SETIAP hari bahkan mungkin sepanjang tahun kita diperhadapkan dengan beragam kesulitan, cobaan, penderitaan, yang boleh jadi cukup melelahkan hati dan pikiran. Kondisi yang tidak saja mengundang emosi tapi juga memancing diri untuk membenci bahkan mungkin memusuhi.
Di sinilah akal sehat kita dipertaruhkan. Sebab keunggulan manusia itu terletak pada kemampuannya berpikir. Bagi yang jarang bertafakur (merenungkan hikmah) atas kejadian yang menimpa itu, maka ia akan memilih sikap berkeluh kesah, minder, pesimis, atau selalu menyalahkan keadaan yang justru mengakibatkan pudarnya cahaya iman.
Tetapi bagi yang mau mentafakuri-nya, maka ia akan mendapatkan pencerahan yang baik, sehingga bukan saja kenikmatan yang menyenangkan yang bisa membuatnya tersenyum, musibah pun tak mampu membuatnya menangis. Bahkan musibah justru menjadikannya semakin dekat kepada Allah SWT.
Mukmin yang selalu bertafakur, ialah orang yang memahami maksud baik Allah atas setiap peristiwa dan kejadian yang dialaminya. Dan, keyakinan dalam hatinya justru terus-menerus bertambah kokoh bahwa tidak mungkin Allah akan berubah menjadi Maha Pembenci, sebab Dia adalah Maha Penyayang.
Tafakkur tidak sama dengan bersemedi atau tepekur (istilah Jawa). Apalagi jika dilakukan tanpa ada ajaran Islam.
Tafakur adalah perenungan untuk memikirkan, membesarkan dan mentadaburi tanda-tanda kebesaran Allah SWT.
Dari Nabi SAW., bahwa pada suatu hari ia keluar menuju suatu kaum. Mereka sedang bertafakur. Maka Nabi SAW bertanya, “Apa yang kamu sedang kerjakan sehingga kamu tidak berbicara?” Mereka menjawab, “Kami sedang memikirkan ciptaan Allah SWT.” Selanjutnya Nabi SAW bersabda, “Kalau begitu, maka lakukanlah. Berpikirlah tentang ciptaan Allah, tetapi janganlah kamu memikirkan tentang-Nya. Sesungguhnya di barat ini ada bumi yang putih cahayanya perjalanan matahari empat puluh hari. Di dalamnya terdapat makhluk dari makhluk-makhluk Allah. Mereka tidak pernah mendurhakai Allah sekejap mata pun. Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, lalu di mana setan terhadap mereka? Beliau bersabda, “Mereka tidak tahu setan diciptakan atau tidak.” Mereka berkata, “Bagaimana dengan anak Adam?” Beliau bersabda, “Mereka tidak tahu Adam diciptakan atau tidak.”
Lebih jelas, al-Quran mengatakan;
لَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللّهَ قِيَاماً وَقُعُوداً وَعَلَىَ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذا بَاطِلاً سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّار
ِ
Artinya: “...dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi.” (QS. Ali Imran (3): 191)
Kesimpulannya, dalam hal yang tidak menyenangkan pun dirinya bisa melihat dengan haqqul yakin, bahwa Allah sangat mencintai hamba-Nya.
Bertafakur berarti berpikir dengan akal sehat untuk menemukan hikmah (kebijaksanaan) dalam setiap peristiwa yang dihadapi, dialami ataupun dirasakan. Dengan cara demikian, maka kita akan mengerti secara jelas sikap terbaik apa yang harus kita berikan atas peristiwa yang terjadi.
Pada saat yang sama kita harus mampu menghubungkan peristiwa yang terjadi dengan konsep keimanan kepada Allah SWT. Inilah yang disebut dengan dzikir, sehingga kita senantiasa bersyukur atas segala nikmat dan bersabar atas segala musibah.
Sebagai contoh berikut penulis kutipkan satu kasus bagaimana bertafakur, dari buku Bahan Renungan Qalbu, karya Ir. Permadi Alibasyah tentang musibah.
Bila dipikir dengan akal, musibah itu pasti hal yang buruk. Kemudian tak satu pun manusia yang mau apalagi ingin mendapat musibah. Bahkan musibah itu identik dengan apes atau sial. Musibah juga hasil kejahatan orang lain pada kita. Boleh jadi musibah juga karena kecerobohan kita saja.
Cara berpikir seperti di atas, akan menghasilkan output yang buruk. Wajar orang yang mengalami musibah menjadi stres. Oleh karena itu dia perlu dikasihani karena kemalangan yang menimpanya. Maka lain kali buatlah perhitungan yang matang supaya tidak tertimpa musibah.
Akan sangat berbeda hasilnya jika proses berfikir seorang mukmin diiringi proses dzikir. Kita harus selalu ingat bahwa Allah Maha Pengasih Maha Penyayang. Allah tidak akan pernah berbuat dzalim, malah Ia Maha Adil. Allah Maha Pandai, Maha Pengatur lagi Maha Suci. Allah selalu mendengar doa hamba-hamba-Nya.
Maka musibah dengan proses fikir dan dzikir akan menghasilkan semakin kuatnya keyakinan seorang mukmin pada kekuasaan Allah SWT.
Tidak wajar bila kita stress saat mengalami musibah, bukankah musibah itu adalah realisasi dari permohonan kita, ihdinash shirata al-mustaqim?
Hakikat dari musibah ialah Allah ingin kita mendapat hikmah. Betapa banyak kenikmatan yang didapat di antara taring-taring bencana.
Bila awan tak menangis, mana mungkin taman akan tersenyum. Musibah adalah tanda cinta Allah pada kita. Dia telah memberikan peluang kepada kita untuk meningkatkan ketaqwaan, dan bukankah manusia yang paling tinggi derajatanya adalah orang yang paling taqwa?
Belajar Dari Nabi Yusuf
Sebelum menjadi nabi, Yusuf adalah anak, remaja, bahkan pemuda yang hidup dalam kubangan masalah, derita bahkan kesengsaraan. Belum cukup usia baligh beliau sudah harus dibuang ke dalam sumur oleh saudaranya sendiri. Kita bisa bayangkan, bagaimana hancurnya perasaan seorang Yusuf belia kala itu.
Namun karena Yusuf sempat mendapat pelajaran dari sang ayah, Nabi Ayyub, bahwa dirinya akan mendapat kemuliaan besar dalam hidupnya yang tergambar dalam mimpi yang sempat dialaminya, ia mampu menghadapi derita yang berat itu dengan optimisme.
Keimanannya pun mengantarkan pada satu keyakinan besar bahwa derita yang dialaminya adalah anak tangga pertama yang harus dilalui untuk menuju kemuliaan yang pernah dimimpikannya.
Beberapa waktu lamanya, Yusuf juga sempat difitnah bahkan masuk penjara karena tuduhan palsu sang majikan atasnya. Yusuf pun tidak gusar bahkan sebaliknya, ia semakin yakin bahwa hal itu adalah tangga kesekian yang dapat mengantarkannya kepada kemuliaan yang pernah dimimpikannya.
Yusuf selalu berhasil menetralisir jiwa dan emosinya pada kondisi seimbang. Bahkan ketika penjara akan menjadi tempat hidupnya, ia justru lebih memilih penjara daripada menuruti keinginan majikan yang dapat mengundang kemurkaan Allalh SWT.
Al-Qur’an menjelaskan hal tersebut dengan gamblang. Yusuf berkata:
قَالَ رَبِّ السِّجْنُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا يَدْعُونَنِي إِلَيْهِ وَإِلاَّ تَصْرِفْ عَنِّي كَيْدَهُنَّ أَصْبُ إِلَيْهِنَّ وَأَكُن مِّنَ الْجَاهِلِينَ
"Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Dan jika tidak Engkau hindarkan dari padaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh."(QS. Yusuf: 33).
Pada saat yang sama Yusuf terus-menerus memperbaiki diri, sembari senantiasa bertafakkur, berdzikir dan berdoa kepada Allah SWT, hingga akhirnya ia dinobatkan sebagai perdana menteri Mesir.
Yusuf semakin dewasa, berwibawa bahkan mulia justru karena ditempa oleh beragam kesulitan, fitnah dan pengasingan. Hal ini terlihat saat beliau menerima amanah sebagai perdana menteri. Dengan kekuatan dan kekuasaan yang dimilikinya ia sama sekali tak berniat melampiaskan balas dendam terhadap saudara-saudaranya sendiri yang telah melemparkannya ke dalam sumur tatkala ia masih kecil.
Nabi Yusuf justru mengundang mereka tinggal bersama, memaafkan mereka dan bahagia bisa berbuat baik terhadap mereka yang pernah membenci dan memusuhinya. Subhanallah.
Jadi, marilah kita biasakan diri untuk bertafakkur dengan sepenuh hati. Temukanlah hikmah agung atas setiap masalah, musibah, kesulitan, penderitaan yang kita alami. Sebab tidak mungkin apa yang ada dalam kehidupan ini hadir tanpa maksud baik dari Allah SWT.
Bukankah setiap kesuksesan itu harus dibayar dengan kelelahan, kepayahan, bahkan penderitaan?
Ingat, kecelakaan tidak hanya terjadi di jalanan yang becek atau rusak. Bahkan maut seringkali mengintai justru di jalan mulus, lancar, dan bebas hambatan! Jadi, bertafakkurlah! Wallahu a’lam.*/Imam Nawawi
Red: Cholis Akbar
Di sinilah akal sehat kita dipertaruhkan. Sebab keunggulan manusia itu terletak pada kemampuannya berpikir. Bagi yang jarang bertafakur (merenungkan hikmah) atas kejadian yang menimpa itu, maka ia akan memilih sikap berkeluh kesah, minder, pesimis, atau selalu menyalahkan keadaan yang justru mengakibatkan pudarnya cahaya iman.
Tetapi bagi yang mau mentafakuri-nya, maka ia akan mendapatkan pencerahan yang baik, sehingga bukan saja kenikmatan yang menyenangkan yang bisa membuatnya tersenyum, musibah pun tak mampu membuatnya menangis. Bahkan musibah justru menjadikannya semakin dekat kepada Allah SWT.
Mukmin yang selalu bertafakur, ialah orang yang memahami maksud baik Allah atas setiap peristiwa dan kejadian yang dialaminya. Dan, keyakinan dalam hatinya justru terus-menerus bertambah kokoh bahwa tidak mungkin Allah akan berubah menjadi Maha Pembenci, sebab Dia adalah Maha Penyayang.
Tafakkur tidak sama dengan bersemedi atau tepekur (istilah Jawa). Apalagi jika dilakukan tanpa ada ajaran Islam.
Tafakur adalah perenungan untuk memikirkan, membesarkan dan mentadaburi tanda-tanda kebesaran Allah SWT.
Dari Nabi SAW., bahwa pada suatu hari ia keluar menuju suatu kaum. Mereka sedang bertafakur. Maka Nabi SAW bertanya, “Apa yang kamu sedang kerjakan sehingga kamu tidak berbicara?” Mereka menjawab, “Kami sedang memikirkan ciptaan Allah SWT.” Selanjutnya Nabi SAW bersabda, “Kalau begitu, maka lakukanlah. Berpikirlah tentang ciptaan Allah, tetapi janganlah kamu memikirkan tentang-Nya. Sesungguhnya di barat ini ada bumi yang putih cahayanya perjalanan matahari empat puluh hari. Di dalamnya terdapat makhluk dari makhluk-makhluk Allah. Mereka tidak pernah mendurhakai Allah sekejap mata pun. Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, lalu di mana setan terhadap mereka? Beliau bersabda, “Mereka tidak tahu setan diciptakan atau tidak.” Mereka berkata, “Bagaimana dengan anak Adam?” Beliau bersabda, “Mereka tidak tahu Adam diciptakan atau tidak.”
Lebih jelas, al-Quran mengatakan;
لَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللّهَ قِيَاماً وَقُعُوداً وَعَلَىَ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذا بَاطِلاً سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّار
ِ
Artinya: “...dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi.” (QS. Ali Imran (3): 191)
Kesimpulannya, dalam hal yang tidak menyenangkan pun dirinya bisa melihat dengan haqqul yakin, bahwa Allah sangat mencintai hamba-Nya.
Bertafakur berarti berpikir dengan akal sehat untuk menemukan hikmah (kebijaksanaan) dalam setiap peristiwa yang dihadapi, dialami ataupun dirasakan. Dengan cara demikian, maka kita akan mengerti secara jelas sikap terbaik apa yang harus kita berikan atas peristiwa yang terjadi.
Pada saat yang sama kita harus mampu menghubungkan peristiwa yang terjadi dengan konsep keimanan kepada Allah SWT. Inilah yang disebut dengan dzikir, sehingga kita senantiasa bersyukur atas segala nikmat dan bersabar atas segala musibah.
Sebagai contoh berikut penulis kutipkan satu kasus bagaimana bertafakur, dari buku Bahan Renungan Qalbu, karya Ir. Permadi Alibasyah tentang musibah.
Bila dipikir dengan akal, musibah itu pasti hal yang buruk. Kemudian tak satu pun manusia yang mau apalagi ingin mendapat musibah. Bahkan musibah itu identik dengan apes atau sial. Musibah juga hasil kejahatan orang lain pada kita. Boleh jadi musibah juga karena kecerobohan kita saja.
Cara berpikir seperti di atas, akan menghasilkan output yang buruk. Wajar orang yang mengalami musibah menjadi stres. Oleh karena itu dia perlu dikasihani karena kemalangan yang menimpanya. Maka lain kali buatlah perhitungan yang matang supaya tidak tertimpa musibah.
Akan sangat berbeda hasilnya jika proses berfikir seorang mukmin diiringi proses dzikir. Kita harus selalu ingat bahwa Allah Maha Pengasih Maha Penyayang. Allah tidak akan pernah berbuat dzalim, malah Ia Maha Adil. Allah Maha Pandai, Maha Pengatur lagi Maha Suci. Allah selalu mendengar doa hamba-hamba-Nya.
Maka musibah dengan proses fikir dan dzikir akan menghasilkan semakin kuatnya keyakinan seorang mukmin pada kekuasaan Allah SWT.
Tidak wajar bila kita stress saat mengalami musibah, bukankah musibah itu adalah realisasi dari permohonan kita, ihdinash shirata al-mustaqim?
Hakikat dari musibah ialah Allah ingin kita mendapat hikmah. Betapa banyak kenikmatan yang didapat di antara taring-taring bencana.
Bila awan tak menangis, mana mungkin taman akan tersenyum. Musibah adalah tanda cinta Allah pada kita. Dia telah memberikan peluang kepada kita untuk meningkatkan ketaqwaan, dan bukankah manusia yang paling tinggi derajatanya adalah orang yang paling taqwa?
Belajar Dari Nabi Yusuf
Sebelum menjadi nabi, Yusuf adalah anak, remaja, bahkan pemuda yang hidup dalam kubangan masalah, derita bahkan kesengsaraan. Belum cukup usia baligh beliau sudah harus dibuang ke dalam sumur oleh saudaranya sendiri. Kita bisa bayangkan, bagaimana hancurnya perasaan seorang Yusuf belia kala itu.
Namun karena Yusuf sempat mendapat pelajaran dari sang ayah, Nabi Ayyub, bahwa dirinya akan mendapat kemuliaan besar dalam hidupnya yang tergambar dalam mimpi yang sempat dialaminya, ia mampu menghadapi derita yang berat itu dengan optimisme.
Keimanannya pun mengantarkan pada satu keyakinan besar bahwa derita yang dialaminya adalah anak tangga pertama yang harus dilalui untuk menuju kemuliaan yang pernah dimimpikannya.
Beberapa waktu lamanya, Yusuf juga sempat difitnah bahkan masuk penjara karena tuduhan palsu sang majikan atasnya. Yusuf pun tidak gusar bahkan sebaliknya, ia semakin yakin bahwa hal itu adalah tangga kesekian yang dapat mengantarkannya kepada kemuliaan yang pernah dimimpikannya.
Yusuf selalu berhasil menetralisir jiwa dan emosinya pada kondisi seimbang. Bahkan ketika penjara akan menjadi tempat hidupnya, ia justru lebih memilih penjara daripada menuruti keinginan majikan yang dapat mengundang kemurkaan Allalh SWT.
Al-Qur’an menjelaskan hal tersebut dengan gamblang. Yusuf berkata:
قَالَ رَبِّ السِّجْنُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا يَدْعُونَنِي إِلَيْهِ وَإِلاَّ تَصْرِفْ عَنِّي كَيْدَهُنَّ أَصْبُ إِلَيْهِنَّ وَأَكُن مِّنَ الْجَاهِلِينَ
"Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Dan jika tidak Engkau hindarkan dari padaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh."(QS. Yusuf: 33).
Pada saat yang sama Yusuf terus-menerus memperbaiki diri, sembari senantiasa bertafakkur, berdzikir dan berdoa kepada Allah SWT, hingga akhirnya ia dinobatkan sebagai perdana menteri Mesir.
Yusuf semakin dewasa, berwibawa bahkan mulia justru karena ditempa oleh beragam kesulitan, fitnah dan pengasingan. Hal ini terlihat saat beliau menerima amanah sebagai perdana menteri. Dengan kekuatan dan kekuasaan yang dimilikinya ia sama sekali tak berniat melampiaskan balas dendam terhadap saudara-saudaranya sendiri yang telah melemparkannya ke dalam sumur tatkala ia masih kecil.
Nabi Yusuf justru mengundang mereka tinggal bersama, memaafkan mereka dan bahagia bisa berbuat baik terhadap mereka yang pernah membenci dan memusuhinya. Subhanallah.
Jadi, marilah kita biasakan diri untuk bertafakkur dengan sepenuh hati. Temukanlah hikmah agung atas setiap masalah, musibah, kesulitan, penderitaan yang kita alami. Sebab tidak mungkin apa yang ada dalam kehidupan ini hadir tanpa maksud baik dari Allah SWT.
Bukankah setiap kesuksesan itu harus dibayar dengan kelelahan, kepayahan, bahkan penderitaan?
Ingat, kecelakaan tidak hanya terjadi di jalanan yang becek atau rusak. Bahkan maut seringkali mengintai justru di jalan mulus, lancar, dan bebas hambatan! Jadi, bertafakkurlah! Wallahu a’lam.*/Imam Nawawi
Red: Cholis Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar