Kesedihan dan kegalauan hatinya, bukan karena banyaknya masalah rakyat yang sudah pasti membuatnya letih. Kali ini Umar justru tengah khawatir memikirkan kondisi dirinya sendiri. “Aku sedang dihinggapi ketakutan, jika sekiranya aku melakukan kemungkaran, lalu tidak ada orang yang mengingatkan dan melarangku melakukanya, karena segan dan rasa hormatnya padaku,” ujar Umar pelan. Sahabat Khudzaifah segera menjawab, “Demi Allah, jika aku melihatmu keluar dari kebenaran, aku pasti akan mencegahmu.” Seketika itu, Wajah Umar bin Khattab langsung berubah ceria. Keluhuran dan kenegarawanan laku kepemimpinan Khalifah Umar ini patut di teladani oleh pemimpin kita hari ini. Bahwa kritik itu bukan menjadi problema, tapi kritik adalah penjaga atau pengontrol agar kekuasaan tidak bakal bertumbuh mencakar langit. Untuk itu pemimpin harus bersahabat dengan kritik. Yang menjadi problema justru ketika rakyat tidak berani melancarkan kritik terhadap kekuasaan.
Karena ketika terjadi sumbatan komunikasi sebagai dampak dari tunakuasa yang dialami oleh rakyat, maka bisa berakibat fatal (terjadi kekacuan sosial). Sebagaimana yang terjadi pada rezim despostis orde baru. Tapi bandingkan dengan pemimpin kita—kini dan disini—dimana ruang kritik bagi publik disumbat dengan pelbagai cara. Bahkan kritik cendrung diposisikan sebagai wujud pembangkangan terhadap kekuasaan. Penguasa lebih nyaman dengan sanjungan dan pujian, walaupun ia sadar bahwa sanjungan dan pujian tersebut jauh dari nilai kemaslahatan. Untuk itu, sudah seyogianya kita semua terutama para pemimpin untuk secara sadar dan sungguh-sungguh belajar memetik kearifan dan kebajikan dari kisah penuh makna Khalifah Umar bin Khattab ini. Semoga. Muhammad Hamka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar