Wangsakerta Terlalu Pintar?
Judul Buku : Polemik Naskah Pangeran Wangsakerta Penyusun :Edi S. EkadjatiPenerbit : Pustaka Jaya, JakartaTahun terbit : 2005, JanuariTebal Buku : 307 halamanISBN : 979-419-329-1
Kangenes: Sunda ngan bati nalangsa, Hinis nurih kana ati, Kangenes taya anggeusna, Gudawang sapapanjangna, Pustaka dituding palsu, Meureun pareum cahayana, Sunda naha acan tanghi, Geura nyaring tina ngimpi, Ku naon bet kajongjonan, Bisina paeh nundutan, Pesat gobang kabuyutan, Tembonggkeun jatining diri
(Karya Yoseph Iskandar, hal. 220, bagian dari Tembang Cianjuran yang dipertunjukan pada waktu luang “Gotrasawala Pengkajian Naskah-naskah Kuna Jawa Barat” di Universitas Pasundan, Bandung 23 Desember 1989.
Atas informasi dari gurunya Prof. Dr. Ng. Poerbatjaraka awal tahun 1960-an, Drs. Atja menelusuri keberadaan naskah-naskah Cirebon pada awal tahun 1970-an. Apalagi Drs. Atja sedang mempersiapkan Museum Negeri Jawa Barat (kini Museum Sri Baduga) yang kemudian dipimpinnya beliau mencari bahan untuk koleksi museum. Dengan bantuan beberapa kolega dan dilakukan secara diam-diam untuk menghindari pemburu barang antik terutama dari luar negeri, maka akhirnya terkumpul naskah-naskah Pangeran Wangsakerta. Siapakah Pangeran Wangsakerta? Jika dirunut dari Sunan Gunung Jati beliau adalah keturunan keenam, putra Panembahan Girilaya. Kedua kakaknya adalah Sultan Sepuh dan Sultan Anom. Nama beliau tercatat dalam perjanjian antara Cirebon dengan Kompeni tertanggal 7 Januari 1681. Dalam catatan harian Kompeni (Dagh Register) Pangeran Wangsakerta tercatat sebagai keluarga Keraton Cirebon yang lembut, cerdas dan mempunyai kemampuan memimpin. Pada tahun 1677 di Keraton Kasepuhan diadakan gotrasawala semacam musyawarah atau seminar jaman sekarang ini. Tujuannya untuk menyusun sejarah kerajaan-kerajaan di Nusantara. Yang diundang adalah para ahli sejarah dari berbagai kerajaaan di Nusantara, bahkan ada perwakilan dari Trengganu, Malaka (Malaysia sekarang) dan Tumasik (Singapura). Juga dilengkapi penasihat ulama Islam dari Arab dan ulama Siwa dari India. Tidak hanya itu bahkan ada utusan dari negri-negri lain sebagai peninjau dan tidak mempunyai hak suara seperti dari Mesir, Arab, India , Srilangka, Benggala, Campa, Cina, dan Ujung Mendini (Semenanjung Malaysia). Penulisan sejarah ini merupakan amanat dari mendiang Panembahan Girilaya. Sebagai penanggung jawab/tuan rumah adalah Sultan Sepuh dan Sultan Anom, sedangkan ketua penulisan naskah adalah Pangeran Wangsakerta. Untuk menuliskan hasil dari gotrasawala itu membutuhkan waktu 22 tahun (1677-1698) dan hasilnya sbb.: Pustaka Rajyarajya I Bhumi Nusantara, dibagi ke dalam 5 parwa (bagian) dan berjumlah 25 sarga (jilid),Pustaka Pararatwan, dibagai ke dalam 6 parwa dan berjumlah 10 jilid, Pustaka Nagarakretabhumi berjumlah 12 jilid. Tebal jilid (naskah) bervariasi antara 100 sampai 250 halaman dan tiap halaman terdapat 21 sampai 23 baris ditulis dalam aksara Jawa-Cirebon di atas kertas daluang. Berbeda dengan naskah-naskah sejaman dan sebelumnya naskah-naskah ini rasional tidak bersifat legenda atau berupa mitologi. Layaknya sebuah hasil penelitian pada Pustaka Rajyarajya I Bhumi Nusantara parwa 5 sarga 5 terdapat katalog/daftar pustaka sebanyak 1703 yang pernah ada dan atau ditulis di Keraton Cirebon (hal. 17). Buku Polemik Naskah Pangeran Wangsakerta disusun dengan cermat dan berusaha menghindari pengulangan. Pemilihan makalah berjudul “Pangeran Wangsakerta Sebagai Sejarawan Abad Ke-17” oleh Drs. Saleh Danasasmita sebagai pembuka adalah tepat sekali. Makalah ini disajikan pada Seminar Kebudayaan Sunda tanggal 9-11 Maret 1989 di Lembang. Jika kita ingin mengetahui inti sari apa yang dihasilkan gotrasawala pada tahun 1677 terdapat dalam makalah ini (hal. 11-42). Jika kita belajar sejarah Jawa Barat di sekolah maka periode dimulai dengan Kerajaan Tarumanagara (abad ke-5 M) dan rajanya yang terkenal Purnawarman, tetapi dalam Naskah Wangsakerta dimulai dengan Kerajaan Salakanagara tahun 130 M dengan rajanya yang pertama Dewawarman (130-168). Selain urutan Raja-raja di Jawa Barat secara lengkap dalam makalah ini disajikan pula lampiran Daftar Raja di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sriwijaya menurut Naskah Pangeran Wangsakerta. Bagian selanjutnya setelah makalah dari Drs. Saleh Danasasmita adalah makalah yang dikemukakan dalam Diskusi Panel Naskah Sumber Sejarah Kerajaan Tarumanagara. Penyelengggaranya Universitas Tarumanagara di Jakarta tanggal 16 September 1988. Penyaji adalah Drs. Atja dan Dr. Ayatrohaedi, sedangkan pembahas di antaranya Drs. Boechari, Prof. Dr. R. Soekmono, Prof. Dr. R.P. Soejono, Dr. J. Noorduyn, dan Drs. Uka Tjandrasasmita. Rumusan diskusi terdapat di hal. 102, tentu saja isinya normatif dan sopan, “Sampai saat ini naskah-naskah tersebut masih belum dapat dinyatakan sebagai sumber primer untuk penulisan sejarah”. Tentu di ruang diskusi kritikan dari para ahli sangat pedas. Setelah Diskusi Panel di Universitas Tarumanagara di beberapa media cetak timbul polemik mengenai naskah-naskah Pangeran Wangsakerta ini. Tuduhan palsu atau skandal ilmiah merebak. Ada yang meragukan kertas daluang yang digunakan bukan berasal dari abad ke-17, tetapi sesudahnya. Drs. Boechari dalam tulisannya di Suara Pembaharuan 9 Desember 1988 yang juga pembahas dalam Diskusi Panel seorang arkeolog dan ahli epigrafi berpendapat naskah-naskah Pangeran Wangsakerta ditulis setelah tahun 1960 dan tidak perlu diteliti lagi. Antara yang pro dan kontra bahkan menyentuh hal-hal pribadi lawan polemiknya. Ada pula yang meragukan bentuk aksaranya yang sengaja dikuno-kunokan. Hal ini dibantah ahli filologi Dr. Edi S. Ekajati, sebuah naskah kuno bisa saja merupakan reproduksi dari naskah aslinya, karena naskah aslinya rusak dan ini dapat saja dilakukan puluhan tahun atau ratusan tahun kemudian. Di lain pihak ada yang merasa ragu, apakah orang orang Nusantara abad ke-17 sudah mampu membuat karya tulis yang mirip metodenya dengan yang digunakan pada penelitian ilmiah sekarang ini?.. Selain itu keraguan muncul mengapa pihak Kompeni tidak mencatat pada Dagh Register mereka tentang berkumpulnya banyak orang dari berbagai negeri di Cirebon. Bagi orang Jawa Barat naskah-naskah Pangeran Wangsakerta menyajikan sejarah secara lengkap, betapa tidak yang dahulunya perpindahan dari kerajaan satu ke kerajaan lainnya atau urutan raja-raja seperti terputus kini utuh. Bahkan Yoseph Iskandar berani menyusun buku Sejarah Jawa Barat (1997) berdasarkan naskah-naskah ini, meskipun belum dianggap sumber primer. Drs. Atja, Drs. Saleh Danasasmita, Prof. Dr. Ayat Rohaedi, Prof. Dr. Edi S. Ekadjati, dan Drs. Yoseph Iskandar yang telah mengangkat naskah-naskah Pangeran Wangsakerta ke forum nasional dan publik semuanya telah meninggal dunia. Apakah naskah-naskah Pangeran Wangsakerta itu Palsu? Atau benar adanya? Ataukah nasibnya akan menggantung? Siapa lagi yang akan meneruskan penelitian? **** Pun sapun para luluhurPanata sa-NusantaraKula amit seja miangNgotektak naluktik buktiMustika nu masih samarNya Pusataka Wangsakerta (Karya Yoseph Iskandar, hal. 222, bagian dari Tembang Cianjuran yang dipertunjukan pada waktu luang “Gotrasawala Pengkajian Naskah-naskah Kuna Jawa Barat” di Universitas Pasundan, Bandung 23 Desember 1989.
Atas informasi dari gurunya Prof. Dr. Ng. Poerbatjaraka awal tahun 1960-an, Drs. Atja menelusuri keberadaan naskah-naskah Cirebon pada awal tahun 1970-an. Apalagi Drs. Atja sedang mempersiapkan Museum Negeri Jawa Barat (kini Museum Sri Baduga) yang kemudian dipimpinnya beliau mencari bahan untuk koleksi museum. Dengan bantuan beberapa kolega dan dilakukan secara diam-diam untuk menghindari pemburu barang antik terutama dari luar negeri, maka akhirnya terkumpul naskah-naskah Pangeran Wangsakerta. Siapakah Pangeran Wangsakerta? Jika dirunut dari Sunan Gunung Jati beliau adalah keturunan keenam, putra Panembahan Girilaya. Kedua kakaknya adalah Sultan Sepuh dan Sultan Anom. Nama beliau tercatat dalam perjanjian antara Cirebon dengan Kompeni tertanggal 7 Januari 1681. Dalam catatan harian Kompeni (Dagh Register) Pangeran Wangsakerta tercatat sebagai keluarga Keraton Cirebon yang lembut, cerdas dan mempunyai kemampuan memimpin. Pada tahun 1677 di Keraton Kasepuhan diadakan gotrasawala semacam musyawarah atau seminar jaman sekarang ini. Tujuannya untuk menyusun sejarah kerajaan-kerajaan di Nusantara. Yang diundang adalah para ahli sejarah dari berbagai kerajaaan di Nusantara, bahkan ada perwakilan dari Trengganu, Malaka (Malaysia sekarang) dan Tumasik (Singapura). Juga dilengkapi penasihat ulama Islam dari Arab dan ulama Siwa dari India. Tidak hanya itu bahkan ada utusan dari negri-negri lain sebagai peninjau dan tidak mempunyai hak suara seperti dari Mesir, Arab, India , Srilangka, Benggala, Campa, Cina, dan Ujung Mendini (Semenanjung Malaysia). Penulisan sejarah ini merupakan amanat dari mendiang Panembahan Girilaya. Sebagai penanggung jawab/tuan rumah adalah Sultan Sepuh dan Sultan Anom, sedangkan ketua penulisan naskah adalah Pangeran Wangsakerta. Untuk menuliskan hasil dari gotrasawala itu membutuhkan waktu 22 tahun (1677-1698) dan hasilnya sbb.: Pustaka Rajyarajya I Bhumi Nusantara, dibagi ke dalam 5 parwa (bagian) dan berjumlah 25 sarga (jilid),Pustaka Pararatwan, dibagai ke dalam 6 parwa dan berjumlah 10 jilid, Pustaka Nagarakretabhumi berjumlah 12 jilid. Tebal jilid (naskah) bervariasi antara 100 sampai 250 halaman dan tiap halaman terdapat 21 sampai 23 baris ditulis dalam aksara Jawa-Cirebon di atas kertas daluang. Berbeda dengan naskah-naskah sejaman dan sebelumnya naskah-naskah ini rasional tidak bersifat legenda atau berupa mitologi. Layaknya sebuah hasil penelitian pada Pustaka Rajyarajya I Bhumi Nusantara parwa 5 sarga 5 terdapat katalog/daftar pustaka sebanyak 1703 yang pernah ada dan atau ditulis di Keraton Cirebon (hal. 17). Buku Polemik Naskah Pangeran Wangsakerta disusun dengan cermat dan berusaha menghindari pengulangan. Pemilihan makalah berjudul “Pangeran Wangsakerta Sebagai Sejarawan Abad Ke-17” oleh Drs. Saleh Danasasmita sebagai pembuka adalah tepat sekali. Makalah ini disajikan pada Seminar Kebudayaan Sunda tanggal 9-11 Maret 1989 di Lembang. Jika kita ingin mengetahui inti sari apa yang dihasilkan gotrasawala pada tahun 1677 terdapat dalam makalah ini (hal. 11-42). Jika kita belajar sejarah Jawa Barat di sekolah maka periode dimulai dengan Kerajaan Tarumanagara (abad ke-5 M) dan rajanya yang terkenal Purnawarman, tetapi dalam Naskah Wangsakerta dimulai dengan Kerajaan Salakanagara tahun 130 M dengan rajanya yang pertama Dewawarman (130-168). Selain urutan Raja-raja di Jawa Barat secara lengkap dalam makalah ini disajikan pula lampiran Daftar Raja di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sriwijaya menurut Naskah Pangeran Wangsakerta. Bagian selanjutnya setelah makalah dari Drs. Saleh Danasasmita adalah makalah yang dikemukakan dalam Diskusi Panel Naskah Sumber Sejarah Kerajaan Tarumanagara. Penyelengggaranya Universitas Tarumanagara di Jakarta tanggal 16 September 1988. Penyaji adalah Drs. Atja dan Dr. Ayatrohaedi, sedangkan pembahas di antaranya Drs. Boechari, Prof. Dr. R. Soekmono, Prof. Dr. R.P. Soejono, Dr. J. Noorduyn, dan Drs. Uka Tjandrasasmita. Rumusan diskusi terdapat di hal. 102, tentu saja isinya normatif dan sopan, “Sampai saat ini naskah-naskah tersebut masih belum dapat dinyatakan sebagai sumber primer untuk penulisan sejarah”. Tentu di ruang diskusi kritikan dari para ahli sangat pedas. Setelah Diskusi Panel di Universitas Tarumanagara di beberapa media cetak timbul polemik mengenai naskah-naskah Pangeran Wangsakerta ini. Tuduhan palsu atau skandal ilmiah merebak. Ada yang meragukan kertas daluang yang digunakan bukan berasal dari abad ke-17, tetapi sesudahnya. Drs. Boechari dalam tulisannya di Suara Pembaharuan 9 Desember 1988 yang juga pembahas dalam Diskusi Panel seorang arkeolog dan ahli epigrafi berpendapat naskah-naskah Pangeran Wangsakerta ditulis setelah tahun 1960 dan tidak perlu diteliti lagi. Antara yang pro dan kontra bahkan menyentuh hal-hal pribadi lawan polemiknya. Ada pula yang meragukan bentuk aksaranya yang sengaja dikuno-kunokan. Hal ini dibantah ahli filologi Dr. Edi S. Ekajati, sebuah naskah kuno bisa saja merupakan reproduksi dari naskah aslinya, karena naskah aslinya rusak dan ini dapat saja dilakukan puluhan tahun atau ratusan tahun kemudian. Di lain pihak ada yang merasa ragu, apakah orang orang Nusantara abad ke-17 sudah mampu membuat karya tulis yang mirip metodenya dengan yang digunakan pada penelitian ilmiah sekarang ini?.. Selain itu keraguan muncul mengapa pihak Kompeni tidak mencatat pada Dagh Register mereka tentang berkumpulnya banyak orang dari berbagai negeri di Cirebon. Bagi orang Jawa Barat naskah-naskah Pangeran Wangsakerta menyajikan sejarah secara lengkap, betapa tidak yang dahulunya perpindahan dari kerajaan satu ke kerajaan lainnya atau urutan raja-raja seperti terputus kini utuh. Bahkan Yoseph Iskandar berani menyusun buku Sejarah Jawa Barat (1997) berdasarkan naskah-naskah ini, meskipun belum dianggap sumber primer. Drs. Atja, Drs. Saleh Danasasmita, Prof. Dr. Ayat Rohaedi, Prof. Dr. Edi S. Ekadjati, dan Drs. Yoseph Iskandar yang telah mengangkat naskah-naskah Pangeran Wangsakerta ke forum nasional dan publik semuanya telah meninggal dunia. Apakah naskah-naskah Pangeran Wangsakerta itu Palsu? Atau benar adanya? Ataukah nasibnya akan menggantung? Siapa lagi yang akan meneruskan penelitian? **** Pun sapun para luluhurPanata sa-NusantaraKula amit seja miangNgotektak naluktik buktiMustika nu masih samarNya Pusataka Wangsakerta (Karya Yoseph Iskandar, hal. 222, bagian dari Tembang Cianjuran yang dipertunjukan pada waktu luang “Gotrasawala Pengkajian Naskah-naskah Kuna Jawa Barat” di Universitas Pasundan, Bandung 23 Desember 1989.
Assalamu'alaikum
BalasHapusSaya seorang peneliti sejarah dari Kedah, Malaysia. Saya berminat untuk membeli naskah wangsakerta ini. Bagaimana cara memesannya? Harap saudari Rosalinda sudi membantu. Terima kasih.