Arab spring menjadi berkah tersendiri bagi kelompok jihad dan umat Islam. Beberapa pihak memandang revolusi tersebut sebagai kabar gembira bagi Barat, mereka menilai revolusi tersebut sebagai pertanda lahirnya demokratisasi di kawasan Timur Tengah. Namun sejatinya, sebagaimana yang disimpulkan oleh beberapa sosiologis Barat sendiri, demokrasi tidaklah cocok diterapkan di kawasan paling sarat konflik di dunia itu. Indikasi ini bisa dilihat di Libanon, negara yang paling mendekati sistem demokrasi di Timur Tengah. Huru-hara kepemimpinan dan konflik antar kelompok sering terjadi di sana. Mereka menyimpulkan bahwa bangsa Arab dan karakteristik sosial mereka hanya bisa dipimpin oleh kekuatan
Revolusi tersebut telah membuat para penguasa yang selama ini tidak tersentuh, imun dari segala macam kecaman dan kritikan, satu persatu terguling. Kepemimpinan diktator boneka Barat yang sudah berkuasa selama puluhan tahun kini mulai runtuh. Efek dari revolusi Arab pun bak bola salju, semakin hari semakin membesar. Masyarakat Arab mulai memecah hantu ketakutan mereka. Media mulai berani bicara dan memberitakan secara transparan. Saat rezim Ben Ali jatuh, teori keamanan tangan besi pun ikut runtuh. Saat rezim Mubarok jatuh, diskusi mengenai runtuhnya peranan Mesir dalam mendukung Barat di kawasan tersebut pun dimulai. Saat revolusi terjadi di Libya, ketakutan mulai melanda Eropa karena khawatir terjadi migrasi besar-besaran kelompok Jihad. Ketakutan juga melanda wilayah utara Afrika dengan derasnya aliran mujahidin dan senjata di wilayah tersebut. Yaman meledak, tak ketinggalan juga Suriah. Tak ada yang mampu menghadang laju dahsyat dari revolusi Arab ini, yang mulai melintasi batas-batas benua. Bahkan efeknya pun terasa sampai Eropa dan Israel, disaat masyarakat mereka mulai melakukan demo menuntut turunnya penguasa mereka karena ketidakpuasan atas kebijakan mereka.
Kondisi ini bagi beberapa analis dari kelompok jihad dianggap sebagai kondisi yang paling memungkinkan bagi rahim umat untuk melindungi embrio kekhilafahan. Kondisi yang baru pertama kali terjadi sejak runtuhnya khilafah pada tahun 1924.
Hal ini juga disadari oleh kelompok Kristen di Suriah, yang mendapat supply senjata dari Assad untuk memerangi kelompok perlawanan. “Yang terjadi di Aleppo bukanlah revolusi untuk demokrasi dan kebebasan. Para pejuang Free Syrian Army adalah para radikal Sunni yang ingin mendirikan negara Islam,” kata Abu George, salah seorang warga Kristen yang tinggal di Aleppo kepada GlobalPost.
Kekhawatiran yang sama kini juga mulai menjangkiti AS. Mereka khawatir revolusi Suriah akan menghasilkan kelompok Islam sebagai pemenang, memusnahkan impian mereka untuk membentuk Suriah menjadi sekuler dan pro-Barat. Salah seorang pejabat intelejen AS menjelaskan bahwa hal itulah yang menyebabkan mereka menahan diri dari memberikan bantuan militer kepada kelompok oposisi, yang diungkapkan dalam bahasa ‘masih berusaha mempelajari dan memahami persoalan dengan lebih baik’. Pemerintah AS berulangkali menolak memberikan bantuan senjata kepada pihak oposisi. Fakta ini membantah tuduhan bahwa kelompok oposisi mendapat bantuan senjata dari AS.
Pesan yang lebih jelas disampaikan Obama yang menyatakan bahwa, “Posisi kami sudah sangat jelas terhadap rezim Assad, dan juga pemain lain di lapangan, bahwa garis merah bagi kami adalah jika kami melihat senjata kimia sudah beredar atau dipergunakan.”
Pernyataan ini di satu sisi bisa menjadi lampu hijau bagi Assad untuk melakukan apapun yang mereka inginkan asal tidak menggunakan senjata kimia, dan di sisi lain juga menjadi peringatan dari Obama bagi “pemain lain di lapangan” atau kelompok oposisi bahwa AS mempunyai alasan untuk melakukan intervensi militer jika para oposisi tidak mau bekerjasama dan melayani kepentingan AS.
Terkait Suriah dan Yaman, ada yang istimewa dari kedua negara tersebut bagi perjuangan kelompok-kelompok Islam dalam usaha mereka mendirikan khilafah Islamiyyah ‘ala minhajin nubuwah yang dijanjikan itu.
Menurut Abdullah bin Muhammad dalam tulisannya “Valuable Collection for the Strategic Memorandum Series”, Syam, dimana Suriah juga termasuk di dalamnya, dan Yaman dipandang memenuhi kriteria sebagai starting pointbagi rencana pendirian khilafah. Kedua wilayah berada di titik vital jantung dunia Islam. Yaman secara teritorial dekat dengan Hijaz, dimana Mekah dan Madinah terletak di sana. Sedangkan Jerussalem terletak di Syam, yang meliputi Suriah, Yordania, Libanon, Palestina serta Sinai. Kedua wilayah tersebut juga memiliki air dan makanan, sehingga secara logistik mereka tercukupi. Secara karakteristik masyarakat, cukup dengan fakta bahwa penduduk Yaman dan Syam adalah yang paling banyak terlibat dalam kancah jihad. Mayoritas jihadis di Afghanistan adalah dari Yaman, dan tidak akan ada jihad di Irak tanpa orang-orang Syam. Lebih daripada itu, beberapa hadits nabi juga menjelaskan tentang keunggulan dari kedua bangsa tersebut.
Dari Abdullah bin Umar, Rasulullah saw bersabda, “Allah meletakkan Syam di depanku dan Yaman di belakangku, dan Dia berkata kepadaku, ‘wahai Muhammad, Aku letakkan di depanmu sebuah hadiah dan anugrah, dan di belakangmu sebagai penguat.” (HR. Bukhari, dicantumkan oleh Al-Albani dalam shahih al jami’).
Secara militer, penduduk dari kedua negeri tersebut adalah yang paling disiplin selama perang. Sudah dikenal sepanjang sejarah Islam bahwa pasukan adalah pasukan Syam, dan pendukung adalah dukungan dari Yaman.
Selain itu, secara geografis Yaman juga diuntungkan dengan supply mujahidin dari kawasan teluk Arab, Somalia, dan Sudan. Sedangkan Syam akan diuntungkan dengan kemungkinan supply pasukan dari Irak, Turki, Mesir, dan wilayah utara semenanjung Arab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar