Badrul, lelaki kurus bertato itu berada di pelataran masjid sembari menunggu datangnya Ashar. Baru sore kemarin ia berjanji kepada ustad Fadlan, imam rawatib masjid itu. Ia menyatakan pertobatannya dan berjanji untuk memulai kembali rutinitas sholatnya yang sudah belasan tahun terhenti.
Seseorang yang baru keluar dari tempat wudhu menatap Badrul dengan pandangan curiga. Badrul segera mendatangi orang tersebut, ia ingin mengakrabkan dirinya dengan para penghuni masjid itu. Badrul mengulurkan tangan, memulai sapanya dengan senyum. Uluran tangan berbalas, mereka bersalaman.
“Masmuk?” tanya orang itu dengan ekspresi datar.
“Oh, namanya Mas Muk,” Badrul membatin. “Saya Badrul.” Ia perkenalkan dirinya.
“Min Aina Anta?”
“Min apaan? Apa maksudnya ya?”, Badrul membatin dengan ekspresi bingung sembari tetap menjabat tangan orang asing itu. “Mmm, saya nggak ngerti maksud sampeyan ngomong apa itu tadi..,” kali ini Badrul bicara.
Tak ada jawaban, orang tadi melepaskan jabatan tangannya dengan tersenyum sinis dengan melirik tato yang terlukis di sepanjang lengan Badrul. Ia lantas masuk ke dalam masjid tanpa mengucapkan apa-apa lagi.
Badrul merasa sedikit tersinggung atas perlakuan orang itu terhadapnya. Tato ini adalah aib dosanya, ia seperti merasa dipermalukan ketika orang itu melirik lengannya dan tersenyum sinis tepat di depan wajahnya. “Hari pertama tobat, tak boleh kukacaukan.” Ia tenangkan dirinya dengan mengingat pertobatannya.
Azan sudah tinggal beberapa menit, orang-orang mulai berdatangan. Badrul bersegera melepas sepatunya di undakan kedua di teras masjid itu. Lalu terdengar teriakan dari arah masjid, “Jangan copot sepatu di situ!!”. Rupanya ‘Mas Muk’ yang berteriak.
Badrul salah tingkah, takut salah lagi menaruh sepatunya, iapun bertanya, “Terus, dimana naruhnya?”
“Gak tau..”, jawab ‘Mas Muk’ singkat.
Sesaat Badrul terbengong, lalu ia sadar. Dan…“Buk!!”, tangan kurus namun berotot milik Badrul mendarat tepat di hidung ‘Mas Muk’ beberapa detik kemudian. Darah keluar dari hidung ‘Mas Muk’, menetes di ruang utama masjid.
Banyak saudara kita yang belum mendapat hidayah. Mereka ada di sekitar kita. Mereka muslim, namun ternyata hanya sebatas tulisan “Islam” pada kartu dan kertas-kertas identitas. Mereka marah jika agama yang diakuinya dilecehkan, namun mereka tak merasa salah ketika mereka tak menjalankan rukun-rukunnya.
Dan beruntunglah kita, orang-orang yang tecelup hidayah. Rutin dalam shalat sesuai waktu dan kadarnya, taat dalam menyisihkan zakat, berazam kuat ketika berpuasa, dan menyisihkan sebagian dunia untuk menebus impian ke Baitullah. Inilah kita, manusia yang ingin menyempurnakan kualitas pribadi. Manusia-manusia yang telah mereguk indahnya berislam yang menuju kekaffahan.
Saudaraku, ketika anda sedang merasa beriman, apa yang ada di pikiran ketika lewat seseorang yang tertampil jauh dari kesan orang beriman? Apakah akan menepi, sebab merasa jijik. Seolah kulit orang itu adalah benda berbalut racun dan duri yang akan menggores dan menginfeksi. Atau anda akan memandang dengan tinggi hati, merasa anda adalah mahluk terbaik di bumi ini?
Ketika subuh berkumandang, anda bersiap melangkahkan diri ke mushala terdekat, tiba-tiba suara mesin motor muncul dari rumah tetangga anda. Pagar rumah terbuka, tampak tetangga anda yang seorang tukang sayur sudah siap dengan barang dagangannya yang sudah tertata sedemikian rupa di atas kendaraannya. Ia bersiap menjemput rizki, menuju pasar yang jaraknya tak terlalu jauh. “Rizkinya pasti tak barokah, sholat subuh aja kagak!” Anda pun mengutukinya dalam hati.
Terkadang, itulah kita. Hidayah yang telah menyirami jiwa kita, seolah telah menjadi sesuatu yang tak akan terampas. Hidayah kita adalah sesuatu yang eksklusif. Hidayah adalah hasil kerja kita, hasil pencarian kita sendiri. Seolah-olah, keislaman kita adalah kehebatan kita, kedigdayaan setelah bekerja-keras menjalankan rukun-rukunnya.
Lantas kita pun mulai memandang sinis kepada orang-orang yang masih terkubang dalam lembah-lembah duniawi. Dalam kacamata kita, seolah tak ada jalan bagi mereka untuk lepas menuju hidayah. Tak sadar, kita menjustifikasi bahwa dunia mereka adalah abadi, mereka kekal di dalamnya. Kita seolah yakin, bahwa dzikir-dzikir yang biasa terlantun sirri dari bibir kita selamanya akan terasa pahit bagi bibir-bibir mereka.
Masya Allah, betapa sombongnya kita. Ketika kita merasa keislaman kita adalah buah pengorbana kita. Hidayah hanya pantas untuk orang-orang seperti kita, yang rajin membaca artikel-artikel kesilaman. Padahal, “Allah memberikan hidayah kepada siapa yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.” (QS. Al-Baqarah: 213)
Hidayah adalah murni hak-Nya, prerogatif yang dimilikiNya tanpa campur tangan makhluk-makhluknya yang lemah. Setiap insan adalah calon penerima hidayah Allah, terserah Alah mau memilih siapa di antara insan-insan itu. Maka tak layak kita sombong, merasa “paling” baik saat membandingkan diri dengan orang-orang yang baru menjadi calon penerima hidayahNya.
Lihatlah insan mulia, Baginda Rasulullah, dengan pungkasan doa beliau yang khas. “… sesungguhnya mereka tidak mengerti,” begitu sering beliau memungkasi doa-doanya dengan frasa itu. Sebuah frasa yang mengisyaratkan sebuah pemakluman beliau, atas hidayah yang tak kunjung sampai juga kepada musuh-musuh islam. Frasa itu pun seringkali didahului dengan permohonan hidayah kepada Kekasihnya, bagi orang-orang yang menganiayanya.
Keteladanan dari orang paling mulia, mencontohkan cara untuk menghandle musuh-musuh islam hingga mampu merubah mereka menjadi pembela-pembela islam. Seperti Abu Sofyan, musuh utama islam di kala kafirnya yang begitu takut berbuat maksiat saat ia menjadi muslim. Atau seperti Ikrimah, putra paman Rasulullah yang juga musuh terburuk, Abu Jahal.
Marilah kita teladani manusia yang kita cintai itu. Tak perlu kita menjustifikasi orang-orang yang ada di luar standar keimanan kita. Jika kita tak mampu merangkul mereka, cukup kita kirimkan doa ke langit, memohonkan hidayah kepada Allah. Terlebih lagi bagi saudara-saudara muslim kita, yang keimanannya masih terbatas pada tulisan ‘islam’ di kertas-kertas legal.
Jangan sampai hidayah dan ilmu yang dikaruniakan Allah kepada kita menjadi hijab, sehingga kita menjauh dari saudara-saudara kita. Atau malah kita sendiri yang malah terjerumus dalam kenistaan, seperti sabdaNya, “Dan barangsiapa yang disesatkan Allah, niscaya tak ada baginya seorang pemberi petunjuk.” (QS. Az-zumar:23). Naudzubillahi min dzallik.
Maka tak layak kita sombong atas hidayah yang telah kita dekap, bukan tak mungkin Allah akan merenggutnya kembali, dan meninggalkan kita tanpa petunjuk, terkunci mati! Semoga tak terjadi. Kita berlindung kepada Allah, semoga Hidayah ini terjaga.
Seseorang yang baru keluar dari tempat wudhu menatap Badrul dengan pandangan curiga. Badrul segera mendatangi orang tersebut, ia ingin mengakrabkan dirinya dengan para penghuni masjid itu. Badrul mengulurkan tangan, memulai sapanya dengan senyum. Uluran tangan berbalas, mereka bersalaman.
“Masmuk?” tanya orang itu dengan ekspresi datar.
“Oh, namanya Mas Muk,” Badrul membatin. “Saya Badrul.” Ia perkenalkan dirinya.
“Min Aina Anta?”
“Min apaan? Apa maksudnya ya?”, Badrul membatin dengan ekspresi bingung sembari tetap menjabat tangan orang asing itu. “Mmm, saya nggak ngerti maksud sampeyan ngomong apa itu tadi..,” kali ini Badrul bicara.
Tak ada jawaban, orang tadi melepaskan jabatan tangannya dengan tersenyum sinis dengan melirik tato yang terlukis di sepanjang lengan Badrul. Ia lantas masuk ke dalam masjid tanpa mengucapkan apa-apa lagi.
Badrul merasa sedikit tersinggung atas perlakuan orang itu terhadapnya. Tato ini adalah aib dosanya, ia seperti merasa dipermalukan ketika orang itu melirik lengannya dan tersenyum sinis tepat di depan wajahnya. “Hari pertama tobat, tak boleh kukacaukan.” Ia tenangkan dirinya dengan mengingat pertobatannya.
Azan sudah tinggal beberapa menit, orang-orang mulai berdatangan. Badrul bersegera melepas sepatunya di undakan kedua di teras masjid itu. Lalu terdengar teriakan dari arah masjid, “Jangan copot sepatu di situ!!”. Rupanya ‘Mas Muk’ yang berteriak.
Badrul salah tingkah, takut salah lagi menaruh sepatunya, iapun bertanya, “Terus, dimana naruhnya?”
“Gak tau..”, jawab ‘Mas Muk’ singkat.
Sesaat Badrul terbengong, lalu ia sadar. Dan…“Buk!!”, tangan kurus namun berotot milik Badrul mendarat tepat di hidung ‘Mas Muk’ beberapa detik kemudian. Darah keluar dari hidung ‘Mas Muk’, menetes di ruang utama masjid.
Banyak saudara kita yang belum mendapat hidayah. Mereka ada di sekitar kita. Mereka muslim, namun ternyata hanya sebatas tulisan “Islam” pada kartu dan kertas-kertas identitas. Mereka marah jika agama yang diakuinya dilecehkan, namun mereka tak merasa salah ketika mereka tak menjalankan rukun-rukunnya.
Dan beruntunglah kita, orang-orang yang tecelup hidayah. Rutin dalam shalat sesuai waktu dan kadarnya, taat dalam menyisihkan zakat, berazam kuat ketika berpuasa, dan menyisihkan sebagian dunia untuk menebus impian ke Baitullah. Inilah kita, manusia yang ingin menyempurnakan kualitas pribadi. Manusia-manusia yang telah mereguk indahnya berislam yang menuju kekaffahan.
Saudaraku, ketika anda sedang merasa beriman, apa yang ada di pikiran ketika lewat seseorang yang tertampil jauh dari kesan orang beriman? Apakah akan menepi, sebab merasa jijik. Seolah kulit orang itu adalah benda berbalut racun dan duri yang akan menggores dan menginfeksi. Atau anda akan memandang dengan tinggi hati, merasa anda adalah mahluk terbaik di bumi ini?
Ketika subuh berkumandang, anda bersiap melangkahkan diri ke mushala terdekat, tiba-tiba suara mesin motor muncul dari rumah tetangga anda. Pagar rumah terbuka, tampak tetangga anda yang seorang tukang sayur sudah siap dengan barang dagangannya yang sudah tertata sedemikian rupa di atas kendaraannya. Ia bersiap menjemput rizki, menuju pasar yang jaraknya tak terlalu jauh. “Rizkinya pasti tak barokah, sholat subuh aja kagak!” Anda pun mengutukinya dalam hati.
Terkadang, itulah kita. Hidayah yang telah menyirami jiwa kita, seolah telah menjadi sesuatu yang tak akan terampas. Hidayah kita adalah sesuatu yang eksklusif. Hidayah adalah hasil kerja kita, hasil pencarian kita sendiri. Seolah-olah, keislaman kita adalah kehebatan kita, kedigdayaan setelah bekerja-keras menjalankan rukun-rukunnya.
Lantas kita pun mulai memandang sinis kepada orang-orang yang masih terkubang dalam lembah-lembah duniawi. Dalam kacamata kita, seolah tak ada jalan bagi mereka untuk lepas menuju hidayah. Tak sadar, kita menjustifikasi bahwa dunia mereka adalah abadi, mereka kekal di dalamnya. Kita seolah yakin, bahwa dzikir-dzikir yang biasa terlantun sirri dari bibir kita selamanya akan terasa pahit bagi bibir-bibir mereka.
Masya Allah, betapa sombongnya kita. Ketika kita merasa keislaman kita adalah buah pengorbana kita. Hidayah hanya pantas untuk orang-orang seperti kita, yang rajin membaca artikel-artikel kesilaman. Padahal, “Allah memberikan hidayah kepada siapa yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.” (QS. Al-Baqarah: 213)
Hidayah adalah murni hak-Nya, prerogatif yang dimilikiNya tanpa campur tangan makhluk-makhluknya yang lemah. Setiap insan adalah calon penerima hidayah Allah, terserah Alah mau memilih siapa di antara insan-insan itu. Maka tak layak kita sombong, merasa “paling” baik saat membandingkan diri dengan orang-orang yang baru menjadi calon penerima hidayahNya.
Lihatlah insan mulia, Baginda Rasulullah, dengan pungkasan doa beliau yang khas. “… sesungguhnya mereka tidak mengerti,” begitu sering beliau memungkasi doa-doanya dengan frasa itu. Sebuah frasa yang mengisyaratkan sebuah pemakluman beliau, atas hidayah yang tak kunjung sampai juga kepada musuh-musuh islam. Frasa itu pun seringkali didahului dengan permohonan hidayah kepada Kekasihnya, bagi orang-orang yang menganiayanya.
Keteladanan dari orang paling mulia, mencontohkan cara untuk menghandle musuh-musuh islam hingga mampu merubah mereka menjadi pembela-pembela islam. Seperti Abu Sofyan, musuh utama islam di kala kafirnya yang begitu takut berbuat maksiat saat ia menjadi muslim. Atau seperti Ikrimah, putra paman Rasulullah yang juga musuh terburuk, Abu Jahal.
Marilah kita teladani manusia yang kita cintai itu. Tak perlu kita menjustifikasi orang-orang yang ada di luar standar keimanan kita. Jika kita tak mampu merangkul mereka, cukup kita kirimkan doa ke langit, memohonkan hidayah kepada Allah. Terlebih lagi bagi saudara-saudara muslim kita, yang keimanannya masih terbatas pada tulisan ‘islam’ di kertas-kertas legal.
Jangan sampai hidayah dan ilmu yang dikaruniakan Allah kepada kita menjadi hijab, sehingga kita menjauh dari saudara-saudara kita. Atau malah kita sendiri yang malah terjerumus dalam kenistaan, seperti sabdaNya, “Dan barangsiapa yang disesatkan Allah, niscaya tak ada baginya seorang pemberi petunjuk.” (QS. Az-zumar:23). Naudzubillahi min dzallik.
Maka tak layak kita sombong atas hidayah yang telah kita dekap, bukan tak mungkin Allah akan merenggutnya kembali, dan meninggalkan kita tanpa petunjuk, terkunci mati! Semoga tak terjadi. Kita berlindung kepada Allah, semoga Hidayah ini terjaga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar