sifat yang berbeda, lebih efisien kalau dengan pipa di perkotaan padat, atau untuk kendaraan minimal mobil. Tetapi SPBG juga masih langka. Bus Transjakarta yang memakai BBG saja sering telat karena antri di SPBG. Apalagi karena negara ini merasa tidak punya uang untuk investasi di ladang gas, sehingga mengundang investor asing, maka LNG kita untuk sekian puluh tahun ke depan sudah digadai. LPG kita itu hasil kilang minyak. Kapasitas kilang kita terbatas, sehingga mayoritas LPG harus diimpor. Dibayar dengan harga internasional. Minyak mentahnya juga harus impor. Produksi dalam negeri, sekalipun seluruh kontraktor swasta/asing dijumlahkan, masih kurang. Lagi-lagi karena pertumbuhan penduduk & pertumbuhan ekonomi. Dan lagi-lagi ini terkait banyak sistem non teknis.
Sistem non teknis ini kalau saling terkait dan berhulu pada pemikiran mendasar bahwa ukuran kemajuan itu adalah pembangunan di sisi materi (materialisme), dan semua ini agar diserahkan kepada mekanisme pasar & proses demokratis, maka persoalannya sudah IDEOLOGIS.
Mekanisme pasar berarti membiarkan semuanya pada hukum permintaan dan penawaran. Misalnya, kepemilikan tanah sepenuhnya tergantung pasar. Akibatnya, banyak orang yang tadinya punya empang, akhirnya empangnya dijual karena perlu uang, dan oleh pembelinya, empangnya dikeringkan karena lebih menguntungkan untuk bikin real estate. Akibatnya real-estate muncul di tempat-tempat yang jauh dari tempat kerja dan infrastruktur transportasi publiknya belum mendukung.
Demokratis artinya, semua peraturan diserahkan pada “kehendak rakyat”, yang seringnya rakyat hanya legitimasi saja, karena opini sudah dibentuk oleh para kapitalis, dan wakil-wakil rakyat lebih mewakili kepentingannya sendiri. Proses demokratis juga membuat para politisi hanya berpikir 5 tahun ke depan. Masih mending kalau itu buat memikirkan rakyat dalam pembangunan yang berkelanjutan (misalnya membangun transportasi publik, yang mungkin yang akan meresmikan dan menikmatinya adalah pejabat penerusnya), kadang hanya memikirkan bagaimana agar cepat “balik modal”, dan bagaimana nanti bisa terpilih lagi.
Kalau benar masalahnya ideologis, maka benar bahwa usaha tuntas mengatasi krisis LPG itu adalah mengganti ideologi itu dengan Islam.
Dan sebuah negara yang ideologinya Islam, disebut KHILAFAH.
-Fahmi Amhar-
eramuslim.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar