Kisah ini disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu alayhi wasallam yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu anhu dan termaktub dalam Kitab Shahih Imam Muslim.
“Ada seseorang membeli ladang dari orang lain. Kemudian orang itu menemukan sebuah pundi-pundi berisi emas dari ladang tersebut. Pembeli itu mengembalikan pundi-pundi itu ke si penjual. Sedang si penjual menolak karena merasa bukan miliknya. Katanya: “Ambillah! Tapi pembeli itupun menolak dengan berkata: ‘Aku hanya membeli ladang. Bukan membeli emas itu.”
Keduanya tetap tak mau menerima harta itu. Karena si penjual pun menyatakan bahwa dia menjual ladang dengan segala isinya. Akhirnya mereka pergi kepada seorang yang sholeh untuk membantu memecahkan persoalan ini.
Hakim yang ditunjuk mereka itu kemudian bertanya pada masing-masing, apakah mereka mempunyai anak. Ternyata ada. Yang satu mempunyai anak laki-laki, sedang yang lain mempunyai anak perempuan. Hakim kemudian berkata: “Kawinkan keduanya. Pakailah pundi itu sebagai biaya untuk menyelenggarakan pernikahan itu.”
Kisah tersebut benar-benar luar biasa. Keduanya tidak mau menerima harta yang bukan haknya, bukan hasil jerih payah mereka. Keduanya justru takut jika itu malah menggoyahkan, mengancam akhlak dan moral, serta mengganggu ketentraman jiwanya, yang merupakan inti dan hakikat kebahagiaan hidup.
Demikianlah seharusnya seorang Muslim melihat harta. Tiak asal dapat, tapi diperhatikan dulu, apakah harta itu hak atau tidak. Sebab jika bukan hak, harta itu malah akan merusak kekayaan sejati kita berupa iman dan ketentraman jiwa. Lihatlah para koruptor, sekalipun uang mereka banyak, tapi mereka tak tenang bahkan kelak akan disiksa karena makan harta yang bukan haknya.
Tauladan Sahabat Nabi yang Kaya
Ada dua sahabat Nabi yang kaya raya, yakni Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf. Keduanya tidak menjadi sombong karena harta, apalagi serakah untuk terus menambah koleksi hartanya. Malah gelisah, jika harta yang berlebihan itu yang sejatinya amanah Allah tidak dapat dipertanggung jawabkan di hadapan Allah Ta’ala.
Oleh karena itu, keduanya selalu memanfaatkan harta yang dimiliki untuk kepentingan Islam dan kebahagiaan umatnya. Menjadi sesama Muslim agar menjadi orang-orang yang mandiri dan terhormat, sehingga umat Islam menjadi unggul di atas umat-umat yang lain.
Utsman bin Affan radhiyallahu anhu pernah meringankan kesulitan penduduk Madinah. Saat itu musim kemarau melanda. Kebutuhan air meningkat sementara tidak ada persediaan air lagi. Satu-satunya cara untuk bisa mendapat air adalah dengan membeli sumur dari seorang Yahudi yang kejam.
Melihat situasi tersebut Rasulullah bersabda, “Siapa kiranya yang sudi membantu meringankan beban kaum Muslimin ini?”
Mendengar demikian, spontan Utsman bin Affan membeli sumur itu dari tangan si Yahudi dengan harga yang sangat mahal. Utsman tidak pernah merasa rugi dengan keputusan tersebut. Karena dalam pemahamannya, harta bukan untuk disimpan tetapi dimanfaatkan untuk kepentingan umat.
Demikian pula halnya dengan Abdurrahman bin Auf. Ia tidak pernah tanggung dalam memberikan harta untuk kemaslahatan umat. Pernah ia memberikan 700 ekor unta yang dimilikinya beserta segala muatannya untuk kepentingan umat Islam. Setiap hari Abdurrahman bin Auf memikirkan hartanya jangan sampai ada yang tidak termanfaatkan di jalan Allah.
Jadi, seorang hartawan tidak seharusnya jatuh dalam kenistaan karena menganggap harta yang disimpan lebih membahagiakan daripada dibelanjakan di jalan Allah. Sungguh tercela seorang hartawan yang dalam hidupnya memilih meribakan uang, memonopoli perdagangan, dan mempermainkan harga serta tenaga kaum lemah yang menimbulkan keresahan masyarakat. Apalagi memeras tenaga buruh, hingga mereka tidak dapat menunaikan kewajiban agamanya.
Keteladanan Umar bin Abdul Aziz
Selain orang kaya, penguasa termasuk orang yang memiliki kelapangan harta. Tetapi lain halnya dengan Khalifah Umar bin Abdul Aziz, ia tak pernah memanfaatkan harta yang bukan haknya untuk kepentingan diri dan keluarganya.
Suatu hari khalifah meminta pelayannya untuk memanaskan air untuknya, supaya ia bisa berwudhu di hari yang sangat dingin, dengan cepat si pelayan kembali setelah memanaskan airnya, lalu khalifah bertanya, “Di mana kamu panaskan air secepat itu?
Pelayannya pun menjawab, “Aku memanaskannya di dapur umum”. Dapur umum didirikan Umar untuk memenuhi hajat kaum Muslimin yang dibiayai dari Baitul Mal. Khalifah Umar pun memarahi pelayannya atas perbuatannya itu.
Khalifah pun tak menyentuh sedikitpun air panas itu sampai pelayan itu pergi untuk membayar harga dari sekedar menumpang memanaskan air.
Jadi, tidak seharusnya seorang penguasa memanfaatkan jabatannya sebagai alat memperkaya diri dan keluarga. Bergaya hidup mewah, boros dan kikir. Karena bagaimanapun, kewenangan yang dimiliki untuk memanfaatkan harta rakyat sekalipun tidak diperiksa oleh pengadilan, kelak pasti akan dimintai pertanggung jawaban oleh Allah Subhanahu Wa ta’ala.
Oleh karena itu dalam kitabnya Ihya Ulumuddin Imam Ghazali berpesan agar seorang penguasa atau pejabat negara harus berhati-hati dengan harta yang bersumber dari kas negara yang dikumpulkan dari pajak dan hasil ekspor. Karena hakikatnya harta itu adalah untuk kepentingan rakyat bukan penguasa.
Keutamaan Dermawan dan Tercelanya Kekikiran
Imam Ghazali dalam Ihya Ulumuddin berkata, “Ketahuilah bahwa jika kamu tidak memiliki harta, maka sikapilah dengna qana’ah. Sedangkan jika kamu memilikinya, maka sikapilah dengan mendahulukan orang lain, dermawan dan tidak pelit.
Kemudian Imam Ghazali mengutip hadits Nabi, “Sifat dermawan adalah salah satu pohon dari pepohonan surga yang dahannya terjuntai hingga ke tanah. Barangsiapa yang mengambil sehelai dahannya, maka dahan itu akan menuntunnya ke surga”.
Artinya, Muslim yang mendapat anugerah harta berlebih semestinya membagikan hartanya untuk kepentingan umat Islam. Bukan malah menyimpan dan terus menerus berusaha menambahnya tanpa peduli terhadap sesama alias kikir atau bakhil.
Siapa yang kikir tentu keberuntungan akan menjauh darinya.
وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS: Al Hasyr [59]: 9).
Dan, siapa yang tetap bakhil, kelak akan merasakan siksa yang memberatkan.
وَلاَ يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَبْخَلُونَ بِمَا آتَاهُمُ اللّهُ مِن فَضْلِهِ هُوَ خَيْراً لَّهُمْ بَلْ هُوَ شَرٌّ لَّهُمْ سَيُطَوَّقُونَ مَا بَخِلُواْ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلِلّهِ مِيرَاثُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَاللّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat.” (QS: Ali Imron [3]: 180).
Sifat kikir orang kaya dan penguasa akan berakibat pada kekacauan atau kerusuhan sosial. Rasulullah bersabda, “Waspadalah dari sifat kikir. Sesungguhnya orang-orang sebelummu binasa karenanya. Sifat kikir membuat mereka saling membunuh dan menghalalkan apa yang diharamkan bagi mereka.” (HR. Ahmad).*/Imam Nawawi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar