Hadits Nabi saw tentang kondisi manusia; "Kedua kaki seorang hamba tidak akan bergeser pada hari kiamat sehingga ditanya tentang empat perkara: tentang umurnya, untuk apa dihabiskannya, tentang masa mudanya, digunakan untuk apa, tentang hartanya, dari mana diperoleh dan kemana dihabiskan, dan tentang ilmunya, apa yang dilakukan dengan ilmunya itu." (HR. Tirmidzi).

Selasa, 06 Agustus 2013

Belajar Keihlasan dari “Sang Pedang Allah” (2)

Oleh: Shalih Hasyim

Lanjutan tulisan sebelumnya..

Al Hasan meriwayatkan bahwa pada suatu hari Ibnu Masud keluar dari rumahnya, lantas beberapa orang berjalan di belakangnya (mengikutinya). Maka ia menoleh kepada mereka seraya berkata: Kenapa kalian mengikutiku? Demi Allah, andai kalian mengetahui apa yang kurahasiakan, tentu tiada dua orang pun dari kaian yang mau mengikutiku.

Al Hasan berkata, “Sesungguhnya suara sandal di sekitar orang dapat menggoyahkan hati orang yang bodoh.” Pada suatu hari Al Hasan keluar dari rumah, lantas diikuti oleh banyak orang. Maka ia berkata kepada mereka,”Apakah kalian mempunyai suatu keperluan? Bila tidak ada keperluan maka bukankah hal ini dapat menjadikan hati orang beriman berbelok dari arah yang lurus?”
Abu Ayyub As-Sikhtiyani keluar untuk melakukan sebuah perjalanan, lalu beberapa orang mengikuti dari belakangnya. Maka ia berkata, ”Andai aku tidak mengetahui bahwa Allah mengetahui hatiku membenci hal ini, tentu aku takut kemurkaan Allah Subhanahu Wata’ala.”

Ibnu Masud berkata, ”Jadilah kalian sebagai sumber mata air ilmu, lampu-lampu (cahaya) petunjuk, yang menetap di rumah-rumah, pelita di waktu malam yang hatinya selalu baru, dan yang kusut pakaiannya. (Jadilah kalian) orang yang dikenal oleh penduduk langit, tetapi tersembunyi dari penduduk bumi.”

Fudhail bin ‘Iyadh pernah berkata, ”Bila kamu mampu menjadi orang yang tidak di kenal, maka lakukanlah. Sebab apa kerugianmu bila kamu tidak dikenal? Apa kerugianmu bila tidak dipuji? Dan apa kerugianmu bila kamu menjadi orang yang tercela di hadapan manusia, tetapi terpuji di hadapan Allah?”

Riwayat-riwayat di atas jangan dipahami secara sempit dan sepotong-sepotong. Bukan dipahami sebagai seruan untuk ‘uzlah (mengisolir diri), sebab orang-orang yang meriwayatkan kisah-kisah di atas adalah tokoh-tokoh dai yang terjun di lapangan kehidupan, bergaul dengan masyarakat, para pemandu kebaikan yang memiliki pengaruh yang signifikan dalam memberikan arahan dan bimbingan di tengah-tengah masyarakat.

Akan tetapi secara keseluruhan harus dipahami sebagai kewaspadaan, terhadap syahwat jiwa yang tersembunyi, dan kehati-hatian terhadap pntu-pintu dan jendela-jendela yang dapat dilalui setan menembus hati nurani.

Pada prinsipnya popularitas itu bukan suatu hal yang tercela, sebab tiada yang lebih terkenal melebihi dari para Nabi dan Khulafaur Rasyidin. Karena itu, ketenaran yang tidak dipaksakan (tidak disengaja) dan bukan didasari oleh ambisi, tidak dipandang sebagai suatu cacat.

Imam Al Ghazali pernah mengatakan, ”(Ketenaran itu) fitnah bagi orang-orang yang lemah (keimanan), dan tidak demikian bagi orang-orang yang kuat (keyakinannya kepada Allah Subhanahu Wata’ala).

Kedua : Orang yang ikhlas selalu menuduh dirinya teledor dalam menunaikan hak-hak Allah Subhanahu Wata’ala dan teledor dalam melakukan berbagai kewajiban. Hatinya tidak dirasuki oleh perasaan ghurur (terpedaya) dan kekaguman terhadap diri sendiri, bahkan ia selalu takut jika kesalahan-kesalahannya tidak diampuni, dan amal shalihnya tidak diterima oleh Allah.

Dahulu, sebagian orang shalih menangis pilu saat sedang sakit, lalu sebagian orang menjenguknya dan bertanya, “Mengapa engkau menangis? Padahal engkau ahli puasa dan shalat malam, engkau telah berjihad, bersedekah, berhaji, mengajarkan ilmu, dan berdzikir. Ia menjawab: Siapa yang dapat menjamin bahwa itu semua memperberat timbangan amal baikku, dan siapa yang menjamin bahwa amalku di terima di sisi Tuhanku ?. Sedangkan Allah SWT berfirman :

وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ ابْنَيْ آدَمَ بِالْحَقِّ إِذْ قَرَّبَا قُرْبَاناً فَتُقُبِّلَ مِن أَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ الآخَرِ قَالَ لَأَقْتُلَنَّكَ قَالَ إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ

“Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan korban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). ia berkata (Qabil): "Aku pasti membunuhmu!". berkata Habil : "Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa." (QS. Al Maidah (5) : 27).

At Tirmidzi meriwayatkan bahwa Aisyah ra berkata; “Saya bertanya kepada Rasulullah tentang ayat :

وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوا وَّقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ

“Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) Sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka.” (QS. Al Mukminun (23) : 60)

Maksudnya : karena tahu bahwa mereka akan kembali kepada Tuhan untuk dihisab, maka mereka khawatir kalau-kalau pemberian-pemberian (sedekah-sedekah) yang mereka berikan, dan amal ibadah yang mereka kerjakan itu tidak diterima tuhan.

Aisyah berkata : Apakah mereka itu orang yang meminum khamar dan mencuri ?. Rasulullah SAW menjawab : Tidak, wahai putri Abu Bakar Ash Shiddiq. Mereka adalah orang-orang yang berpuasa, shalat, dan bersedekah. Tetapi, mereka takut kalau amal mereka tidak diterima (oleh Allah SWT). Mereka inilah orang-orang yang bersegera menuju kepada berbagai kebajikan.

Ketiga : Orang yang tulus lebih mencintai amal yang tersembunyi daripada amal yang diliputi oleh hiruk-pikuk publikasi dan gaung ketenaran.

Ia lebih mengutamakan menjadi seperti akar pohon dalam suatu jamaah, akar itulah yang menjadikan pohon tegak dan hidup, akan tetapi ia tersembunyi di dalam tanah, tidak terlihat oleh mata manusia. Ia ingin seperti binatang penyu. Jika ia bertelur di tempat yang sepi, dapat menghasilkan 500-3000 buah.

Dari Umar bin Khathab ra pada suatu hari ia keluar menuju masjid Rasulullah tiba-tiba ia menjumpai Mu’adz bin Jabal ra yang sedang duduk dan menangis di dekat makam Nabi. Maka Umar bertanya kepadanya; “Apa yang menyebabkanmu menangis? Mu’adz menjawab: Saya menangis karena (ingat) sesuatu yang aku dengar dari Rasulullah. Saya mendengar Rasulullah bersabda: Sesungguhnya riya’ (beramal karena mencari pujian manusia) yang sangat kecil itu termasuk kemusyrikan. Dan sesungguhnya barangsiapa yang memusuhi wali Allah, maka berarti menantang perang dengan Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang baik, yang bertakwa, dan tersembunyi. Yaitu orang-orang yang bila tidak ada, tidak dicari, dan bila sedang hadir tidak dipanggil dan tidak dikenal. Hati mereka adalah lampu-lampu (cahaya) penerang. Mereka keluar dari malam yang gelap gulita.” (HR. Ibnu Majah).

Keempat: Amalnya ketika memimpin dan saat menjadi anggota tidak berbeda, selama keduanya masih dalam rangka memberikan pelayanan pada gerakan dakwah. Hatinya tidak dirasuki suka tampil, selalu ingin di depan, selalu ingin number one, dan ambisi kepemimpinan, bahkan orang yang hatinya bersih lebih mengutamakan menjadi anggota biasa, karena khawatir tidak dapat menunaikan kewajiban-kewajiban dan tanggung jawab kepemimpinannya. Dengan kata lain, orang ikhlas tidak ambisius terhadap jabatan untuk dirinya, tetapi jika diberi amanah, ia menerimanya dengan penuh tanggung jawab dan memohon pertolongan kepada Allah.

Kelima: Tidak menggubris keridhaan manusia, bila dibalik itu terdapat kemurkaan Allah. Sebab tabiat manusia berbeda-beda. Demikian pula cara berpikirnya, kecenderungannya, dan tujuan-tujuannya.Upaya mencari keridhaan mereka adalah batas yang mustahil dapat dicapai. Orang yang ikhlas tidak disibukkan oleh hal-hal yang sepele itu. Ia tenang, kontak batin dengan Allah. Seperti ahli syair yang mengungkapkan kecintaannya kepada Allah.

Dengan-MU ada kelezatan meski hidup terasa pahit

Kuharapkan ridha-MU meski seluruh manusia marah

Kuharapkan hubunganku dengan-MU tetap harmonis

Meski hubunganku dengan seluruh alam berantakan

Bila cinta-MU kudapatkan, semua akan terasa ringan

Sebab, semua yang diatas tanah adalah tanah belaka.

Keenam: Kemurkaan dan keridhaannya, keengganan dan kesukaannya untuk memberi didasari karena Allah dan dalam timbangan agama. Bukan untuk kepentingan dirinya sendiri. Orang ikhlas tidak seperti orang munafik yang hanya meraih kepentingan pribadi.

“Dan di antara mereka ada orang yang mencelamu tentang (distribusi) zakat; jika mereka diberi sebahagian dari padanya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebahagian dari padanya, dengan serta merta mereka menjadi marah.” (QS. At Taubah (9) : 58).

Kita dapat melihat orang yang berguguran di medan perjuangan karena memknai berjuang (mencari baju dan uang), atau dicela oleh saudaranya, teman dekatnya dan kerabatnya. Atau mendengarkan kata-kata yang melukai dan menyakiti perasaannya.

Keikhlasan niat menjadikan seseorang tetap teguh, konsisten, komitmen di jalan perjuangan, sekalipun parah kerusakan yang ada di dalam barisan dakwah, karena ia beramal hanya untuk Allah SWT. Bukan untuk kepentingan dirinya dan orang-orang terdekatnya. Dakwah adalah milik Allah SWT bukan milik seseorang. Maka orang yang ikhlas tidak meninggalkan perjuangan hanya karena sikap seseorang.

Ketujuh : Orang yang ikhlas tidak stagnan, jenuh, malas, berputus asa, karena panjangnya jalan yang akan dilalui, lamanya waktu memanen buah amal, tertundanya keberhasilan, banyaknya cita rasa dan kecenderungan. Sebab, ia beramal bukan semata-mata mencari kesuksesan, atau kemenangan. Akan tetapi ia beramal untuk mencari ridha Allah. Dan menjalankan perintah-Nya.

Pada suatu hari nanti, Allah tidak akan menanyakan kepada manusia, Mengapa kalian tidak memperoleh kemenangan ? Akan tetapi Allah akan bertanya, Mengapa kalian tidak berjihad? Allah SWT tidak menanyakan, Mengapa kalian tidak sukses? Tetapi, Ia bertanya, Mengapa kalian tidak beramal?

Kedelapan : Bergembira dengan munculnya orang-orang yang berprestasi di dalam barisan dakwah, yang dapat mengibarkan bendera jihad serta berpartisipasi di dalamnya. Ia memberi kesempatan yang seluas-luasnya kepada setiap orang yang berbakat untuk menggantikan posisinya, tanpa sedikitpun menghalang-halangi, tanpa ada rasa keberatan, kedengkian. Bahkan orang yang ikhlas akan legowo (ridha) meninggalkan posisinya, bila ada orang lain yang lebih baik dan lebih kompeten untuk kedudukannya itu. Ia mempersilahkan orang tersebut maju, dan ia akan mundur dengan senang hati.*

Penulis kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Kudus

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri yang Diunggulkan

MENJUAL AGAMA PADA PENGUASA DISIFATI ANJING DALAM AL QURAN

Pemimpin/Ulama adalah cermin dari umat atau rakyat yang dipimpinnya. Definisi Ulama (wikipedia) adalah pemuka agama atau pemimpin agama ...

Popular Post