“Demi langit yang mempunyai jalan-jalan“
(QS. Adz-Dzariat:7)
Seorang sahabat baru saja mengirimi saya e-card, bergambar gugusan galaksi dengan pesan singkat sarat makna: “Semoga semakin menambah keyakinan kita tentang keberadaan Allah”. Ingatan saya langsung terbang ke sebuah masa. Dulu saya pernah bimbang tentang hal ini, parah-parahnya saat SMU kelas 3. Teman karib juga, bahkan dia pernah tidak shalat beberapa waktu. Saya sering berfikir kalau Allah ada, seperti apa wujudnya. Suatu malam kepala saya pening memikirkannya. Akhirnya saya datangi seorang ulama, tetangga dekat, tanggapannya pertama kali “dasar anak nakal”. Tahu saya tidak main-main, akhirnya seperti seorang ayah dengan lemah lembut beliau membimbing. Kami berbincang sangat lama, meski sebetulnya dari pertemuan itu, saya masih tidak puas. Setan memang pintar.
Hingga pada saat hari pertama UMPTN tiba. Sudah jauh-jauh hari saya bersiap, insya Allah saya sudah merasa maksimal belajar. Bagi saya UMPTN adalah hal yang besar. Ketika pengawas membagikan lembar soal, saya duduk tenang dan berkonsentrasi. Sekitar sepuluh menit setelah ujian dimulai, tiba-tiba saja saya mengalami kram perut, tangan sampai gemetar, pandangan berkunang-kunang, keringat dingin keluar, saya tidak mampu berfikir. Kalau di rumah, mungkin saya sudah menangis. Seorang pengawas menghampiri, “jangan tegang dik, berdo’a kepada Allah, semoga dimudahkan,” katanya, seulas senyum dihadiahkannya kepada saya.
Saat itulah saya merasa, saya harus berdoa. “Nak, ketika suatu saat manusia mengalami keadaan yang sangat sulit, ketika manusia lain tidak ada yang mampu menolong, kepada siapa kamu akan memohon pertolongan, paling tidak berdo’a,” kalimat ulama kembali terngiang. Hati saya teriris, “Ya Allah……”. Dalam kertas ujian saya tulis tebal-tebal “Allah, maafkan saya”. Ruangan hening, perut masih terasa kram. Saya terus beristighfar, lambat laun sakitnya reda. Saya sudah kehilangan waktu hampir 15 menit. Ketika, saya sudah mampu membaca, dalam hati saya mengucap “Hamba menyebut nama Allah yang maha pengasih dan maha penyayang”. Alhamdulillah, saya masih bisa berusaha. Ketika pengawas itu mengambil jawaban, saya berkata kepadanya “Terima kasih sudah mengingatkan saya”. mbaknya hanya tersenyum dan berlalu.
Kini saya mengingat-ingat bimbingan ulama tadi. Dengan serius beliau menyebutkan, untuk membentuk pemuda yang shaleh, hal pertama yang harus ditanamkan kepadanya adalah tentang “Eksistensi Allah”. Setelah percaya, maka seseorang akan tertarik untuk mengenal dan ketika sudah mengenal, cinta tumbuh, berputik dan berbunga dengan sendirinya. Seperti kata pepatah tak kenal maka tak sayang. Aqidah adalah hal pertama yang harus terhujam.
“Bagaimana bisa mengenal Allah?” tanya saya. Selanjutnya, beliau yang sudah hafal Al-qur’an sejak usia 11 tahun ini, terdiam. Kedua mata yang sudah tidak berfungsi itu menerawang. “Apa yang kau sukai dari semesta raya?,” beliau bertanya. Saya berfikir, banyak sekali yang saya kagumi. Gunung Cikuray, Gunung Putri, Gunung Ciremai dan bebukitan yang selalu menemani saya merenung saya suka. Sawah yang menghampar di belakang rumah, tempat saya berjalan mencari angin segar setiap sore, saya juga suka. Apalagi saat menyaksikan Curug Citiis yang airnya jatuh bertenaga. Tapi akhirnya saya memutuskan Langit.
“Baiklah, dengarkan!” pintanya. Saya memasang telinga, sambil menatap gunung Ciremai yang begitu megah, saya menyimak.
“Salah satu jalan untuk mempercayai bahwa Allah itu ada, lihatlah semesta, itu firman Allah dalam Al-qur’an. Tapi jangan hanya melihat, gunakan akal dan pikiran selanjutnya tafakuri. Hanya melihat saja semua orang juga bisa. Beruntunglah orang-orang yang menggunakan akal. Tidakkah keberuntungan bagi orang-orang yang menggunakan akalnya? Seperti Allah berfirman, “…. Dan tak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang berakal”. (2:269).
“Siapa yang mencipta, semua? Baca Al-qur’an! sumber yang tak dapat diragukan lagi kebenarannya. Subhanallah, Allah menciptakan bumi lengkap dengan perkakasnya, semesta indah beserta manusia. Mengurusi semua mahluk tanpa sejeda pun lelah dan mengantuk. Subhanallah yang Maha Perkasa sekaligus Maha Lembut, demikian megah dunia dan alam raya. Adakah patut kita memandang biasa semua itu. Beruntunglah kamu diberi alat pembeda dengan binatang dan tumbuhan serta semua mahluk belahan dunia manapun. Akal. Dengannya kamu akan terampil memikirkan dan mentafakuri semua.”
“Arahkan pandanganmu ke atas, adalah yang bernama langit terbentang kokoh diatas sana. Bersyukur kamu masih bisa melihat. Biasakah kamu memandangnya. Ya tentu saja, bukankah kamu suka. Selanjutnya, siapakah yang menciptakan dan memberikan nama langit tanpa retak sedikitpun kepada pemayung bumi?. Tentu saja Allah, “Dan Langit itu Kami bangun dengan kekuasaan Allah…” (51:47). Jika kita sudah terampil menggunakan akal, apa hikmah dibalik penciptaan langit? Banyak persepsi tentu saja.”
“Pernahkah kamu berfikir, bahwa Allah menciptakan warna langit sesuai dengan kekuatan mata kita. Birunya langit terbukti dapat menghilangkan pepat yang menggayuti hati, coba bayangkan jika langit itu merah menyala. Rasakanlah bahwa dengan memandang langit yang biru menawan memberikan kenikmatan dan kesegaran tersendiri. Lepaskanlah pandangan kita saat kita bosan dan sedih, lihat betapa Allah membentangkannya untuk manusia. Adakah batas yang dapat kita tangkap. Adakah penyangga?”
“Jika malam telah tiba, ada apakah dilangit sana? Tegaklah berdiri dan saksikanlah layar biru dengan gemerlap bintang. Apakah itu biasa saja. Sungguh jika hati kita merasa berat, langit seperti demikian adalah obat penawar segala kegundahan. Jika kita benar-benar mentafakurinya, langit bisa menghantarkan kita untuk mengenali penciptanya. Allah. “Demi langit yang mempunyai jalan-jalan.” (51:7). Para ahli tafsir menyebutkan bahwa jalan (Al-Hubuk) ialah jalan yang bisa membawa kita kepada kesadaran betapa Allah Maha Sempurna dalam berkreasi tanpa cacat. Langit sebagai petunjuk yang jelas yang menunjukkan adanya sang pencipta. Langit salah satu bukti luasnya ilmu Allah.”
“Al-Ghazali menyebutkan manfaat yang didapat dari langit antara lain: Mengurangi kegundahan dan bimbang yang menggelayut, Mengingatkan kepada Allah, Melapangkan hati dalam membesarkan Allah, Menghibur hati yang keras, Menyenangkan hati orang-orang yang cinta kepada Allah, Memberi manfaat kepada orang yang terkena flek hitam pada hatinya, sebagai kiblat do’a orang-orang yang sedang berdo’a. Lihat, betapa langit sangat berguna bagi manusia. Maha Suci Allah yang tidak pernah menciptakan segala sesuatunya dengan sia-sia. Padahal Itu baru langit, belum perkakas alam semesta lainnya.”
“Jika sudah yakin bahwa Allah itu ada. Ingatlah bahwa Allah selalu menatapmu, mengawasimu dari setiap waktunya. Pada saat kita terlelap, berada di sekolah, diam di rumah. Tak pernah ada yang luput dari pengawasannya. Dan kamu tidak bisa memikirkan dzatnya seperti apa, karena akal yang dianugerahkan Allah terbatas, akalmu tidak akan pernah sampai.”
“Sekarang, pikirkan saja Maha pengasihnya, nikmat tak berhingganya. Bagaimana membalasnya?” Saat itu saya mengangguk, tentu saja saya tahu. “Jika hatimu gundah, sebutlah nama-Nya, hadirkan hatimu ketika berdo’a. Sesungguhnya Allah sangat dekat, lebih dekat dari nadi lehermu sendiri”. Saya terpekur, lama, sesak rasanya. “Jika masih belum berhasil, tak usah malu menemui Saya, kita bahas lagi”.
Sampai sekarang, saya belum pernah menemuinya untuk masalah tadi, kecuali menjenguknya karena kesehatan yang dimilikinya tidak lagi sempurna.
mahabbah12@yahoo.com
(QS. Adz-Dzariat:7)
Seorang sahabat baru saja mengirimi saya e-card, bergambar gugusan galaksi dengan pesan singkat sarat makna: “Semoga semakin menambah keyakinan kita tentang keberadaan Allah”. Ingatan saya langsung terbang ke sebuah masa. Dulu saya pernah bimbang tentang hal ini, parah-parahnya saat SMU kelas 3. Teman karib juga, bahkan dia pernah tidak shalat beberapa waktu. Saya sering berfikir kalau Allah ada, seperti apa wujudnya. Suatu malam kepala saya pening memikirkannya. Akhirnya saya datangi seorang ulama, tetangga dekat, tanggapannya pertama kali “dasar anak nakal”. Tahu saya tidak main-main, akhirnya seperti seorang ayah dengan lemah lembut beliau membimbing. Kami berbincang sangat lama, meski sebetulnya dari pertemuan itu, saya masih tidak puas. Setan memang pintar.
Hingga pada saat hari pertama UMPTN tiba. Sudah jauh-jauh hari saya bersiap, insya Allah saya sudah merasa maksimal belajar. Bagi saya UMPTN adalah hal yang besar. Ketika pengawas membagikan lembar soal, saya duduk tenang dan berkonsentrasi. Sekitar sepuluh menit setelah ujian dimulai, tiba-tiba saja saya mengalami kram perut, tangan sampai gemetar, pandangan berkunang-kunang, keringat dingin keluar, saya tidak mampu berfikir. Kalau di rumah, mungkin saya sudah menangis. Seorang pengawas menghampiri, “jangan tegang dik, berdo’a kepada Allah, semoga dimudahkan,” katanya, seulas senyum dihadiahkannya kepada saya.
Saat itulah saya merasa, saya harus berdoa. “Nak, ketika suatu saat manusia mengalami keadaan yang sangat sulit, ketika manusia lain tidak ada yang mampu menolong, kepada siapa kamu akan memohon pertolongan, paling tidak berdo’a,” kalimat ulama kembali terngiang. Hati saya teriris, “Ya Allah……”. Dalam kertas ujian saya tulis tebal-tebal “Allah, maafkan saya”. Ruangan hening, perut masih terasa kram. Saya terus beristighfar, lambat laun sakitnya reda. Saya sudah kehilangan waktu hampir 15 menit. Ketika, saya sudah mampu membaca, dalam hati saya mengucap “Hamba menyebut nama Allah yang maha pengasih dan maha penyayang”. Alhamdulillah, saya masih bisa berusaha. Ketika pengawas itu mengambil jawaban, saya berkata kepadanya “Terima kasih sudah mengingatkan saya”. mbaknya hanya tersenyum dan berlalu.
Kini saya mengingat-ingat bimbingan ulama tadi. Dengan serius beliau menyebutkan, untuk membentuk pemuda yang shaleh, hal pertama yang harus ditanamkan kepadanya adalah tentang “Eksistensi Allah”. Setelah percaya, maka seseorang akan tertarik untuk mengenal dan ketika sudah mengenal, cinta tumbuh, berputik dan berbunga dengan sendirinya. Seperti kata pepatah tak kenal maka tak sayang. Aqidah adalah hal pertama yang harus terhujam.
“Bagaimana bisa mengenal Allah?” tanya saya. Selanjutnya, beliau yang sudah hafal Al-qur’an sejak usia 11 tahun ini, terdiam. Kedua mata yang sudah tidak berfungsi itu menerawang. “Apa yang kau sukai dari semesta raya?,” beliau bertanya. Saya berfikir, banyak sekali yang saya kagumi. Gunung Cikuray, Gunung Putri, Gunung Ciremai dan bebukitan yang selalu menemani saya merenung saya suka. Sawah yang menghampar di belakang rumah, tempat saya berjalan mencari angin segar setiap sore, saya juga suka. Apalagi saat menyaksikan Curug Citiis yang airnya jatuh bertenaga. Tapi akhirnya saya memutuskan Langit.
“Baiklah, dengarkan!” pintanya. Saya memasang telinga, sambil menatap gunung Ciremai yang begitu megah, saya menyimak.
“Salah satu jalan untuk mempercayai bahwa Allah itu ada, lihatlah semesta, itu firman Allah dalam Al-qur’an. Tapi jangan hanya melihat, gunakan akal dan pikiran selanjutnya tafakuri. Hanya melihat saja semua orang juga bisa. Beruntunglah orang-orang yang menggunakan akal. Tidakkah keberuntungan bagi orang-orang yang menggunakan akalnya? Seperti Allah berfirman, “…. Dan tak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang berakal”. (2:269).
“Siapa yang mencipta, semua? Baca Al-qur’an! sumber yang tak dapat diragukan lagi kebenarannya. Subhanallah, Allah menciptakan bumi lengkap dengan perkakasnya, semesta indah beserta manusia. Mengurusi semua mahluk tanpa sejeda pun lelah dan mengantuk. Subhanallah yang Maha Perkasa sekaligus Maha Lembut, demikian megah dunia dan alam raya. Adakah patut kita memandang biasa semua itu. Beruntunglah kamu diberi alat pembeda dengan binatang dan tumbuhan serta semua mahluk belahan dunia manapun. Akal. Dengannya kamu akan terampil memikirkan dan mentafakuri semua.”
“Arahkan pandanganmu ke atas, adalah yang bernama langit terbentang kokoh diatas sana. Bersyukur kamu masih bisa melihat. Biasakah kamu memandangnya. Ya tentu saja, bukankah kamu suka. Selanjutnya, siapakah yang menciptakan dan memberikan nama langit tanpa retak sedikitpun kepada pemayung bumi?. Tentu saja Allah, “Dan Langit itu Kami bangun dengan kekuasaan Allah…” (51:47). Jika kita sudah terampil menggunakan akal, apa hikmah dibalik penciptaan langit? Banyak persepsi tentu saja.”
“Pernahkah kamu berfikir, bahwa Allah menciptakan warna langit sesuai dengan kekuatan mata kita. Birunya langit terbukti dapat menghilangkan pepat yang menggayuti hati, coba bayangkan jika langit itu merah menyala. Rasakanlah bahwa dengan memandang langit yang biru menawan memberikan kenikmatan dan kesegaran tersendiri. Lepaskanlah pandangan kita saat kita bosan dan sedih, lihat betapa Allah membentangkannya untuk manusia. Adakah batas yang dapat kita tangkap. Adakah penyangga?”
“Jika malam telah tiba, ada apakah dilangit sana? Tegaklah berdiri dan saksikanlah layar biru dengan gemerlap bintang. Apakah itu biasa saja. Sungguh jika hati kita merasa berat, langit seperti demikian adalah obat penawar segala kegundahan. Jika kita benar-benar mentafakurinya, langit bisa menghantarkan kita untuk mengenali penciptanya. Allah. “Demi langit yang mempunyai jalan-jalan.” (51:7). Para ahli tafsir menyebutkan bahwa jalan (Al-Hubuk) ialah jalan yang bisa membawa kita kepada kesadaran betapa Allah Maha Sempurna dalam berkreasi tanpa cacat. Langit sebagai petunjuk yang jelas yang menunjukkan adanya sang pencipta. Langit salah satu bukti luasnya ilmu Allah.”
“Al-Ghazali menyebutkan manfaat yang didapat dari langit antara lain: Mengurangi kegundahan dan bimbang yang menggelayut, Mengingatkan kepada Allah, Melapangkan hati dalam membesarkan Allah, Menghibur hati yang keras, Menyenangkan hati orang-orang yang cinta kepada Allah, Memberi manfaat kepada orang yang terkena flek hitam pada hatinya, sebagai kiblat do’a orang-orang yang sedang berdo’a. Lihat, betapa langit sangat berguna bagi manusia. Maha Suci Allah yang tidak pernah menciptakan segala sesuatunya dengan sia-sia. Padahal Itu baru langit, belum perkakas alam semesta lainnya.”
“Jika sudah yakin bahwa Allah itu ada. Ingatlah bahwa Allah selalu menatapmu, mengawasimu dari setiap waktunya. Pada saat kita terlelap, berada di sekolah, diam di rumah. Tak pernah ada yang luput dari pengawasannya. Dan kamu tidak bisa memikirkan dzatnya seperti apa, karena akal yang dianugerahkan Allah terbatas, akalmu tidak akan pernah sampai.”
“Sekarang, pikirkan saja Maha pengasihnya, nikmat tak berhingganya. Bagaimana membalasnya?” Saat itu saya mengangguk, tentu saja saya tahu. “Jika hatimu gundah, sebutlah nama-Nya, hadirkan hatimu ketika berdo’a. Sesungguhnya Allah sangat dekat, lebih dekat dari nadi lehermu sendiri”. Saya terpekur, lama, sesak rasanya. “Jika masih belum berhasil, tak usah malu menemui Saya, kita bahas lagi”.
Sampai sekarang, saya belum pernah menemuinya untuk masalah tadi, kecuali menjenguknya karena kesehatan yang dimilikinya tidak lagi sempurna.
mahabbah12@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar