Oleh: Shalih Hasyim
ALLAH Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى) menciptakan manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. kalau ada manusia tidak beragama tauhid, maka hal itu tidaklah wajar. mereka tidak beragama tauhid itu hanyalah lantaran pengaruh lingkungan sosial.
Jadi gharizah tadayyun adalah permanen, kecenderungan kepada kekafiran adalah susulan. Dalam sebuah hadits disampaikan, “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, kedua orangtuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani dan Majusi.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Batasan agama yang lurus menurut arahan Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى) dan Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) di atas menggunakan terma fitrah, sedangkan agama yang lain menggunakan istilah Yahudi, Nasrani dan Majusi. Maka, makna fitrah yang benar adalah Islam itu sendiri. Agama yang melekat dalam diri manusia sejak di alam rahim ibu. Sebelum menjadi janin, manusia sudah bersyahadat di hadapan Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى). Ketika lahir diingatkan ulang kalimat tersebut di telinga kanan dengan suara adzan dan di telinga kiri dengan suara iqamat.
Agar dalam kehidupan yang penuh ujian nanti, tidak sampai tergoda/tergelincir/terperosok ke dalam jurang kehancuran (darul bawar), dan meninggalkan Islam. Baik, diuji dengan jabatan, kekayaan dan ilmu. Jadi, karunia yang paling mahal dalam kehidupan ini adalah lazzatur ruh (keezatan spiritual), lazzatul Iman wal Islam (kenikmatan beriman dan berislam). Sekalipun kita menggenggam kekayaan dunia tujuh turunan, kekuasaan yang tanpa pensiun, ilmu yang tinggi (sundhul langit, Bhs Jawa), kehidupan yang memiliki pengaruh yang besar, popularitas, tetapi tidak ditemani oleh islam akan membuat kita kecewa seumur hidup.
Sedangkan, sekalipun kita tinggal di gubug reot, di balik jeruji, di rumah kontrakan, kehidupan pas-pasan, jika islam bersama kita, justru disitulah rahasia kemuliaan, dan kebahagiaan kita. Islam dan Dinullah Nama Muslim bukanlah nama yang diberikan oleh orangtua kita, bukan pula warisan nama yang diberikan oleh nenek moyang kita, bukan pula nama yang dibuat oleh Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم). Yang memberi nama seseorang sebagai muslim adalah Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى). Allah memberi standar (ukuran), criteria (sifat) , status (posisi) orang tertentu yang memenuhi kelayakan sebagai muslim. Tentu, muslim di sini adalah muslim hakiki, lahir dan batin, hissiyyan wa ma’nawiyyan (penampakan lahiriyah dan batiniyah).
Jadi, muslim adalah sebuah nama yang agung, yang bersumber dari Tuhan Yang Maha Mulia. Sejak sebelum Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) diutus di muka bumi ini. Sesungguhnya inti dinul Islam adalah pandai bergaul (ad-Dinu huwal mua’amalah). Indikator kecintaan Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى) kepada hamba-Nya adalah hamba tersebut dicintai orang-orang terdekatnya. Dalam tata bahasa Arab, muslim adalah isim fa’il (pelaku) yang berasal dari kata - aslama-yuslimu-islaman – yang bermakna berserah diri. Dari akar kata aslama melahirkan kata turunan (derivat) – at-Taslim (berserah diri), as-Silmu (damai), salima minal mustaqdzirat (steril dari motivasi yang kotor), as Salamu (kesejahteraan), as-Salamah (keselamatan lingkungan).
Dari turunan terma Al-Islam telah tergambar sistem kehidupan secara utuh. Yaitu sistem aqidah dan ibadah, sistem sosial, sistem akhlak, sistem ekonomi, sistem penyelamatan lingkungan. Jadi seorang muslim adalah orang yang telah menyerahkan jiwa dan raganya, pikiran, hati dan perilakunya untuk mengabdikan diri sepenuhnya kepada Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى). Dan ia yakin dengan cara demikian ia akan merasakan kehidupan yang damai, bisa berbuat dengan tulus, makmur, sejahtera, bisa menyelamatkan lingkungan social dari berbagai bencana. Seorang muslim menjalankan segala aspek kehidupannya dengan merujuk referensi Islam. Dalam skala kehidupan individu, keluarga, masyarakat, bangsa. Sejak kelahirannya (fiqh aqiqah) hingga kematiannya (fiqh janazah). Menyangkut system ideologi, politik, sosial budaya, pendidikan, ekonomi, pertahanan kemanan dll.
Islam, Dinul Kaun Sudah kita maklumi, segala sesuatu yang ada di alam semesta ini tunduk kepada suatu peraturan tertentu dan menginduk kepada undang-undang tertentu. Matahari, bulan dan bintang-bintang semuanya patuh kepada suatu peraturan yang permanen (tetap), tidak dapat bergeser atau menyeleweng darinya sedikitpun meskipun seujung rambut (hukum alam). Bumi berputar mengelilingi sumbunya. Ia tidak dapat beranjak dari masa, gerak dan jalan yang telah ditetapkan baginya. Air, udara, cahaya dan panas semuanya tunduk kepada suatu sistem yang khas (unik). Benda-benda yang tidak bernyawa, tumbuh-tumbuhan dan binatang-binatang tunduk kepada sesuatu ketentuan yang pasti, tidak lahir dan tidak mati kecuali menurut ketentuan itu. Hingga manusia pun apabila kita perhatikan secara cermat keadaannya, niscaya ia tunduk kepada peraturan-peraturan (sunnah) Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى) dengan sepenuhnya. Ia tidak bernafas dan tidak merasai kebutuhannya akan air, makanan, cahaya panas, kecuali menurut undang-undang Allah yang mengatur kehidupannya, juga hati manusia dan gerakannya, peredaran darah nafasnya, keluar masuknya tunduk kepada undang-undang ini jua.
Semua anggota badannya, seperti otak, perut besar, paru-paru, urat saraf, urat daging, dua tangan, dua kaki, lidah, dua mata, hidung, dan telinga semua berserah diri kepada-Nya. “Hanya kepada Allah-lah sujud (patuh) segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan kemauan sendiri ataupun terpaksa (dan sujud pula) bayang-bayangnya di waktu pagi dan petang hari.” (QS. Ar Ra’d (13) : 15). Miniatur Madinah Ketika din (agama) Allah yang bernama Islam itu telah disempurnakan dan dilaksanakan di suatu tempat, maka tempat itu diberi nama “Madinah”. Jadi Din itu tidak bisa dipisahkan dari Daulah (susunan kekuasaan). Kekuasaan sebagai alat tetangga seagama dulu kemudian membangun rumah). اَلْمَرء عَلَى ديْن خَليْله فَلْيَنْظُر الىَ مَنْ يُخاَللُ “Seseorang itu tergantung pada din sahabatnya maka perhatikanlah kepada siapa ia menjalin teman akrab.” (HR. Ahmad). مَثَلُ ماَبَعَثَنيَ اللهُ به منَ الْهُدَى وَالْعلْم كَمَثَل الْغيْث الْكَثيْر أَصاَبَ أَرْضاُ فَكَانَ منْهاَ نَقيةٌ قَبلَت الْماَءَ فأَنْبَتَتْ الْكلأ وَالْعُشْبَ الْكَثيْرَ وَكاَنَتْ منْهاَ أَجاَدبَ أَمْسَكَت الْماءَ فَنَفَعَ اللهُ بهاَ النَاسُ فَشَربُوْا وَسَقَوْا وَزَرَعُوْا وَأَصَابَتْ منْهاَ طَائفَةٌ أُخْرَى انمَا هيَ قَيْعاَنٌ لاَ تَمْسكُ ماَءٌ وَلاَ تُنْبتُ كلَأً فَدلكَ مَثَلُ مَنْ فَقُهَ فيْ ديْن الله وَنَفَعَهُ ماَ بَعَثَنيَ اللهُ به فَعَلمَ وَعلمَ وَمَثَلُ مَنْ لَمْ يَرْفَعْ بدلكَ رَأْساً وَ لًمْ يَقْبَلْ هُدَى الله الَديْ أُرْسلْتُ به “Perumpamaan hidayah dan ilmu yang dengannya aku diutus oleh Allah, seperti tamsil hujan lebat mengguyur bumi. Maka ada tanah yang bagus menerima air kemudian menumbuhkan tanaman hijau dan rumput yang banyak. Dan ada tanah keras yang bisa menahan air, kemudian Allah berikan manfaatnya bagi manusia, sehingga mereka bisa mengambil air minum, menyirami, dan bercocok tanam. Dan ada lagi hujan yang mengguyur bumi yang licin, tidak menyerap air dan tidak menumbuhkan tanaman. Itulah tamsil orang yang memahami agama Allah dan petunjuk yang aku diutus Allah dengannya memberi manfaat baginya, maka ia tahu dan mengajarkannya kepada orang lain, dan tamsil orang yang tidak peduli dengan agama Allah dan tidak menerima hidayah Allah dengannya aku diutus.” (HR. Bukhari, Shahih Al Bukhari 1/28). Di tempat bernama “Madinah” dihuni oleh orang-orang yang memiliki keterikatan yang kuat dengan nilai-nilai Dinul Islam. Yakni, Sumber Daya Insani yang mukmin (menomorsatukan Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى), menjadikan al-Quran sebagai dustur (undang-undangnya), memiliki kebersihan hati, peka terhadap penderitaan orang lain, mengidolakan para nabi, syuhada, shiddiqun, sholihun, muttaqin, mujahid dan mushlih. Dari komunitas tersebut, secara otomatis akan lahir kultur yang islamiyah (agamis), da-abus shalihin, berkarakter sesuai dengan aturan kalimatullah dan khalqullah, ‘ilmiyah (terdidik), ustadziyah ‘alamiyyah (kepeloporan internasional), tamaddun (maju dan bermartabat). Dari akar kata Din dan Madinah ini, juga dibentuk akar kata baru “madana”, yang berarti membangun, mendirikan kota, memajukan, memakmurkan, mensejahterahkan secara lahir dan batin, memurnikan dan memartabatkan. Maka, seseorang yang memeluk Islam secara benar, ia pasti akan mensucikan, memartabatkan dan memakmurkan dirinya baik secara hissiy (material) dan ma’nawiy (immaterial). “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan.” (QS. Al-Anfal (8) : 24). Kalimat ‘yuhyiikum’ dalam ayat diatas maksudnya adalah ‘yuhyin-nufus’ (menghidupkan jiwa), yuhyil-qulub (menghidupkan hati), yauhyidh-dhamir (menghidupkan suara dhamir). Jadi, berislam adalah memberdayakan fitrah kita. Senang kepada makruf (kebaikan yang dikenali hati) dan membenci mungkar (keburukan yang diingkari hati). Mendorong pemeluknya untuk hidup maju secara lahir dan batin serta bermartabat. Inilah yang dimaksud nikmat berlimpah. Sebaliknya, berpaling dari Islam akan mengantarkan kepada kerumitan hidup di dunia, dan siksa di akhirat lebih menyakitkan dan memberatkan. “Bagi mereka azab dalam kehidupan dunia dan sesungguhnya azab akhirat adalah lebih keras dan tak ada bagi mereka seorang pelindungpun dari (azab) Allah.” (QS. Ar-Ra’du (13) : 34). “Kepada masing-masing golongan baik golongan ini maupun golongan itu Kami berikan bantuan dari kemurahan Tuhanmu dan kemurahan Tuhanmu tidak dapat dihalangi.” (QS. Al-Isra (17) : 20). Dari akar kata madana lahir kata benda tamaddun yang secara literal (teks) berarti peradaban (civilization), berarti juga kota berlandaskan kebudayaan (city base culture) atau kebudayaan kota (culture of the city). Di kalangan penulis Arab, perkataan tamaddun digunakan – kalau tidak salah – untuk pertama kalinya oleh Jurji Zaydan dalam sebuah judul buku Tarikh al-Tamaddun al-Islami (Sejarah Peradaban Islam), terbit tahun 1902-1906. Sejak itu perkataan Tamaddun digunakan secara luas dikalangan umat Islam. Di dunia Melayu tamaddun digunakan untuk pengertian peradaban. Adapun kata hadharah digunakan oleh orang Arab sekarang untuk makna peradaban, namun kata tersebut tidak banyak diterima ummat Islam non-Arab yang kebanyakan lebih menyukai istilah tamaddun. Seorang muslim adalah orang yang berlepas diri dari kemusyrikan (selingkuh kepada-Nya) dan kekafiran (ingkar kepada Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى). Mereka tidak memelihara (hubungan) kerabat terhadap orang-orang mukmin dan tidak (pula mengindahkan) perjanjian. dan mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. Jika mereka bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, Maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama. dan Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi kaum yang mengetahui. (QS. At Taubah (9) :10- 11). Ayat ini menegaskan bahwa muslim adalah orang yang telah mentauhidkan Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى) dan tidak menyekutukan-Nya, selalu mengingat-Nya dan tidak melupakan-Nya, mendekati-Nya dan tidak menjauhi-Nya, mensyukuri nikmat-Nya dan tidak mengingkari-Nya (mu’taqodat). Maka, Muslim yang benar adalah ia anti kemusyrikan, kekafiran, anti hukmul jahiliyyah, dhannul jahiliyyah, syakwal jahiliyyah, hamiyyatul jahiliyyah, tabarrujul jahiliyyah, da’wal jahiliyyah dan memproklamirkan kalimat tauhid “ La Ilaha Illalla” dan pasti mendukung Syariat Allah Subhanahu Wata ‘ala. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Abu Malik al-Asyja’i bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam (صلى الله عليه و سلم) bersabda: مَنْ قاَلَ لاَ الَهَ الا الله وَكَفَرَ بما يعبد من دون الله حَرَم اللهُ دَمُهُ وَماَلُهُ وَحساَبُهُ عَلَى الله “Barangsiapa mengikrarkan laa ilaaha illallah dan dia mengingkari segala perhitungannya terserah Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى)تعالى).” (HR. Muslim). Karenanya, jika ada orang Muslim menentang syariah –bahkan—memusuhinya, boleh jadi dia belum paham kemuslimannya dan tidak tahu konsekwensi syahadat yang telah dia katakan tiap saat ketika shalat. Marilah kita habiskan umur kita agar syariat-Nya mendominasi kehidupan. Ini adalah amanah vertikal dan horisontal (tugas-tugas keagamaan), wazhifah diniyyah. Agar melahirkan kehidupan individu yang bahagia secara lahir dan batin (hayatan thayyiban), keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah, dan qaryah mubarakah, ahlul qura (perkampungan yang diberkahi), baladan amina, ummul qura (negeri yang aman), global state, kumpulan berbagai Negara yang makmur, penuh ampunan Tuhan, ummul qura wa man haulaha (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur), dunia yang damai (rahmatan lil ’alamin).* Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Kudus, Jawa Tengah
ALLAH Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى) menciptakan manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. kalau ada manusia tidak beragama tauhid, maka hal itu tidaklah wajar. mereka tidak beragama tauhid itu hanyalah lantaran pengaruh lingkungan sosial.
Jadi gharizah tadayyun adalah permanen, kecenderungan kepada kekafiran adalah susulan. Dalam sebuah hadits disampaikan, “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, kedua orangtuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani dan Majusi.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Batasan agama yang lurus menurut arahan Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى) dan Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) di atas menggunakan terma fitrah, sedangkan agama yang lain menggunakan istilah Yahudi, Nasrani dan Majusi. Maka, makna fitrah yang benar adalah Islam itu sendiri. Agama yang melekat dalam diri manusia sejak di alam rahim ibu. Sebelum menjadi janin, manusia sudah bersyahadat di hadapan Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى). Ketika lahir diingatkan ulang kalimat tersebut di telinga kanan dengan suara adzan dan di telinga kiri dengan suara iqamat.
Agar dalam kehidupan yang penuh ujian nanti, tidak sampai tergoda/tergelincir/terperosok ke dalam jurang kehancuran (darul bawar), dan meninggalkan Islam. Baik, diuji dengan jabatan, kekayaan dan ilmu. Jadi, karunia yang paling mahal dalam kehidupan ini adalah lazzatur ruh (keezatan spiritual), lazzatul Iman wal Islam (kenikmatan beriman dan berislam). Sekalipun kita menggenggam kekayaan dunia tujuh turunan, kekuasaan yang tanpa pensiun, ilmu yang tinggi (sundhul langit, Bhs Jawa), kehidupan yang memiliki pengaruh yang besar, popularitas, tetapi tidak ditemani oleh islam akan membuat kita kecewa seumur hidup.
Sedangkan, sekalipun kita tinggal di gubug reot, di balik jeruji, di rumah kontrakan, kehidupan pas-pasan, jika islam bersama kita, justru disitulah rahasia kemuliaan, dan kebahagiaan kita. Islam dan Dinullah Nama Muslim bukanlah nama yang diberikan oleh orangtua kita, bukan pula warisan nama yang diberikan oleh nenek moyang kita, bukan pula nama yang dibuat oleh Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم). Yang memberi nama seseorang sebagai muslim adalah Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى). Allah memberi standar (ukuran), criteria (sifat) , status (posisi) orang tertentu yang memenuhi kelayakan sebagai muslim. Tentu, muslim di sini adalah muslim hakiki, lahir dan batin, hissiyyan wa ma’nawiyyan (penampakan lahiriyah dan batiniyah).
Jadi, muslim adalah sebuah nama yang agung, yang bersumber dari Tuhan Yang Maha Mulia. Sejak sebelum Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) diutus di muka bumi ini. Sesungguhnya inti dinul Islam adalah pandai bergaul (ad-Dinu huwal mua’amalah). Indikator kecintaan Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى) kepada hamba-Nya adalah hamba tersebut dicintai orang-orang terdekatnya. Dalam tata bahasa Arab, muslim adalah isim fa’il (pelaku) yang berasal dari kata - aslama-yuslimu-islaman – yang bermakna berserah diri. Dari akar kata aslama melahirkan kata turunan (derivat) – at-Taslim (berserah diri), as-Silmu (damai), salima minal mustaqdzirat (steril dari motivasi yang kotor), as Salamu (kesejahteraan), as-Salamah (keselamatan lingkungan).
Dari turunan terma Al-Islam telah tergambar sistem kehidupan secara utuh. Yaitu sistem aqidah dan ibadah, sistem sosial, sistem akhlak, sistem ekonomi, sistem penyelamatan lingkungan. Jadi seorang muslim adalah orang yang telah menyerahkan jiwa dan raganya, pikiran, hati dan perilakunya untuk mengabdikan diri sepenuhnya kepada Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى). Dan ia yakin dengan cara demikian ia akan merasakan kehidupan yang damai, bisa berbuat dengan tulus, makmur, sejahtera, bisa menyelamatkan lingkungan social dari berbagai bencana. Seorang muslim menjalankan segala aspek kehidupannya dengan merujuk referensi Islam. Dalam skala kehidupan individu, keluarga, masyarakat, bangsa. Sejak kelahirannya (fiqh aqiqah) hingga kematiannya (fiqh janazah). Menyangkut system ideologi, politik, sosial budaya, pendidikan, ekonomi, pertahanan kemanan dll.
Islam, Dinul Kaun Sudah kita maklumi, segala sesuatu yang ada di alam semesta ini tunduk kepada suatu peraturan tertentu dan menginduk kepada undang-undang tertentu. Matahari, bulan dan bintang-bintang semuanya patuh kepada suatu peraturan yang permanen (tetap), tidak dapat bergeser atau menyeleweng darinya sedikitpun meskipun seujung rambut (hukum alam). Bumi berputar mengelilingi sumbunya. Ia tidak dapat beranjak dari masa, gerak dan jalan yang telah ditetapkan baginya. Air, udara, cahaya dan panas semuanya tunduk kepada suatu sistem yang khas (unik). Benda-benda yang tidak bernyawa, tumbuh-tumbuhan dan binatang-binatang tunduk kepada sesuatu ketentuan yang pasti, tidak lahir dan tidak mati kecuali menurut ketentuan itu. Hingga manusia pun apabila kita perhatikan secara cermat keadaannya, niscaya ia tunduk kepada peraturan-peraturan (sunnah) Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى) dengan sepenuhnya. Ia tidak bernafas dan tidak merasai kebutuhannya akan air, makanan, cahaya panas, kecuali menurut undang-undang Allah yang mengatur kehidupannya, juga hati manusia dan gerakannya, peredaran darah nafasnya, keluar masuknya tunduk kepada undang-undang ini jua.
Semua anggota badannya, seperti otak, perut besar, paru-paru, urat saraf, urat daging, dua tangan, dua kaki, lidah, dua mata, hidung, dan telinga semua berserah diri kepada-Nya. “Hanya kepada Allah-lah sujud (patuh) segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan kemauan sendiri ataupun terpaksa (dan sujud pula) bayang-bayangnya di waktu pagi dan petang hari.” (QS. Ar Ra’d (13) : 15). Miniatur Madinah Ketika din (agama) Allah yang bernama Islam itu telah disempurnakan dan dilaksanakan di suatu tempat, maka tempat itu diberi nama “Madinah”. Jadi Din itu tidak bisa dipisahkan dari Daulah (susunan kekuasaan). Kekuasaan sebagai alat tetangga seagama dulu kemudian membangun rumah). اَلْمَرء عَلَى ديْن خَليْله فَلْيَنْظُر الىَ مَنْ يُخاَللُ “Seseorang itu tergantung pada din sahabatnya maka perhatikanlah kepada siapa ia menjalin teman akrab.” (HR. Ahmad). مَثَلُ ماَبَعَثَنيَ اللهُ به منَ الْهُدَى وَالْعلْم كَمَثَل الْغيْث الْكَثيْر أَصاَبَ أَرْضاُ فَكَانَ منْهاَ نَقيةٌ قَبلَت الْماَءَ فأَنْبَتَتْ الْكلأ وَالْعُشْبَ الْكَثيْرَ وَكاَنَتْ منْهاَ أَجاَدبَ أَمْسَكَت الْماءَ فَنَفَعَ اللهُ بهاَ النَاسُ فَشَربُوْا وَسَقَوْا وَزَرَعُوْا وَأَصَابَتْ منْهاَ طَائفَةٌ أُخْرَى انمَا هيَ قَيْعاَنٌ لاَ تَمْسكُ ماَءٌ وَلاَ تُنْبتُ كلَأً فَدلكَ مَثَلُ مَنْ فَقُهَ فيْ ديْن الله وَنَفَعَهُ ماَ بَعَثَنيَ اللهُ به فَعَلمَ وَعلمَ وَمَثَلُ مَنْ لَمْ يَرْفَعْ بدلكَ رَأْساً وَ لًمْ يَقْبَلْ هُدَى الله الَديْ أُرْسلْتُ به “Perumpamaan hidayah dan ilmu yang dengannya aku diutus oleh Allah, seperti tamsil hujan lebat mengguyur bumi. Maka ada tanah yang bagus menerima air kemudian menumbuhkan tanaman hijau dan rumput yang banyak. Dan ada tanah keras yang bisa menahan air, kemudian Allah berikan manfaatnya bagi manusia, sehingga mereka bisa mengambil air minum, menyirami, dan bercocok tanam. Dan ada lagi hujan yang mengguyur bumi yang licin, tidak menyerap air dan tidak menumbuhkan tanaman. Itulah tamsil orang yang memahami agama Allah dan petunjuk yang aku diutus Allah dengannya memberi manfaat baginya, maka ia tahu dan mengajarkannya kepada orang lain, dan tamsil orang yang tidak peduli dengan agama Allah dan tidak menerima hidayah Allah dengannya aku diutus.” (HR. Bukhari, Shahih Al Bukhari 1/28). Di tempat bernama “Madinah” dihuni oleh orang-orang yang memiliki keterikatan yang kuat dengan nilai-nilai Dinul Islam. Yakni, Sumber Daya Insani yang mukmin (menomorsatukan Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى), menjadikan al-Quran sebagai dustur (undang-undangnya), memiliki kebersihan hati, peka terhadap penderitaan orang lain, mengidolakan para nabi, syuhada, shiddiqun, sholihun, muttaqin, mujahid dan mushlih. Dari komunitas tersebut, secara otomatis akan lahir kultur yang islamiyah (agamis), da-abus shalihin, berkarakter sesuai dengan aturan kalimatullah dan khalqullah, ‘ilmiyah (terdidik), ustadziyah ‘alamiyyah (kepeloporan internasional), tamaddun (maju dan bermartabat). Dari akar kata Din dan Madinah ini, juga dibentuk akar kata baru “madana”, yang berarti membangun, mendirikan kota, memajukan, memakmurkan, mensejahterahkan secara lahir dan batin, memurnikan dan memartabatkan. Maka, seseorang yang memeluk Islam secara benar, ia pasti akan mensucikan, memartabatkan dan memakmurkan dirinya baik secara hissiy (material) dan ma’nawiy (immaterial). “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan.” (QS. Al-Anfal (8) : 24). Kalimat ‘yuhyiikum’ dalam ayat diatas maksudnya adalah ‘yuhyin-nufus’ (menghidupkan jiwa), yuhyil-qulub (menghidupkan hati), yauhyidh-dhamir (menghidupkan suara dhamir). Jadi, berislam adalah memberdayakan fitrah kita. Senang kepada makruf (kebaikan yang dikenali hati) dan membenci mungkar (keburukan yang diingkari hati). Mendorong pemeluknya untuk hidup maju secara lahir dan batin serta bermartabat. Inilah yang dimaksud nikmat berlimpah. Sebaliknya, berpaling dari Islam akan mengantarkan kepada kerumitan hidup di dunia, dan siksa di akhirat lebih menyakitkan dan memberatkan. “Bagi mereka azab dalam kehidupan dunia dan sesungguhnya azab akhirat adalah lebih keras dan tak ada bagi mereka seorang pelindungpun dari (azab) Allah.” (QS. Ar-Ra’du (13) : 34). “Kepada masing-masing golongan baik golongan ini maupun golongan itu Kami berikan bantuan dari kemurahan Tuhanmu dan kemurahan Tuhanmu tidak dapat dihalangi.” (QS. Al-Isra (17) : 20). Dari akar kata madana lahir kata benda tamaddun yang secara literal (teks) berarti peradaban (civilization), berarti juga kota berlandaskan kebudayaan (city base culture) atau kebudayaan kota (culture of the city). Di kalangan penulis Arab, perkataan tamaddun digunakan – kalau tidak salah – untuk pertama kalinya oleh Jurji Zaydan dalam sebuah judul buku Tarikh al-Tamaddun al-Islami (Sejarah Peradaban Islam), terbit tahun 1902-1906. Sejak itu perkataan Tamaddun digunakan secara luas dikalangan umat Islam. Di dunia Melayu tamaddun digunakan untuk pengertian peradaban. Adapun kata hadharah digunakan oleh orang Arab sekarang untuk makna peradaban, namun kata tersebut tidak banyak diterima ummat Islam non-Arab yang kebanyakan lebih menyukai istilah tamaddun. Seorang muslim adalah orang yang berlepas diri dari kemusyrikan (selingkuh kepada-Nya) dan kekafiran (ingkar kepada Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى). Mereka tidak memelihara (hubungan) kerabat terhadap orang-orang mukmin dan tidak (pula mengindahkan) perjanjian. dan mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. Jika mereka bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, Maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama. dan Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi kaum yang mengetahui. (QS. At Taubah (9) :10- 11). Ayat ini menegaskan bahwa muslim adalah orang yang telah mentauhidkan Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى) dan tidak menyekutukan-Nya, selalu mengingat-Nya dan tidak melupakan-Nya, mendekati-Nya dan tidak menjauhi-Nya, mensyukuri nikmat-Nya dan tidak mengingkari-Nya (mu’taqodat). Maka, Muslim yang benar adalah ia anti kemusyrikan, kekafiran, anti hukmul jahiliyyah, dhannul jahiliyyah, syakwal jahiliyyah, hamiyyatul jahiliyyah, tabarrujul jahiliyyah, da’wal jahiliyyah dan memproklamirkan kalimat tauhid “ La Ilaha Illalla” dan pasti mendukung Syariat Allah Subhanahu Wata ‘ala. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Abu Malik al-Asyja’i bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam (صلى الله عليه و سلم) bersabda: مَنْ قاَلَ لاَ الَهَ الا الله وَكَفَرَ بما يعبد من دون الله حَرَم اللهُ دَمُهُ وَماَلُهُ وَحساَبُهُ عَلَى الله “Barangsiapa mengikrarkan laa ilaaha illallah dan dia mengingkari segala perhitungannya terserah Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى)تعالى).” (HR. Muslim). Karenanya, jika ada orang Muslim menentang syariah –bahkan—memusuhinya, boleh jadi dia belum paham kemuslimannya dan tidak tahu konsekwensi syahadat yang telah dia katakan tiap saat ketika shalat. Marilah kita habiskan umur kita agar syariat-Nya mendominasi kehidupan. Ini adalah amanah vertikal dan horisontal (tugas-tugas keagamaan), wazhifah diniyyah. Agar melahirkan kehidupan individu yang bahagia secara lahir dan batin (hayatan thayyiban), keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah, dan qaryah mubarakah, ahlul qura (perkampungan yang diberkahi), baladan amina, ummul qura (negeri yang aman), global state, kumpulan berbagai Negara yang makmur, penuh ampunan Tuhan, ummul qura wa man haulaha (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur), dunia yang damai (rahmatan lil ’alamin).* Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Kudus, Jawa Tengah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar