Oleh: Anis Malik Thoha
Semua agama, baik yang mati maupun yang hidup, yang kuno maupun modern, yang teistik maupun non-teistik, lahir dan hadir lengkap dengan klaim kebenaran. Terlepas apakah klaim ini valid atau tidak, rasional atau irasional.
Setidaknya ada tiga macam cara memandang klaim kebenaran, yaitu eksklusivisme, inklusivisme, dan pluralisme.
Eksklusivisme adalah kebenaran absolut hanya dimiliki agama tertentu secara eksklusif. Tidak memberikan alternatif lain, tidak memberikan konsesi sedikitpun, dan tidak mengenal kompromi.
Klaim ini direpresentasikan oleh agama-agama semitik: Yudaisme, Kristen, dan Islam, yang ditopang dengan konsep yuridis tentang keselamatan. Yudaisme mempunyai doktrin the chosen people (masyarakat terpilih). Kebenaran, keshalihan, dan keselamatan hanya berdasar atas etnisitas yang sempit, yaitu bangsa Yahudi. Katolik punya doktrin extra ecclesiam nulla salus (di luar gereja tidak ada keselamatan) dan Protestan dengan doktrin outside Christianity, no salvation (di luar Kristen tidak ada keselamatan). Sementara Islam dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala bahwa inna ad-diena ‘inda Allahi al-Islam (sesungguhnya agama di sisi Allah adalah Islam).
Klaim Inklusivisme lebih longgar. Hanya salah satu agama saja yang benar, tapi juga mencoba mengakomodasi konsep yuridis keselamatan untuk mencakup pengikut agama lain. Bukan karena agama mereka benar, tapi justru karena limpahan berkah dan rahmat dari kebenaran absolut yang ia miliki.
Teologi inklusif hanya muncul di lingkungan Kristen dalam waktu belakangan. Ini merupakan respons terhadap teologi pluralis yang mulai merebak pada pertengahan kedua abad ke-20, dan di sisi lain menganggap klaim eksklusif sudah ketinggalan zaman.
Ada interpretasi baru yang dianggap lebih segar. Konsep penebusan dosa yang dilakukan Yesus Kristus meliputi seluruh dosa warisan anak Adam. Semua ummat manusia terbuka untuk ampunan Tuhan, meskipun mereka pengikut agama lain. Teologi ini kemudian diadopsi secara resmi dalam Konsili Vatikan II (1962-1965).
Tapi klaim kebenaran model ini tidak konsisten. Jika keselamatan dapat dicapai tanpa adanya koneksi apapun dengan gereja dan doktrin Kristen, apa artinya bersikeras memberikan label Kristen? Kenapa berbagai praktik Kristenisasi masih terus dilakukan? Atau inklusivisme hanyalah slogan kosong dengan maksud tertentu?
Di lingkungan Islam, sebetulnya juga ada upaya serupa. Di Indonesia pada awal tahun 1990-an muncul jargon “Islam inklusif”. Namun setelah diteliti secara seksama, kandungan pemikiran yang mereka maksudkan ternyata serupa dengan model pluralisme seperti di bawah ini.
Pluralisme yang Berbahaya
Pluralisme muncul dan berkembang dalam setting sosial-politik humanisme sekuler Barat yang bermuara pada lahirnya tatanan demokrasi liberal. Salah satu konstituen utamanya adalah pluralisme agama (yang oleh sebagian sosiolog diidentifikasi sebagai civil religion).
Pluralisme ingin tampil sebagai klaim kebenaran yang humanis, ramah, santun, toleran, cerdas, mencerahkan, demokratis, dan promising. Hal ini antara lain dikatakan oleh tokoh pluralis yang paling bertanggung jawab, John Hick.
Semua agama, yang teistik maupun non-teistik, dapat dianggap sebagai ruang atau jalan yang bisa memberi keselamatan, kebebasan, dan pencerahan. Semuanya valid, karena pada dasarnya semuanya merupakan respons otentik yang beragam terhadap the Real (hakikat ketuhanan) yang sama.
Dalam kenyataannya, klaim itu menjadi klaim ‘kebenaran relatif’ yang absolut. Tidak saja ingin merelatifkan klaim kebenaran agama yang ada—sehingga semua agama secara relatif sama—tapi juga sebetulnya ingin mengungguli klaim-klaim tersebut. Hanya klaim pluralisme saja yang mutlak benar.
Dengan merelatifkan klaim-klaim kebenaran yang ada berarti secara implisit—dan ini jarang disadari oleh kaum pluralis—telah menafikan, atau minimal mendegradasikan, kebenaran hakiki klaim-klaim tersebut. Pluralisme juga telah bertindak sebagai wasit sepakbola yang mengontrol dan menjaga ketertiban jalannya permainan, termasuk mengeluarkan kartu merah.
Klaim pluralisme membawa implikasi yang berbahaya bagi manusia. Baik itu menyangkut isu-isu yang bersifat teoretis, epistemologis, dan metodologis, sebagian bersifat ideologis dan teologis, dan sebagian lagi berhubungan dengan isu yang lebih praktis, yaitu HAM (hak-hak asasi manusia) –khususnya kebebasan beragama.
Gagasan pluralisme sulit menjawab pertanyaan yang sangat krusial, yaitu apakah benar-benar mampu memberikan solusi yang ramah terhadap konflik antar agama, sebagaimana yang diklaim oleh para penggagas dan penganjurnya? Atau malah menjadi problem baru dalam fenomena pluralitas keagamaan?
Tidak Bisa Dipertahankan Lagi
Istilah pluralisme agama selama ini difahami dan didesain dalam bingkai sekuler, liberal, dan logika Barat yang menampik hal-hal yang berbau metafisis. Ini adalah akar dari semua masalah. Agama dianggap sebagai respons manusia, atau sering pula disebut sebagai pengalaman keagamaan. Kemungkinan datangnya agama dari Tuhan atau Dzat yang Maha Agung dinafikan mentah-mentah.
Tokoh seperti Joachim Wach, seorang ahli perbandingan agama kontemporer, bahkan mendefinisikan konsep pengalaman keagamaan sebagai agama itu sendiri. Lahirlah kesimpulan akan persamaan semua agama secara penuh tanpa ada yang lebih benar daripada yang lain. Sebuah kesimpulan yang justru menyulitkan para penggagas dan penganjurnya, terutama yang beragama Kristen, karena muncul pertanyaan: apakah Kristen sama persis dengan agama-agama primitif dan paganis (penyembah berhala) yang kanibalistik?
Klaim ini juga mengerangkeng agama sehingga hanya boleh beroperasi di wilayah yang sangat sempit dan privat–yakni hubungan manusia dengan Tuhannya. Muncul pertanyaan lagi, apakah hubungan pribadi dengan sesuatu yang sakral dan metafisikal ini mempengaruhi dan membentuk perilaku manusia, baik dalam kehidupan individual maupun sosial, atau tidak?
Kajian-kajian modern yang dilakukan para ahli menguatkan adanya pengaruh tersebut. Joachim Wach misalnya, menyimpulkan bahwa manusia kapan saja dan dimana saja selalu ingin mengekspresikan pengalaman keagamaan. Sementara ahli perbandingan agama Ninian Smart dan anthropolog Clifford Geertz menegaskan tentang komprehensivitas agama yang mencakup seluruh dimensi kehidupan manusia.
Fakta-fakta di atas menguatkan komprehensivitas, inklusivitas, dan totalitas agama. Cakupannya tidak hanya terbatas pada apa yang disebut institusi agama, melainkan juga seluruh falsafah hidup yang dikenal manusia.
Otomatis, konsep dikotomisasi realitas: agama-negara, sakral-profan, dan individu-publik, menjadi tak tepat dan tak akurat. Di Barat sendiri kini ada kajian-kajian ilmiah yang mengkritisi akurasi konsep ini. Hasilnya, dikotomisasi tidak mungkin bisa dipertahankan di depan bukti-bukti dan fakta-fakta objektif dari perkembangan sosio-politis kontemporer.
Di sisi lain, terminologi pluralisme di Barat telah mengalami perubahan yang sangat fundamental, sehingga sama dan sebangun dengan demokrasi, yakni penegasan tentang kebebasan, toleransi persamaan, dan koeksistensi. Namun, konsep yang secara teoretis sangat agung dan toleran ini, pada dataran praktis cenderung menunjukkan perilaku intoleran dan memberangus HAM. Kata Muhammad Imarah, “Barat telah memaksa yang lain untuk mengikutinya secara kultur maupun pemikiran… dan untuk melepaskan sejarah, kultur, dan referensi keagamaan dan intelektual mereka masing-masing.” Barat tidak ingin membiarkan yang lain menjadi dirinya sendiri.
Muncullah kesadaran bahwa konsep pluralisme tidak boleh hanya tunduk pada interpretasi tunggal (baca: Barat). Kata John O Voll, “Terdapat kesadaran yang semakin meningkat bahwa konsep ‘pluralisme’, yang merupakan fokus wacana-wacana masa kini, adalah tunduk pada pemahaman yang beragam.” John D’Arcy May juga menyatakan perlunya keragaman dalam membaca dan memaknai konsep ini.
Alhasil, konsep pluralisme yang menganggap semua agama sama saja, tak mungkin bisa dipertahankan. Juga tak mungkin bisa dipraktikkan dalam kehidupan nyata tanpa memberangus HAM.*
Penulis adalah dosen Ilmu Perbandingan Agama pada International Islamic University dan pengusur NU Malaysia
Semua agama, baik yang mati maupun yang hidup, yang kuno maupun modern, yang teistik maupun non-teistik, lahir dan hadir lengkap dengan klaim kebenaran. Terlepas apakah klaim ini valid atau tidak, rasional atau irasional.
Setidaknya ada tiga macam cara memandang klaim kebenaran, yaitu eksklusivisme, inklusivisme, dan pluralisme.
Eksklusivisme adalah kebenaran absolut hanya dimiliki agama tertentu secara eksklusif. Tidak memberikan alternatif lain, tidak memberikan konsesi sedikitpun, dan tidak mengenal kompromi.
Klaim ini direpresentasikan oleh agama-agama semitik: Yudaisme, Kristen, dan Islam, yang ditopang dengan konsep yuridis tentang keselamatan. Yudaisme mempunyai doktrin the chosen people (masyarakat terpilih). Kebenaran, keshalihan, dan keselamatan hanya berdasar atas etnisitas yang sempit, yaitu bangsa Yahudi. Katolik punya doktrin extra ecclesiam nulla salus (di luar gereja tidak ada keselamatan) dan Protestan dengan doktrin outside Christianity, no salvation (di luar Kristen tidak ada keselamatan). Sementara Islam dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala bahwa inna ad-diena ‘inda Allahi al-Islam (sesungguhnya agama di sisi Allah adalah Islam).
Klaim Inklusivisme lebih longgar. Hanya salah satu agama saja yang benar, tapi juga mencoba mengakomodasi konsep yuridis keselamatan untuk mencakup pengikut agama lain. Bukan karena agama mereka benar, tapi justru karena limpahan berkah dan rahmat dari kebenaran absolut yang ia miliki.
Teologi inklusif hanya muncul di lingkungan Kristen dalam waktu belakangan. Ini merupakan respons terhadap teologi pluralis yang mulai merebak pada pertengahan kedua abad ke-20, dan di sisi lain menganggap klaim eksklusif sudah ketinggalan zaman.
Ada interpretasi baru yang dianggap lebih segar. Konsep penebusan dosa yang dilakukan Yesus Kristus meliputi seluruh dosa warisan anak Adam. Semua ummat manusia terbuka untuk ampunan Tuhan, meskipun mereka pengikut agama lain. Teologi ini kemudian diadopsi secara resmi dalam Konsili Vatikan II (1962-1965).
Tapi klaim kebenaran model ini tidak konsisten. Jika keselamatan dapat dicapai tanpa adanya koneksi apapun dengan gereja dan doktrin Kristen, apa artinya bersikeras memberikan label Kristen? Kenapa berbagai praktik Kristenisasi masih terus dilakukan? Atau inklusivisme hanyalah slogan kosong dengan maksud tertentu?
Di lingkungan Islam, sebetulnya juga ada upaya serupa. Di Indonesia pada awal tahun 1990-an muncul jargon “Islam inklusif”. Namun setelah diteliti secara seksama, kandungan pemikiran yang mereka maksudkan ternyata serupa dengan model pluralisme seperti di bawah ini.
Pluralisme yang Berbahaya
Pluralisme muncul dan berkembang dalam setting sosial-politik humanisme sekuler Barat yang bermuara pada lahirnya tatanan demokrasi liberal. Salah satu konstituen utamanya adalah pluralisme agama (yang oleh sebagian sosiolog diidentifikasi sebagai civil religion).
Pluralisme ingin tampil sebagai klaim kebenaran yang humanis, ramah, santun, toleran, cerdas, mencerahkan, demokratis, dan promising. Hal ini antara lain dikatakan oleh tokoh pluralis yang paling bertanggung jawab, John Hick.
Semua agama, yang teistik maupun non-teistik, dapat dianggap sebagai ruang atau jalan yang bisa memberi keselamatan, kebebasan, dan pencerahan. Semuanya valid, karena pada dasarnya semuanya merupakan respons otentik yang beragam terhadap the Real (hakikat ketuhanan) yang sama.
Dalam kenyataannya, klaim itu menjadi klaim ‘kebenaran relatif’ yang absolut. Tidak saja ingin merelatifkan klaim kebenaran agama yang ada—sehingga semua agama secara relatif sama—tapi juga sebetulnya ingin mengungguli klaim-klaim tersebut. Hanya klaim pluralisme saja yang mutlak benar.
Dengan merelatifkan klaim-klaim kebenaran yang ada berarti secara implisit—dan ini jarang disadari oleh kaum pluralis—telah menafikan, atau minimal mendegradasikan, kebenaran hakiki klaim-klaim tersebut. Pluralisme juga telah bertindak sebagai wasit sepakbola yang mengontrol dan menjaga ketertiban jalannya permainan, termasuk mengeluarkan kartu merah.
Klaim pluralisme membawa implikasi yang berbahaya bagi manusia. Baik itu menyangkut isu-isu yang bersifat teoretis, epistemologis, dan metodologis, sebagian bersifat ideologis dan teologis, dan sebagian lagi berhubungan dengan isu yang lebih praktis, yaitu HAM (hak-hak asasi manusia) –khususnya kebebasan beragama.
Gagasan pluralisme sulit menjawab pertanyaan yang sangat krusial, yaitu apakah benar-benar mampu memberikan solusi yang ramah terhadap konflik antar agama, sebagaimana yang diklaim oleh para penggagas dan penganjurnya? Atau malah menjadi problem baru dalam fenomena pluralitas keagamaan?
Tidak Bisa Dipertahankan Lagi
Istilah pluralisme agama selama ini difahami dan didesain dalam bingkai sekuler, liberal, dan logika Barat yang menampik hal-hal yang berbau metafisis. Ini adalah akar dari semua masalah. Agama dianggap sebagai respons manusia, atau sering pula disebut sebagai pengalaman keagamaan. Kemungkinan datangnya agama dari Tuhan atau Dzat yang Maha Agung dinafikan mentah-mentah.
Tokoh seperti Joachim Wach, seorang ahli perbandingan agama kontemporer, bahkan mendefinisikan konsep pengalaman keagamaan sebagai agama itu sendiri. Lahirlah kesimpulan akan persamaan semua agama secara penuh tanpa ada yang lebih benar daripada yang lain. Sebuah kesimpulan yang justru menyulitkan para penggagas dan penganjurnya, terutama yang beragama Kristen, karena muncul pertanyaan: apakah Kristen sama persis dengan agama-agama primitif dan paganis (penyembah berhala) yang kanibalistik?
Klaim ini juga mengerangkeng agama sehingga hanya boleh beroperasi di wilayah yang sangat sempit dan privat–yakni hubungan manusia dengan Tuhannya. Muncul pertanyaan lagi, apakah hubungan pribadi dengan sesuatu yang sakral dan metafisikal ini mempengaruhi dan membentuk perilaku manusia, baik dalam kehidupan individual maupun sosial, atau tidak?
Kajian-kajian modern yang dilakukan para ahli menguatkan adanya pengaruh tersebut. Joachim Wach misalnya, menyimpulkan bahwa manusia kapan saja dan dimana saja selalu ingin mengekspresikan pengalaman keagamaan. Sementara ahli perbandingan agama Ninian Smart dan anthropolog Clifford Geertz menegaskan tentang komprehensivitas agama yang mencakup seluruh dimensi kehidupan manusia.
Fakta-fakta di atas menguatkan komprehensivitas, inklusivitas, dan totalitas agama. Cakupannya tidak hanya terbatas pada apa yang disebut institusi agama, melainkan juga seluruh falsafah hidup yang dikenal manusia.
Otomatis, konsep dikotomisasi realitas: agama-negara, sakral-profan, dan individu-publik, menjadi tak tepat dan tak akurat. Di Barat sendiri kini ada kajian-kajian ilmiah yang mengkritisi akurasi konsep ini. Hasilnya, dikotomisasi tidak mungkin bisa dipertahankan di depan bukti-bukti dan fakta-fakta objektif dari perkembangan sosio-politis kontemporer.
Di sisi lain, terminologi pluralisme di Barat telah mengalami perubahan yang sangat fundamental, sehingga sama dan sebangun dengan demokrasi, yakni penegasan tentang kebebasan, toleransi persamaan, dan koeksistensi. Namun, konsep yang secara teoretis sangat agung dan toleran ini, pada dataran praktis cenderung menunjukkan perilaku intoleran dan memberangus HAM. Kata Muhammad Imarah, “Barat telah memaksa yang lain untuk mengikutinya secara kultur maupun pemikiran… dan untuk melepaskan sejarah, kultur, dan referensi keagamaan dan intelektual mereka masing-masing.” Barat tidak ingin membiarkan yang lain menjadi dirinya sendiri.
Muncullah kesadaran bahwa konsep pluralisme tidak boleh hanya tunduk pada interpretasi tunggal (baca: Barat). Kata John O Voll, “Terdapat kesadaran yang semakin meningkat bahwa konsep ‘pluralisme’, yang merupakan fokus wacana-wacana masa kini, adalah tunduk pada pemahaman yang beragam.” John D’Arcy May juga menyatakan perlunya keragaman dalam membaca dan memaknai konsep ini.
Alhasil, konsep pluralisme yang menganggap semua agama sama saja, tak mungkin bisa dipertahankan. Juga tak mungkin bisa dipraktikkan dalam kehidupan nyata tanpa memberangus HAM.*
Penulis adalah dosen Ilmu Perbandingan Agama pada International Islamic University dan pengusur NU Malaysia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar