ARTI RIZKI YANG LUAS DAN BERKAH
Tidak sepatutnya seorang Muslim melihat rizki sebatas pada uang atau kekayaan belaka. Ust. Yusuf Mansur dalam bukunya “Doa-Doa Kunci Rezeki” menuliskan bahwa yang dimaksud rizki itu bukan semata uang.
Rizki dalam bentuk lainnya bisa berupa sifat istiqomah (kekonsistenan) dalam kebenaran dan jujur dalam hidupnya. Misalnya, tidak mau mengambil hak orang lain dengan zalim. Secara kasat mata, orang yang seperti itu memang tidak mendapatkan uang atau keuntungan materi apapun. Namun demikian, sesungguhnya ia telah mendapat rizki yang tak ternilai harganya. Yakni sifat mulia yang dicintai Allah Ta’ala.
Hal itu tidak lain, karena Muslim yang seperti itu adalah Muslim yang mampu mempertahankan kebenaran yang diyakni dalam dirinya. Jadi, kemampuan berpegang teguh pada kebenaran dan kejujuran hakikatnya adalah rizki yang sangat besar dan tak ternilai harganya. Dibanding kaya harta namun menanggalkan nilai-nilai kebenaran dan kejujuran.
Rizki juga bisa berupa ketenangan dan kedamaian hidup. Yakni, berupa keluarga yang sakinah, anak yang saleh dan harta yang bermanfaat lagi berkah. Bisa juga berupa kemampuan bekerja dengan baik dan benar, memiliki jiwa optimisme, positif thinking, dan memiliki teman baik. Atau kemampuan untuk bisa berbagi dan peduli terhadap orang lain. Semua itu adalah bentuk rizki yang dahsyat.
Rizki juga bisa berbentuk kemampuan untuk bisa berdoa dengan khusu’, taat beribadah dan bertakwa. Atau juga berupaya mampu melakukan ibadah secara konsisten. Bahkan, yang paling spektakuler, kata Ustad Yusuf Mansur adalah kita diberi ‘akhir hidup yang baik’ (khusnul khotimah).
Semua itu adalah bentuk rizki Allah dalam arti yang sangat luas. Yang mustahil bisa dibayar dengan uang berapapun. Dan, juga sebagai manifestasi bimbingan, petunjuk, berkah dan rahmat-Nya yang diberikan kepada umat Islam.
Perkuat Do’a, Ibadah dan Upaya
Namun demikian, Islam sama sekali tidak pernah memarginalkan arti rizki dalam bentuk materi. Materi juga bagian penting dalam kehidupan umat Islam. Maka tidak sepatutnya seorang Muslim hidup miskin apalagi papa.
Di zaman Rasulullah kita mengenal Utsman bin Affan. Saudagar kaya raya yang sholeh dan dermawan. Begitu pula Abdurrahman bin Auf. Saudagar kaya raya yang sholeh dan dermawan. Bahkan jauh sebelum itu, ada Siti Khadijah, istri Nabi yang kaya raya, sholehah dan dermawan.
Artinya, kekayaan itu penting. Oleh karena itu sangat dibutuhkan dari sebagian Umat Islam yang berusaha menjadi orang kaya, yang dengan kekayaannya itu ia berhak atas karunia-Nya yang lebih besar di akhirat kelak, persis seperti Siti Khadijah, Abdurrahman bin Auf atau pun Utsman bin Affan.
Carilah kekayaan dunia untuk kebahagiaan akhirat. Jangan terbalik, mencari kekayaan dunia dengan melupakan akhirat, yang pada akhirnya hanya akan mengundang laknat. Seperti Tsa’labah dan Qarun.
Maka, perbanyaklah do’a karena Allah pasti mengabulkan do’a hamba-Nya (QS. 2: 186). Atau seperti dalam firman lainnya;
وَيَسْتَجِيبُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَيَزِيدُهُم مِّن فَضْلِهِ وَالْكَافِرُونَ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ
“Dan Dia memperkenankan (doa) orang-orang yang beriman serta mengerjakan amal yang saleh dan menambah (pahala) kepada mereka dari karunia-Nya.” (QS: Asy Syuura [42]: 26).
Berikutnya perbanyaklah ibadah. Seperti sholat Dhuha, sholat Tahajjud atau pun bersedekah kepada sesama. Karena Allah sangat menyukai hamba-hamba-Nya yang teguh dalam ibadah dan bermanfaat bagi banyak manusia.
Terakhir, sempurnakanlah dalam berupaya. Islam adalah agama yang dinamis dan progressif. Artinya, Islam tidak menyukai umatnya yang pasif dan berpangku tangan. Bergeraklah mencari rizki untuk kemuliaan diri, keluarga dan umat Islam. Sebagaimana dicontohkan oleh Abdurrahman bin Auf.
Ia rela hijrah demi iman ke Madinah. Setiba di Madinah ia rela memulai usahanya dari pasar. Hingga kemudian, berbekal skill dan kekonsistenan, ia tumbuh menjadi sahabat Nabi yang super kaya. Namun demikian, rizki dalam bentuk harta yang demikian melimpah itu, justru semakin membuat hatinya semakin tunduk, taat dan takwa kepada Allah Ta’ala.
Jadi, mari kita ikhtiar mencari rizki dengan semangat iman. Jika kita hidup dalam kekurangan harta, tapi memiliki kekuatan ilmu, kesabaran, keluarga yang iman dan taat beribadah, syukurilah. Itu adalah rizki yang dahsyat.
Jika semua itu kita miliki dan harta juga berlebih, maka syukurilah dengan bersegera menebarkan bagi yang membutuhkan. Tauladanilah Siti Khadijah, Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf. Agar kekayaan berupa materi itu semakin melapangkan jalan untuk menjadi hamba yang mendapat ridha Ilahi.*/Imam Nawawi
Rep:
Imam Nawawi
Editor: Cholis Akbar
Tidak sepatutnya seorang Muslim melihat rizki sebatas pada uang atau kekayaan belaka. Ust. Yusuf Mansur dalam bukunya “Doa-Doa Kunci Rezeki” menuliskan bahwa yang dimaksud rizki itu bukan semata uang.
Rizki dalam bentuk lainnya bisa berupa sifat istiqomah (kekonsistenan) dalam kebenaran dan jujur dalam hidupnya. Misalnya, tidak mau mengambil hak orang lain dengan zalim. Secara kasat mata, orang yang seperti itu memang tidak mendapatkan uang atau keuntungan materi apapun. Namun demikian, sesungguhnya ia telah mendapat rizki yang tak ternilai harganya. Yakni sifat mulia yang dicintai Allah Ta’ala.
Hal itu tidak lain, karena Muslim yang seperti itu adalah Muslim yang mampu mempertahankan kebenaran yang diyakni dalam dirinya. Jadi, kemampuan berpegang teguh pada kebenaran dan kejujuran hakikatnya adalah rizki yang sangat besar dan tak ternilai harganya. Dibanding kaya harta namun menanggalkan nilai-nilai kebenaran dan kejujuran.
Rizki juga bisa berupa ketenangan dan kedamaian hidup. Yakni, berupa keluarga yang sakinah, anak yang saleh dan harta yang bermanfaat lagi berkah. Bisa juga berupa kemampuan bekerja dengan baik dan benar, memiliki jiwa optimisme, positif thinking, dan memiliki teman baik. Atau kemampuan untuk bisa berbagi dan peduli terhadap orang lain. Semua itu adalah bentuk rizki yang dahsyat.
Rizki juga bisa berbentuk kemampuan untuk bisa berdoa dengan khusu’, taat beribadah dan bertakwa. Atau juga berupaya mampu melakukan ibadah secara konsisten. Bahkan, yang paling spektakuler, kata Ustad Yusuf Mansur adalah kita diberi ‘akhir hidup yang baik’ (khusnul khotimah).
Semua itu adalah bentuk rizki Allah dalam arti yang sangat luas. Yang mustahil bisa dibayar dengan uang berapapun. Dan, juga sebagai manifestasi bimbingan, petunjuk, berkah dan rahmat-Nya yang diberikan kepada umat Islam.
Perkuat Do’a, Ibadah dan Upaya
Namun demikian, Islam sama sekali tidak pernah memarginalkan arti rizki dalam bentuk materi. Materi juga bagian penting dalam kehidupan umat Islam. Maka tidak sepatutnya seorang Muslim hidup miskin apalagi papa.
Di zaman Rasulullah kita mengenal Utsman bin Affan. Saudagar kaya raya yang sholeh dan dermawan. Begitu pula Abdurrahman bin Auf. Saudagar kaya raya yang sholeh dan dermawan. Bahkan jauh sebelum itu, ada Siti Khadijah, istri Nabi yang kaya raya, sholehah dan dermawan.
Artinya, kekayaan itu penting. Oleh karena itu sangat dibutuhkan dari sebagian Umat Islam yang berusaha menjadi orang kaya, yang dengan kekayaannya itu ia berhak atas karunia-Nya yang lebih besar di akhirat kelak, persis seperti Siti Khadijah, Abdurrahman bin Auf atau pun Utsman bin Affan.
Carilah kekayaan dunia untuk kebahagiaan akhirat. Jangan terbalik, mencari kekayaan dunia dengan melupakan akhirat, yang pada akhirnya hanya akan mengundang laknat. Seperti Tsa’labah dan Qarun.
Maka, perbanyaklah do’a karena Allah pasti mengabulkan do’a hamba-Nya (QS. 2: 186). Atau seperti dalam firman lainnya;
وَيَسْتَجِيبُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَيَزِيدُهُم مِّن فَضْلِهِ وَالْكَافِرُونَ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ
“Dan Dia memperkenankan (doa) orang-orang yang beriman serta mengerjakan amal yang saleh dan menambah (pahala) kepada mereka dari karunia-Nya.” (QS: Asy Syuura [42]: 26).
Berikutnya perbanyaklah ibadah. Seperti sholat Dhuha, sholat Tahajjud atau pun bersedekah kepada sesama. Karena Allah sangat menyukai hamba-hamba-Nya yang teguh dalam ibadah dan bermanfaat bagi banyak manusia.
Terakhir, sempurnakanlah dalam berupaya. Islam adalah agama yang dinamis dan progressif. Artinya, Islam tidak menyukai umatnya yang pasif dan berpangku tangan. Bergeraklah mencari rizki untuk kemuliaan diri, keluarga dan umat Islam. Sebagaimana dicontohkan oleh Abdurrahman bin Auf.
Ia rela hijrah demi iman ke Madinah. Setiba di Madinah ia rela memulai usahanya dari pasar. Hingga kemudian, berbekal skill dan kekonsistenan, ia tumbuh menjadi sahabat Nabi yang super kaya. Namun demikian, rizki dalam bentuk harta yang demikian melimpah itu, justru semakin membuat hatinya semakin tunduk, taat dan takwa kepada Allah Ta’ala.
Jadi, mari kita ikhtiar mencari rizki dengan semangat iman. Jika kita hidup dalam kekurangan harta, tapi memiliki kekuatan ilmu, kesabaran, keluarga yang iman dan taat beribadah, syukurilah. Itu adalah rizki yang dahsyat.
Jika semua itu kita miliki dan harta juga berlebih, maka syukurilah dengan bersegera menebarkan bagi yang membutuhkan. Tauladanilah Siti Khadijah, Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf. Agar kekayaan berupa materi itu semakin melapangkan jalan untuk menjadi hamba yang mendapat ridha Ilahi.*/Imam Nawawi
Rep:
Imam Nawawi
Editor: Cholis Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar