Intuisi—pada tingkat kebenaran yang lebih tinggi—tidak datang pada sembarang orang. Ia adalah nur (cahaya) yang Allah Subhanahu Wata’ala pancarkan pada sebagian hambanya
Oleh: Amin Hasan
SELAMA ini, proses pengetahuan dalam memperoleh kebenaran dan ilmu diakui telah terhegemoni oleh epistemologi Barat modern. Standar rasio dan empiris yang bersifat positivistik, dalam artian harus dapat dirasionalkan dan dibuktikan (verification) secara empiris melalui panca indera menjadi ukuran ilmiah bagi mereka. Mereka menyangkal dan bahkan menolak intuisi sebagai sumber dan metode ilmu yang sah hanya karena, proses pengetahuan melalui intuisi ini tidak dapat dibuktikan secara empiris melalui panca indera dan tidak melalui proses penalaran berpikir tertentu. Akibatnya, sumber kebenaran melalui intuisi inipun kemudian dianggap tidak ilmiah. Tegasnya, Barat selama ini telah membatasi sumber ilmu dan kebenaran hanya pada rasio dan empiris saja. Berdasarkan hal tersebut, maka tulisan ini bermaksud untuk melihat secara lebih dekat mengenai intuisi di atas.
Makna Intuisi
Intuisi, atau yang dalam istilah teknisnya disebut hads merupakan pemahaman yang diperoleh secara langsung, tanpa perantara, tanpa rentetan dalil dan susunan kata, serta tanpa melalui langkah-langkah logika satu demi satu. (baca: Mausu’ah Mushthalahat al-Imam al-Ghazali) Ia semata-mata diberikan oleh Allah Subhanahu Wata’ala sebagai karunia-Nya kepada manusia. Artinya, ilmu ini diperoleh dari peng-ilham-an yang disebut dengan ilmu ladunni, yakni ilmu yang di dalam memperolehnya, tidak ada perantara—yang menghubungkan—antara jiwa dan Pencipta. Ia adalah aliran cahaya ilham yang terjadi setelah jiwa mengalami penyempurnaan (taswiyyah). Oleh sebab itu, seseorang yang sampai pada martabat ilmu ladunni ini tidak memerlukan banyak belajar dan menderita kelelahan dalam proses pembelajaran. (baca: Al-Risalah Al-Laduniyyah). Ia diterima melalui pandangan batinnya atau rasa ruhaninya, yakni dzauq (ذوق), yang dialaminya secara langsung akibat penyingkapan hijab yang menyelubungi alam hakiki kandungan ilmu, yakni kasyf (كشف). Dengan kata lain, dzauq-lah yang menerima ilham dari Tuhan. Ia berperan sebagai daya tangkap yang sekaligus merasakan kehadiran yang ditangkap. Ia berhubungan dengan qalb, sebab qalb selain sebagai esensi, juga sebagai salah satu alat dalam jiwa manusia yang berfungsi untuk memperoleh ilmu.
Selain itu, intuisi atau hads juga merupakan pemahaman langsung akan kebenaran-kebenaran agama, realitas dan eksistensi Tuhan. Bahkan dalam tingkatannya yang lebih tinggi, intuisi adalah intuisi terhadap eksistensi itu sendiri. Dengan kata lain, ketika dengan intuisi yang lebih tinggi orang menemukan wujudnya suatu realitas, “penemuan” eksistensi realitas inilah yang disebut wijdan (‘irfan), yang sebelumnya telah dikatakan mengacu kepada intuisi eksistensi. (baca; Prolegomena to the Metaphysics of Islam: An Exposition of the Fundamental Elements of the Worldview of Islam)
Berkenaan dengan intuisi pada tingkat-tingkat kebenaran yang lebih tinggi, intuisi tidak datang pada sembarang orang, tetapi datang pada orang yang telah mempersiapkan diri untuk itu. Ia datang pada orang yang merenungkan secara terus menerus hakekat realitas ini.
Pemahaman langsung dan seketika yang disebutkan di atas terjadi ketika ia berada dalam keadaan baka dalam Tuhan, yaitu ketika ia memperoleh kediriannya yang lebih tinggi. Artinya, sebagai pengenalan yang merujuk kepada diri manusia khususnya dan kepada alam hakiki dan Tuhan Yang Hak, maka ilmu ini hanyalah dapat mungkin diterima oleh manusia dengan daya usaha amal-ibadah serta kesucian hidupnya—yakni dengan ke-ihsan-annya.
Makna dan Pengalaman Intuisi
Dalam kajian epistemologi Islam, intuisi menjadi salah satu sumber ilmu dan kebenaran sebagaimana halnya rasio dan empiris. Bahkan intuisi ini lebih tinggi kedudukannya daripada ilmu yang notabene diperoleh melalui proses penalaran dan penginderaan. Kebenaran yang dicapai melalui intuisi metodenya memang tidak bisa dibuktikan secara rasional maupun empiris. Akan tetapi, hasil dari kebenaran intuisi tersebut dapat dibuktikan secara rasional sekaligus empiris. Artinya, banyak orang yang memperoleh pengetahuan yang mendalam secara intuitif yang kemudian terbukti benar. Oleh karena itu, Bergson mengatakan bahwa intuisi sebenarnya bersifat intelektual dan sekaligus supra-intelektual, dimana pengetahuan supra-intelektual tersebut akan dapat mencapai pengetahuan dan kesadaran diri pada hal-hal yang paling vital, elan vital. Sementara bagi Nietzsche intuisi merupakan inteligensi yang paling tinggi, dan bagi Maslow intuisi merupakan pengalaman puncak (peak experience).
Mengenai makna dan pengalaman intuisi itu sendiri, perjalanan intelektual dan spiritual Al-Ghazali—barangkali—dalam hal ini bisa kita jadikan sebagai studi kasus. Sebab, di tangan Al-Ghazali-lah proses pengetahuan dalam mencapai kebenaran melalui jalan intuisi sebagai bagian dari kerja intelekual dalam dunia tasawuf dapat dijelaskan dengan baik. Al-Ghazali mampu membuka cakrawala dengan memadukan antara intuisi, teks/wahyu, dan akal sekaligus.
Ringkasnya, melalui intuisi Al-Ghazali menunjukkan sumber ilmu dan kebenaran yang alternatif bagi kemanusiaan dan kehidupan.
Sebagaimana diketahui—dalam Al-Munqidz min al-Dlalal—Al-Ghazali hidup pada masa di mana masyarakat sedang mengalami krisis akidah telah membawanya kepada satu keyakinan penuh akan kebenaran yang sesungguhnya. Sebelumnya, ia sempat menderita penyakit syak (keragu-raguan) terhadap alam fisika dan ilmu-ilmu pasti. Namun, Allah Subhanahu Wata’ala menyembuhkannya dari penyakit syak-nya itu di bawah cahaya (nur) petunjuk-Nya, yang Allah pancarkan ke dalam dada hingga jiwanya pun kembali sehat dan stabil. Cahaya itu terpancar dari kemurahan Tuhan pada sebagian makhluk hidup sehingga harus dinanti-nantikan. Cahaya tersebut tidak dapat ditangkap secara inderawi, namun dari cahaya itulah hendaknya dicari kasyf, karena ia adalah kunci sebagian besar pengetahuan (ma’rifah). Oleh karenanya, barangsiapa yang mengira bahwa kasyf (tersingkapnya pengetahuan tentang hakikat kebenaran) hanya bergantung pada dalil-dalil an sich, maka berarti ia telah mempersempit rahmat Allah Subhanahu Wata’ala yang maha luas.
Cahaya (nur) yang dimaksud di sini adalah penyingkapan jiwa dengan hads dari berbagai kepastian dan hakekat yang utama. Dengan jelas Al-Ghazali mengatakan bahwa hads inilah yang merupakan kunci sebagian besar pengetahuan, sebab, prinsip-prinsip dan hukum-hukum yang tidak dapat dipahami lewat rentetan dalil dan susunan kata, dapat dipahami lewat hads, yakni hadir di dalam hati; hadir di sini sebagaimana dikatakan olehnya, apabila dicari ia hilang dan bersembunyi. Ia semata-mata seperti pancaran cahaya dari lampu kegaiban yang diarahkan pada kalbu yang jernih, kosong, dan lembut (baca: Al-Risalah Al-Laduniyyah). Ia hanya bisa diperoleh melalui dzauq (wijdan atau ‘irfan). (Misykat al-Anwar)
Al-Ghazali mengumpamakan dzauq adalah seperti melihat dan mengambil dengan tangan dan tidak didapat kecuali pada jalan tasawuf (sufisme). Barangsiapa yang tidak dikaruniai dzauq sedikitpun, maka dia tidak akan memahami hakikat nubuwwah (kenabian), yakni satu tahap yang dengannya terbentuk mata yang mempunyai cahaya (nur) yang mampu menembus hal gaib dan perkara-perkara yang tidak terjangkau akal.
Oleh karena itu—dalam hal intuisi—datang pada orang yang telah siap dan mempersiapkan diri untuk itu. Tentu, di sini memerlukan proses ‘khusus’ yang tidak sebentar, dan proses ‘khusus’ ini tidak bisa ditempuh kecuali hanya pada jalan tasawuf, yakni dengan mangamalkan sebagaimana seorang sufi amalkan. Seperti halnya yang dilakukan Al-Ghazali, yakni ketika berada di jalan sufisme, ia terus berusaha untuk melakukan segala pekerjaannya semata-mata hanya karena Allah Subhanahu Wata’ala, bukan atas dasar motivasi demi mencari kedudukan dan menyebarkan nama baik. Ia pun tidak menyibukkan diri kecuali hanya untuk uzlah dan khalwat serta mujahadah, yaitu dengan kesibukan menyucikan diri, memperbaiki akhlak, dan menjernihkan hati untuk mengingat Allah Subhanahu Wata’ala.
Al-Ghazali melakukan uzlah juga karena untuk ber-khalwat dan menjernihkan hati untuk berzikir kepada Allah. Al-Ghazali melakukan ini semua karena ia mengetahui secara yakin bahwa kaum sufi-lah para penempuh jalan Allah, perjalanan mereka adalah perjalanan terbaik, metode mereka sangat benar, dan akhlak mereka pun merupakan akhlak paling terpuji. Ia benar-benar belum pernah kagum melebihi kekagumannya terhadap tarekat sufisme.
Menurutnya, seluruh gerak dan diam mereka (para sufi), pada zahir maupun batin mereka, adalah diambil dari cahaya pelita nubuwwah (kenabian), dan tidak ada sesudah cahaya kenabian di muka bumi ini cahaya yang dapat dijadikan petunjuk. Melalui sarana ar-ruh al-qudsy al-nabawy inilah maka tersebarlah cahaya-cahaya ilmu pengetahuan ke dunia ciptaan ini. Al-Ghazali mengatakan, bahwa tersingkaplah—di tengah-tengah khalwat yang ia lakukan—berbagai perkara yang tidak bisa dihitung dan tidak bisa diselami kedalamannya.
Tentu, dalam hal ini intuisi datang pada orang yang telah menjalani hidupnya dengan pemahaman langsung akan kebenaran-kebenaran agama, realitas dan eksistensi Tuhan, melalui praktik pengabdian kepada Tuhan secara ikhlas. Inilah yang dimaksud dengan intuisi dengan pemerolehan ilmu diperingkat yang tinggi, yaitu diperingkat istimewa yang hanya dialami oleh orang-orang tertentu (khawwas atau khawwas al-khawwas), di mana sampainya ilmu merupakan proses yang cepat dan langsung tanpa batas-batas subjek-objek, partikular-partikular, dan keberagaman pada aspek eksternal manusia. Intuisi ini merupakan kondisi ihsan bagi kalangan Sufi. Mengenai hakekat intuisi ini, Al-Attas mengatakan bahwa ilmu itu adalah “the arrival of meaning in the soul as well as the soul’s arrival at meaning”, yakni “sampainya makna ke dalam diri’, atau “sampainya diri ke dalam makna”. (baca: Prolegomena to the Metaphysics of Islam: An Exposition of the Fundamental Elements of the Worldview of Islam)
Oleh Karena itu, pengetahuan intuitif diyakini sebagai pengetahuan bathin terutama tentang Tuhan. Istilah ini sebenarnya digunakan tidak lain hanya untuk membedakannya dengan pengetahuan yang diperoleh melalui akal dan indera (sense, al-hissi). Artinya, pengetahuan tentang Tuhan (hakekat Tuhan) tidak dapat diketahui melalui bukti-bukti empiris-rasional, tetapi harus melalui pengalaman langsung. Dan satu-satunya sarana yang dapat digunakan untuk mengetahui hakekat Tuhan adalah jiwa (nafs), sebab ia merupakan bagian dari Tuhan yang terpancar dari alam keabadian dan terpasung ke alam dunia. Ia akan kembali kepada-Nya jika sudah bersih dan terbebas dari keterkungkungan alam dunia. Yang dimaksudkan dengan jiwa di sini adalah esensi yang sempurna dan tunggal yang tidak muncul selain dengan cara mengingat, menghapal, berpikir, membedakan, dan mempertimbangkan. Esensi ini adalah inti ruh dan kekuatan, dan jiwa-lah yang menjadi tempat ilmu sekaligus yang menerima seluruh ilmu. (baca: Al-Risalah al-Laduniyyah dan Mausu’ah Mushthalahat al-Imam al-Ghazali)
Demikianlah, bahwa intuisi—pada tingkat kebenaran yang lebih tinggi—tidak datang pada sembarang orang. Ia adalah nur (cahaya) yang Allah Subhanahu Wata’ala pancarkan pada sebagian hambanya. Sehingga ia datang kepada orang yang telah mempersiapkan diri untuk itu. Oleh karenanya, intuisi tidak terjadi begitu saja secara tiba-tiba, tetapi melalui proses panjang yang disebut dengan mujahadah dan riyadlah serta tafakur dan tadabbur. Semua proses tersebut merupakan upaya menuju ke arah proses pencerahan hati nurani agar bisa menangkap cahaya kebenaran (mukasyafah).*
Penulis adalah Alumni PKU-IV dan Sekarang Sedang Menempuh Program Magister
Pada Program Pasca Sarjana ISID-Gontor
Tidak ada komentar:
Posting Komentar