untuk menghilangkan sifat suka berburuk sangka, maka kita harus memulainya dari memandang positif diri kita sendiri terlebih dahulu. Orang yang suka memandang orang lain dengan sangka buruk biasanya karena belum menerima dirinya apa adanya (belum mencintai dirinya sendiri). Pandangan negatif terhadap dirinya (misalnya : merasa dirinya malang, selalu sial, tidak cantik/ganteng, dan lain-lain) akan mempengaruhinya dalam menilai orang lain (istilah sosiologinya kalau tidak salah Hallo Effect).
Ia akan condong menilai orang lain dari kecurigaan, kecemasan, ketakutan dan buruk sangka. Semua itu membuat dirinya lebih mudah menilai keburukan orang lain daripada kebaikan orang lain. Hal ini juga yang menjadi penyebab kenapa seseorang suka berburuk sangka.
Cara menghilangkan sifat suka berburuk sangka adalah mulai dari memandang diri sendiri secara positif. Yakin bahwa dirinya jauh lebih hebat daripada yang ia duga.Yakin bahwa dirinya mempunyai kelebihan/kebaikan yang lebih banyak daripada kekurangan yang dimilikinya. Istilah lainnya: ia perlu lebih banyak bersyukur terhadap berbagai nikmat yang telah Allah berikan kepadanya. Kalau direnungkan, sesungguhnya nikmat yang telah Allah berikan kepada kita jauh lebih banyak dari kesusahan/kekurangan kita. Itulah sebabnya manusia sering lupa dengan nikmat Allah SWT karena nikmat itu terlalu sering ia dapatkan sampai tidak lagi terasa sebagai nikmat. Sebaliknya, kalau kita renungkan musibah dan kesusahan yang kita dapatkan begitu sedikitnya, sehingga ketika kita mengalami musibah/kesusahan sedikit saja maka akan terasa sekali besarnya musibah/kesusahan tersebut.
Lalu cara kedua untuk menghilangkan sifat buruk sangka adalah memiliki jiwa berkelimpahan. Artinya, apa pun yang terjadi pada dirinya (terutama yang menyakitkan hatinya), ia merasa jauh lebih banyak limpahan nikmat yang telah Allah berikan kepadanya dibandingkan musibah yang dialaminya. Ia melihat dunia dengan paradigma banyaknya limpahan nikmat yang bisa didapatkan oleh setiap orang dan Allah tidak akan “pelit” untuk menambah nikmat tersebut kepada setiap orang. Ia tidak melihat dunia dengan paradigma “rebutan kue”, dimana ketika orang lain mendapatkan rezeki/nikmat berarti jatah rezeki/nikmatnya akan berkurang. Ia yakin takdirnya untuk mendapatkan kelimpahan nikmat dari Allah SWT tidak akan berkurang sedikitpun ketika orang lain mendapatkan nikmat. Paradigma ini akan membuat ia tidak pernah berburuk sangka kepada orang lain karena merasa hidupnya dan hidup orag lain berpindah dari satu nikmat kepada nikmat yang lain.
Demikian jawaban yang dapat saya berikan. Semoga berkenan di hati Anda.
Salam Berkah!
Selasa, 26 April 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Entri yang Diunggulkan
MENJUAL AGAMA PADA PENGUASA DISIFATI ANJING DALAM AL QURAN
Pemimpin/Ulama adalah cermin dari umat atau rakyat yang dipimpinnya. Definisi Ulama (wikipedia) adalah pemuka agama atau pemimpin agama ...
Popular Post
-
Ada berapa banyak perusahaan milik Yahudi yang ada di Indonesia? mungkin anda adalah salah satu penggemar beratnya dan mungkin juga ta...
-
Sudah saatnya kita menyadari bagaimana cara kerja syetan meracuni pikiran kita, bagaimana mereka mengendalikan hidup kita. Dari yang tadiny...
-
Panduan shalat kali ini berisi bimbingan Cara Shalat yang Khusuk, yang sesuai dengan sunnah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. B...
-
Hidayatullahcom MUHASABAH secara sedehana bisa dipahami sama dengan intropeksi, yaitu seseorang bertanya kepada dirinya sendiri tentang per...
-
Keluarnya Bangsa Ya'juj-Ma'juj Artikel terkait: Keluarnya Ya'Juz dan Ma'Juz (1) Munculnya Dajjal (1) Kabut Asap/Dabbah sebel...
-
VIVAnews - Pengunduran diri Hosni Mubarak sebagai Presiden Mesir tidak hanya disambut sukacita para demonstran di Kairo dan beberapa kota di...
-
Ini bukan cerita bualan alias “hoaks”. Dalam sebuah lukisan, sosok Bunda Maria sang Perawan Suci dalam agama Kristiani memang begitu angg...
-
mohon maaf saya memposting ini bukan bermaksud membicarakan tentang agama lain. Kata "Lucifer" digunakan oleh Jerome di abad ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar