Ibnu Qoyyim rahimahullah telah menulis kitab yang sangat bagus terkait dengan hukum bayi lahir yang dinamakan ‘Tuhfatul Maudud Fi Ahkami Al-Maulud’ dalam kitab ini ditulis bab khusus berbicara tentang khitan dan hukumnya. Ini ringkasannya disertai tambahan dari para ahli ilmu lainnya.
1. Makna Khitan
Ibnu Qoyyim mengatakan, “Khitan adalah nama dari prilaku orang yang sunat. Ia adalah masdar (kata benda) seperti kata ‘Nizal dan Qital’ dinamakan juga tempat berkhitan. Maka ada hadits, “Ketika bertemu dua khitan (kemaluan maksudnya jima’), maka dia harus mandi.” Kalau untuk wanita dinamakan ‘Khifdhon’. Dikatakan ‘Khotantu algulam khitanan dan Khofidhtul jariyah khifdhon (anak kecil laki-laki dikhitan dan anak kecil perempuan disunat). Bagi lelaki juga dinamakan ‘I’dzaran’ sementara orang yang ghoiru ma’dhur dinamakan ‘Aglaf dan Aqlaf (belum berkhitan). ‘Tuhfatul Maulud (1/152).
2. Khitan adalah sunnahnya Nabi Ibrohim dan para nabi setelahnya.
Telah diriwayatkan Bukhori, (6298) dan Muslim, (2370) dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu berkata, Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
اخْتَتَنَ إِبْرَاهِيمُ عليه السلام بَعْدَ ثَمَانِينَ سَنَةً ، وَاخْتَتَنَ بِالْقَدُومِ .
“Ibrohim alaihis salam berkhitan setelah berumur delapan puluh tahun dan berkhitan dengan kapak.”
Kata ‘Al-Qodum’ adalah alat tukang kayu, (pendapat lain) dikatakan ia adalah tempat di Syam.
Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Yang kuat, maksud dalam hadits adalah alat (kapak). Telah diriwayatkan oleh Abu Ya’la dari jalam Ali bin Rabah berkata, “Ibrohim diperintahkan untuk berkhitan. Maka beliau berkhitan dengan kapak, sehingga merasakan kesakitan. Maka Allah mewahyukan kepadanya agar dipercepat sebelum diperintahkan kepadanya. Dan beliau mengatakan, “Wahai Tuhanku, saya tidak suka mengakhirkan perintahMu.”
Ibnu Qoyyim berkata, “Khitan termasuk perangai yang Allah Subhanahu ujikan kepada Ibrohim kekasih-Nya, dan beliau melaksanakan dan menyempurnakan sehingga dia dijadian sebagai Imam untuk seluruh manusia. Telah diriwayatkan bahwa beliau yang pertama kali berkhitan seperti yang telah disebutkan. Yang ada dalam shoheh, Ibrohim berkhitan ketika berumur delapan puluh tahun.
Dan khitan berlanjut pada para rasul dan para pengikutnya. Sampai Masih (Isa) juga berkhitan. Dan orang Kresten mengakui akan hal itu tidak menolaknya. Sebagaimana mereka juga mengakui keharaman daging babi. “Tuhfatul Al-Maudud, hal. 158-159.
Dari sini, maka para ulama’ rahimahumullah berbeda pendapat tentang hukum khitan.
Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Pendapat yang terdekat adalah ia adalah wajib bagi lelaki dan sunnah bagi para wanita. Sisi pembeda diantara keduanya adalah. Bagi lelaki ada kebaikan yang akan kembali dari syarat diantara syarat-syarat shalat yaitu bersuci. Karena kulit (kulup) ini masih ada, kalau air seni itu keluar dari lubang kulup (masih) tetap ada dan terkumpul. Sehingga menjadi sebab adanya pembengkakan setiap kali bergerak, atau sulit keluarnya air seni dan hal itu menjadikan najis.
Sementara bagi wanita, faedah yang paling maksimal adalah mengurangi syahwatnya. Dan ini untuk kesempurnaan bukan menghilangkan sakit. “As-Syarkhu Al-Mumti’ (1/133, 134).
Ini adalah madzhab Imam Ahmad rahimahullah. Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan dalam ‘Al-Mugni (1/15): “Sementara khitan itu wajib bagi lelaki. Dan suatu kehormatan bagi para wanita. Tidak wajib baginya.”
3. Tempatnya
Ibnu Qoyyib rahimahullah mengatakan, “Abu Barokat mengatakan dalam kitabnya ‘Al-Ghoyah’: “Pada khitan lelaki diambil kulit kulupnya. Kalau sekiranya mengambil lebih banyak (kulitnya) tidak mengapa. Dianjurkan ketika mengkhitan anak wanita agar tidak seluruhnya. Diceritakan dari Umar beliau mengatakan untuk wanita yang dikhitan, “Biarkan sedikit (dagingnya) ketika mengkhitan. Al-Khollal mengatakan dalam kitab ‘Jami’ disebutkan apa yang dipotong dalam berkhitan, saya diberitahu Muhammad bin Husain bahwa Fadl bin Ziyad memberitahukan kepada mereka dan mengatakan, “Ahmad ditanya, “Berapa (batasan) dalam berkhitan? Beliau menjawab, “Sampai kelihatan ujung kemaluannya.” Kata ‘الحشفة " adalah ujung kemaluan, sebagaimana yang disebutkan dalam lisanul arab, (9/47).
Ibnu Sobbag mengatakan dalam ‘As-Syamil’: “Yang wajib bagi lelaki adalah memotong kulit yang ada di kulup sampai kelihatan semuanya. Sementara wanita, dipotong daging seperti jambul ayam jantan di bagian atas kemaluan diantara dua katup, kalau dipotong, maka akan tetap (masih ada) aslinya seperti bijian.
Nawawi rahimahullah mengatakan, “Yang kuat dan terkenal bahwa harus memotong semua (kulit) yang menutupi kulupnya.” Selesai ‘Al-Majmu’ (1/351).
Al-Juwaini mengatakan, “Batasan yang tepat bagi para wanita, apa yang sesuai dengan penamaannya. Beliau berkata, “Dalam hadits ada yang menunjukkan perintah untuk menyedikitkan (dalam memotong). Berkata, “Potong sedikit dan jangan dipotong semuanya. Maksudnya biarkan tempat yang agak menonjol. ‘Tuhfatul Maudud, (190-192).
Kesimpulannya bahwa dalam mengkhitan lelaki adalah memotong semua kulit yang menutupi kulup. Dalam mengkhitan wanita, memotong bagian dari kulit yang seperti jambul ayam jantan yang ada di atas kemaluan.
4. Hikmah diperintahkan berkhitan
Sementara bagi lelaki, karena tidak memungkinkan bersuci dari kencing kecuali dengan berkhitan. Karena sisa air seni berkumpul di bawah kulit (kemaluan), maka tidak aman ketika keluar, sehingga pakaian dan badannya menjadi najis. Oleh karena itu biasanya Abdullah bin Abbas radhiallahu’anhuma sangat ketat terkait dengan masalah khitan. Imam Ahmad mengatakan, “Dahulu Ibnu Umar sangat ketat dalam masalah ini. Diriwayatkan darinya, dia tidak diperbolehkan berhaji dan shalat. Maksudnya kalau dia belum berkhitan. Selesai ‘Al-Mgni, (1/115).
Sementara hikmah khitan bagi wanita, agar seimbang syahwatnya sehingga menjadi pertengahan. Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah ditanya tentang wanita, apakah dia dikhitan atau tidak?
Maka beliau menjawab, “Alhamdulillah, ya dikhitan. Dan khitannya adalah memotong kulit atas seperti jambul ayam jantan. Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam bersabda bagi wanita yang dikhitan:
(أشمي ولا تنهكي ، فإنه أبهى للوجه ، وأحظى لها عند الزوج)
“Potonglah sedikit dan jangan dipotong semuanya, karena ia lebih memancarkan diwajah dan lebih nikmat bagi suaminya.”
Maksudnya jangan berlebih-lebihan dalam memotong. Hal itu karena maksud khitan bagi lelaki adalah membersihkan najis yang tertahan di kulup. Sementara maksud dari khitan wanita adalah agar menyeimbangkan syahwatnya. Karena kalau dia belum dikhitan, maka kuat syahwatnya. Sehingga dikatakan kepada wanita yang belum berkhitan, “Wahai wanita yang belum dikhitan, sesungguhnya wanita yang belum dikhitan itu lebih sering mencari lelaki. Oleh karena itu, didapati kefakhisan (kerusakan) pada wanita Tartar dan wanita kulit sawo (asing) lebih banyak dibandingkan dengan wanita muslimah. Kalau terlalu berlebihan ketika menghkhitannya, maka syahwatnya melemah, sehingga tidak sempurna keinginan suami. Kalau dipotong tidak berlebihan, maka didapatkan keinginannya (syahwatnya) secara seimbang. Wallahu’alam.
Majmu’ Al-Fatawa, (21/114).
5. Diperbolehkan membayar uang kepada tukang khitan.
Ibnu Qudamah mengatakan, “Diperbolehkan menyewa untuk berkhitan dan berobat. Kami tidak dapati perbedaan akan hal itu. Karena ia adalah pekerjaan yang dibutuhkan dan diizinkan oleh agama. Maka diperbolehkan menyewanya sebagaimana pekerjaan mubah lainnya. ‘Al-Mugni, (5/314).
1. Makna Khitan
Ibnu Qoyyim mengatakan, “Khitan adalah nama dari prilaku orang yang sunat. Ia adalah masdar (kata benda) seperti kata ‘Nizal dan Qital’ dinamakan juga tempat berkhitan. Maka ada hadits, “Ketika bertemu dua khitan (kemaluan maksudnya jima’), maka dia harus mandi.” Kalau untuk wanita dinamakan ‘Khifdhon’. Dikatakan ‘Khotantu algulam khitanan dan Khofidhtul jariyah khifdhon (anak kecil laki-laki dikhitan dan anak kecil perempuan disunat). Bagi lelaki juga dinamakan ‘I’dzaran’ sementara orang yang ghoiru ma’dhur dinamakan ‘Aglaf dan Aqlaf (belum berkhitan). ‘Tuhfatul Maulud (1/152).
2. Khitan adalah sunnahnya Nabi Ibrohim dan para nabi setelahnya.
Telah diriwayatkan Bukhori, (6298) dan Muslim, (2370) dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu berkata, Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
اخْتَتَنَ إِبْرَاهِيمُ عليه السلام بَعْدَ ثَمَانِينَ سَنَةً ، وَاخْتَتَنَ بِالْقَدُومِ .
“Ibrohim alaihis salam berkhitan setelah berumur delapan puluh tahun dan berkhitan dengan kapak.”
Kata ‘Al-Qodum’ adalah alat tukang kayu, (pendapat lain) dikatakan ia adalah tempat di Syam.
Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Yang kuat, maksud dalam hadits adalah alat (kapak). Telah diriwayatkan oleh Abu Ya’la dari jalam Ali bin Rabah berkata, “Ibrohim diperintahkan untuk berkhitan. Maka beliau berkhitan dengan kapak, sehingga merasakan kesakitan. Maka Allah mewahyukan kepadanya agar dipercepat sebelum diperintahkan kepadanya. Dan beliau mengatakan, “Wahai Tuhanku, saya tidak suka mengakhirkan perintahMu.”
Ibnu Qoyyim berkata, “Khitan termasuk perangai yang Allah Subhanahu ujikan kepada Ibrohim kekasih-Nya, dan beliau melaksanakan dan menyempurnakan sehingga dia dijadian sebagai Imam untuk seluruh manusia. Telah diriwayatkan bahwa beliau yang pertama kali berkhitan seperti yang telah disebutkan. Yang ada dalam shoheh, Ibrohim berkhitan ketika berumur delapan puluh tahun.
Dan khitan berlanjut pada para rasul dan para pengikutnya. Sampai Masih (Isa) juga berkhitan. Dan orang Kresten mengakui akan hal itu tidak menolaknya. Sebagaimana mereka juga mengakui keharaman daging babi. “Tuhfatul Al-Maudud, hal. 158-159.
Dari sini, maka para ulama’ rahimahumullah berbeda pendapat tentang hukum khitan.
Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Pendapat yang terdekat adalah ia adalah wajib bagi lelaki dan sunnah bagi para wanita. Sisi pembeda diantara keduanya adalah. Bagi lelaki ada kebaikan yang akan kembali dari syarat diantara syarat-syarat shalat yaitu bersuci. Karena kulit (kulup) ini masih ada, kalau air seni itu keluar dari lubang kulup (masih) tetap ada dan terkumpul. Sehingga menjadi sebab adanya pembengkakan setiap kali bergerak, atau sulit keluarnya air seni dan hal itu menjadikan najis.
Sementara bagi wanita, faedah yang paling maksimal adalah mengurangi syahwatnya. Dan ini untuk kesempurnaan bukan menghilangkan sakit. “As-Syarkhu Al-Mumti’ (1/133, 134).
Ini adalah madzhab Imam Ahmad rahimahullah. Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan dalam ‘Al-Mugni (1/15): “Sementara khitan itu wajib bagi lelaki. Dan suatu kehormatan bagi para wanita. Tidak wajib baginya.”
3. Tempatnya
Ibnu Qoyyib rahimahullah mengatakan, “Abu Barokat mengatakan dalam kitabnya ‘Al-Ghoyah’: “Pada khitan lelaki diambil kulit kulupnya. Kalau sekiranya mengambil lebih banyak (kulitnya) tidak mengapa. Dianjurkan ketika mengkhitan anak wanita agar tidak seluruhnya. Diceritakan dari Umar beliau mengatakan untuk wanita yang dikhitan, “Biarkan sedikit (dagingnya) ketika mengkhitan. Al-Khollal mengatakan dalam kitab ‘Jami’ disebutkan apa yang dipotong dalam berkhitan, saya diberitahu Muhammad bin Husain bahwa Fadl bin Ziyad memberitahukan kepada mereka dan mengatakan, “Ahmad ditanya, “Berapa (batasan) dalam berkhitan? Beliau menjawab, “Sampai kelihatan ujung kemaluannya.” Kata ‘الحشفة " adalah ujung kemaluan, sebagaimana yang disebutkan dalam lisanul arab, (9/47).
Ibnu Sobbag mengatakan dalam ‘As-Syamil’: “Yang wajib bagi lelaki adalah memotong kulit yang ada di kulup sampai kelihatan semuanya. Sementara wanita, dipotong daging seperti jambul ayam jantan di bagian atas kemaluan diantara dua katup, kalau dipotong, maka akan tetap (masih ada) aslinya seperti bijian.
Nawawi rahimahullah mengatakan, “Yang kuat dan terkenal bahwa harus memotong semua (kulit) yang menutupi kulupnya.” Selesai ‘Al-Majmu’ (1/351).
Al-Juwaini mengatakan, “Batasan yang tepat bagi para wanita, apa yang sesuai dengan penamaannya. Beliau berkata, “Dalam hadits ada yang menunjukkan perintah untuk menyedikitkan (dalam memotong). Berkata, “Potong sedikit dan jangan dipotong semuanya. Maksudnya biarkan tempat yang agak menonjol. ‘Tuhfatul Maudud, (190-192).
Kesimpulannya bahwa dalam mengkhitan lelaki adalah memotong semua kulit yang menutupi kulup. Dalam mengkhitan wanita, memotong bagian dari kulit yang seperti jambul ayam jantan yang ada di atas kemaluan.
4. Hikmah diperintahkan berkhitan
Sementara bagi lelaki, karena tidak memungkinkan bersuci dari kencing kecuali dengan berkhitan. Karena sisa air seni berkumpul di bawah kulit (kemaluan), maka tidak aman ketika keluar, sehingga pakaian dan badannya menjadi najis. Oleh karena itu biasanya Abdullah bin Abbas radhiallahu’anhuma sangat ketat terkait dengan masalah khitan. Imam Ahmad mengatakan, “Dahulu Ibnu Umar sangat ketat dalam masalah ini. Diriwayatkan darinya, dia tidak diperbolehkan berhaji dan shalat. Maksudnya kalau dia belum berkhitan. Selesai ‘Al-Mgni, (1/115).
Sementara hikmah khitan bagi wanita, agar seimbang syahwatnya sehingga menjadi pertengahan. Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah ditanya tentang wanita, apakah dia dikhitan atau tidak?
Maka beliau menjawab, “Alhamdulillah, ya dikhitan. Dan khitannya adalah memotong kulit atas seperti jambul ayam jantan. Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam bersabda bagi wanita yang dikhitan:
(أشمي ولا تنهكي ، فإنه أبهى للوجه ، وأحظى لها عند الزوج)
“Potonglah sedikit dan jangan dipotong semuanya, karena ia lebih memancarkan diwajah dan lebih nikmat bagi suaminya.”
Maksudnya jangan berlebih-lebihan dalam memotong. Hal itu karena maksud khitan bagi lelaki adalah membersihkan najis yang tertahan di kulup. Sementara maksud dari khitan wanita adalah agar menyeimbangkan syahwatnya. Karena kalau dia belum dikhitan, maka kuat syahwatnya. Sehingga dikatakan kepada wanita yang belum berkhitan, “Wahai wanita yang belum dikhitan, sesungguhnya wanita yang belum dikhitan itu lebih sering mencari lelaki. Oleh karena itu, didapati kefakhisan (kerusakan) pada wanita Tartar dan wanita kulit sawo (asing) lebih banyak dibandingkan dengan wanita muslimah. Kalau terlalu berlebihan ketika menghkhitannya, maka syahwatnya melemah, sehingga tidak sempurna keinginan suami. Kalau dipotong tidak berlebihan, maka didapatkan keinginannya (syahwatnya) secara seimbang. Wallahu’alam.
Majmu’ Al-Fatawa, (21/114).
5. Diperbolehkan membayar uang kepada tukang khitan.
Ibnu Qudamah mengatakan, “Diperbolehkan menyewa untuk berkhitan dan berobat. Kami tidak dapati perbedaan akan hal itu. Karena ia adalah pekerjaan yang dibutuhkan dan diizinkan oleh agama. Maka diperbolehkan menyewanya sebagaimana pekerjaan mubah lainnya. ‘Al-Mugni, (5/314).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar