Oleh: Kholili Hasib
BULAN Ramadhan sesungguhnya layak disebut bulan ilmu sekaligus bulan peradaban dalam tradisi Islam. Bulan ilmu, sebab di bulan suci ini Allah SWT untuk pertama kali menyeru manusia untuk ‘membaca’ (iqra’) melalui ayat pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Bulan peradaban, sebab peradaban Islam itu terbentuk dari sebuah tradisi ilmu yang dilakukan oleh individu-individu yang bersih hatinya. Ramadlan merupakan ‘madrasah’ untuk membersihkan hati manusia dan membakar (ramadl) kotoran dosa.
Masyarakat berperadaban itu dibentuk dari individu beradab (insan adabi). Ia digerakkan secara dinamis oleh tradisi ilmu. Di zaman Rasulullah SAW, dinamika dan pergerakan tradisi ilmu lebih marak pada setiap bulan suci Ramadlan.
Teladan Ahlu Suffah
Dinamika komunitas para pengkaji ilmu itu dimotori oleh sahabat-sahabat kenamaan yang biasa dikenal dengan ashabu al-suffah. Seperti Abu Hurairah, Abu Dzar al-Ghifari, Salman al-Farisi, dan Abdullah bin Mas’ud. Para sahabat yang biasa tinggal di teras masji Nabawiy ini pada bulan Ramadlan lebih banyak mengkaji kandungan ayat-ayat al-Qur’an. Mendiskusikan makna-maknanya sekaligus menghafal ayat dan tafsirannya.
Komunitas ahlu suffah tersebut ternyata memberi kontribusi besar dalam membentuk masyarakat madani di Madinah. Kelompok sahabat yang berasal dari sahabat muhajirin yang berjumlah 70 orang (sebagaian riwayat menyebut berjumlah 51 orang) mengabdikan diri khusus untuk mengkaji ilmu dan ibadah. Di antara mereka kemudian menjadi ilmuan-ilmuan yang menyokong berdirinya masyarakat Islami (al-mujtama’ al-Islamiy) yaitu masyarakat bertamaddun. Di antaranya adalah Abu Hurairah, Khudzaifan bin Yaman, Abdullah bin Mas’ud dan lain-lain (Al-Mujtama’ al-Madani Fi ‘Ahdi al-Nubuwwah, hal. 96).
Dr. Ikram Dliya’ dalam Al-Mujtama’ al-Madani Fi ‘Ahdi al-Nubuwwah mengatakan para ahlu suffah tersebut adalah orang-orang zuhud, sederhana, tapi tekun mengkaji ilmu dan memiliki semangat yang tinggi dalam jihad. Digambarkan, bahwa mereka tidak berlebih-lebihan dalam makan, dan hatinya dikonsentrasikan secara penuh untuk ibadah, ilmu dan jihad. Mereka penghafal hadis yang baik, selalu mendiskusikan persoalan-persoalan ilmu kepada Rasulullah SAW dan sahabat lainnya.
Dalam konteks bulan Ramadlan ada beberapa hal yang patut dicontoh dari para sahabat ahlu suffah tersebut. Yakni, kekuatan menahan dorongan nafsu, tradisi ilmu, dan ketangguhan mereka dalam upaya mengubah masyarakat menjadi masyarakat beradab.
Para ahlu suffah merupakan contoh karakter manusia-manusia yang siap menjadi ilmuan muslim yang tangguh. Yaitu, mereka tidak berlebih-lebihan dalam hidupnya. Makan secukupnya, hati ditata menjadi bersih. Dalam kehidupan mereka, seakan-akan setiap harinya itu adalah Ramadlan. Mereka begitu kuat menahand dorongan nafsu. Baik nafsu makan, atau pun nafsu yang merusakkan hati.
Karakter inilah yang siap dalam mendalami ilmu. Yakni jiwa yang bersih dan khudu’ pada Tuhan. Imam al-Zarnuji dalam mengatakan “penyebab lupa adalah perbuatan maksiat dan banyak dosa”. Sedangkan lupa adalah tanda pudarnya ilmu.
Keseriusan mereka dalam menuntut ilmu pada akhirnya menjadikan beberapa di antaranya menjadi pakar. Sehingga mereka menyumbang dalam upaya membangun masyarakat Islami yang beradab di madinah.
Masyarakat Beradab
Maka, sebuah peradaban dengan tata sosial yang madani perlu dipersiapkan individu-individu ideal dengan mengaca pada tradisi yang pernah dilakukan oleh ahl al-suffah. Bagi mereka, semangat Ramadlan itu tidak harus menunggu setahun sekali. Akan tetapi Ramadlan bagi mereka adalah setiap hari. Semangat yang ditunjukkan adalah semangat mengembangkan tradisi ilmu, mengidentifikasi problema masyarakat, menahan nafsu, dan menjaga hati untuk selalu ingat pada-Nya.
Seperti yang dipahami oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas, insan adabi adalah individu yang sadar sepenuhnya akan individualitasnya dan hubungannya yang tepat dengan diri, Tuhan, masyarakat, dan alam yang tampak maupun yang gaib. Artinya ia menjadi sholih secara individual maupun secara sosial. Seorang muslim yang baik, tegas al-Attas, yaitu seorang yang harus dapat melaksanakan tanggung jawabnya kepada keluarga dan masyarakat.
Tanggung jawab itu meliputi tanggung jawab sosial dan tanggung jawab primordial. Yaitu dapat dilakukan dengan memenuhi apa saja yang dibutuhkan, baik kebutuhan materi maupun kebutuhan ruhani. Menjaga kebutuhan sehari-hari juga menjag mereka dari api neraka. Amar ma’ruf nahi munkar adalah konsep yang sengaja dipersiapkan untuk menjaga tata sosial masyarakat itu berjalan sesuai aturannya.
Makanya di bulan Ramadlan itu seorang muslim diwajibkan mengeluarkan zakat. Ini merupakan manfestasi dari pembelajaran akan tanggung jawab sosialnya kepada masyarakat. Di samping mereka diajarkan untuk memberi asupan ruhani dan pembelajaran ilmu kepada orang disekitarnya. Maka, tiap individu diajarkan dasar-dasar akidah sekaligus tanggung jawab sosialnya.
Sehingga, dalam tata sosial masyarakat Islam, tiap individu muslim harus memiliki karakter teologis yang kuat. Menurut teori sosiologi Islami Ibn Khaldun, Agama memikiliki peran sosial yang sangat penting dan positif. Ia dapat meredakan pertikaian yang disebabkan oleh iri hati kepada golongan lain. Agama dapat melenyapkan sifat kasar, sombong, dan melatih untuk menguasai hati. Apabila individu-individu religius itu berkumpul menjadi satu akan membentuk kesatuan sosial dan memperoleh kemenangan dan kedaulatan.
Kata Sayyib Qutb, Masyarakat Islami tidak terbentuk tanpa pembelajaran ilmu akidah yang benar. Akidah dalam masyarakat Islam menjadi pedoman dasar dalam mengatur aspek-aspek kehidupan, seperti ekonomi, politik dan aspek-aspek lainnya (Nahwa Mujtama’ al-Islamiy, hal. 139).
Oleh sebab itu, momen Ramadlan merupakan waktu yang tidak salah dalam rangka upaya membangun masyarakat yang beradab. Sebab, bulan ini layaknya madrasah yang dipersiapkan untuk mencetak individu-individu beradab (insan adabi). Suasan bulan suci dengan semarak ibadah dan mengaji sangat mendukung. Masyarakat muslim lebih taat ibadah pada bulan ini. Dan kemaksiatan relative berkurang.
Suasana yang demikian sesunggunya suasana yang dicita-citak peradaban Islam.
Selain itu tradisi Ramadlan di beberapa pesantren yang diisi dengan mengkhatamkan kitab-kitab turats adalah tradisi pembangkit peradaban yang perlu dipelihara. Makanya sesunggunya tepat bila dikatakan Ramadlan adalah bulan ilmu dan bulan peradaban Islam.*
Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Institut Studi Islam (ISID) Gontor Ponorogo Jurusan Ilmu Akidah
Red: Cholis Akbar
BULAN Ramadhan sesungguhnya layak disebut bulan ilmu sekaligus bulan peradaban dalam tradisi Islam. Bulan ilmu, sebab di bulan suci ini Allah SWT untuk pertama kali menyeru manusia untuk ‘membaca’ (iqra’) melalui ayat pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Bulan peradaban, sebab peradaban Islam itu terbentuk dari sebuah tradisi ilmu yang dilakukan oleh individu-individu yang bersih hatinya. Ramadlan merupakan ‘madrasah’ untuk membersihkan hati manusia dan membakar (ramadl) kotoran dosa.
Masyarakat berperadaban itu dibentuk dari individu beradab (insan adabi). Ia digerakkan secara dinamis oleh tradisi ilmu. Di zaman Rasulullah SAW, dinamika dan pergerakan tradisi ilmu lebih marak pada setiap bulan suci Ramadlan.
Teladan Ahlu Suffah
Dinamika komunitas para pengkaji ilmu itu dimotori oleh sahabat-sahabat kenamaan yang biasa dikenal dengan ashabu al-suffah. Seperti Abu Hurairah, Abu Dzar al-Ghifari, Salman al-Farisi, dan Abdullah bin Mas’ud. Para sahabat yang biasa tinggal di teras masji Nabawiy ini pada bulan Ramadlan lebih banyak mengkaji kandungan ayat-ayat al-Qur’an. Mendiskusikan makna-maknanya sekaligus menghafal ayat dan tafsirannya.
Komunitas ahlu suffah tersebut ternyata memberi kontribusi besar dalam membentuk masyarakat madani di Madinah. Kelompok sahabat yang berasal dari sahabat muhajirin yang berjumlah 70 orang (sebagaian riwayat menyebut berjumlah 51 orang) mengabdikan diri khusus untuk mengkaji ilmu dan ibadah. Di antara mereka kemudian menjadi ilmuan-ilmuan yang menyokong berdirinya masyarakat Islami (al-mujtama’ al-Islamiy) yaitu masyarakat bertamaddun. Di antaranya adalah Abu Hurairah, Khudzaifan bin Yaman, Abdullah bin Mas’ud dan lain-lain (Al-Mujtama’ al-Madani Fi ‘Ahdi al-Nubuwwah, hal. 96).
Dr. Ikram Dliya’ dalam Al-Mujtama’ al-Madani Fi ‘Ahdi al-Nubuwwah mengatakan para ahlu suffah tersebut adalah orang-orang zuhud, sederhana, tapi tekun mengkaji ilmu dan memiliki semangat yang tinggi dalam jihad. Digambarkan, bahwa mereka tidak berlebih-lebihan dalam makan, dan hatinya dikonsentrasikan secara penuh untuk ibadah, ilmu dan jihad. Mereka penghafal hadis yang baik, selalu mendiskusikan persoalan-persoalan ilmu kepada Rasulullah SAW dan sahabat lainnya.
Dalam konteks bulan Ramadlan ada beberapa hal yang patut dicontoh dari para sahabat ahlu suffah tersebut. Yakni, kekuatan menahan dorongan nafsu, tradisi ilmu, dan ketangguhan mereka dalam upaya mengubah masyarakat menjadi masyarakat beradab.
Para ahlu suffah merupakan contoh karakter manusia-manusia yang siap menjadi ilmuan muslim yang tangguh. Yaitu, mereka tidak berlebih-lebihan dalam hidupnya. Makan secukupnya, hati ditata menjadi bersih. Dalam kehidupan mereka, seakan-akan setiap harinya itu adalah Ramadlan. Mereka begitu kuat menahand dorongan nafsu. Baik nafsu makan, atau pun nafsu yang merusakkan hati.
Karakter inilah yang siap dalam mendalami ilmu. Yakni jiwa yang bersih dan khudu’ pada Tuhan. Imam al-Zarnuji dalam mengatakan “penyebab lupa adalah perbuatan maksiat dan banyak dosa”. Sedangkan lupa adalah tanda pudarnya ilmu.
Keseriusan mereka dalam menuntut ilmu pada akhirnya menjadikan beberapa di antaranya menjadi pakar. Sehingga mereka menyumbang dalam upaya membangun masyarakat Islami yang beradab di madinah.
Masyarakat Beradab
Maka, sebuah peradaban dengan tata sosial yang madani perlu dipersiapkan individu-individu ideal dengan mengaca pada tradisi yang pernah dilakukan oleh ahl al-suffah. Bagi mereka, semangat Ramadlan itu tidak harus menunggu setahun sekali. Akan tetapi Ramadlan bagi mereka adalah setiap hari. Semangat yang ditunjukkan adalah semangat mengembangkan tradisi ilmu, mengidentifikasi problema masyarakat, menahan nafsu, dan menjaga hati untuk selalu ingat pada-Nya.
Seperti yang dipahami oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas, insan adabi adalah individu yang sadar sepenuhnya akan individualitasnya dan hubungannya yang tepat dengan diri, Tuhan, masyarakat, dan alam yang tampak maupun yang gaib. Artinya ia menjadi sholih secara individual maupun secara sosial. Seorang muslim yang baik, tegas al-Attas, yaitu seorang yang harus dapat melaksanakan tanggung jawabnya kepada keluarga dan masyarakat.
Tanggung jawab itu meliputi tanggung jawab sosial dan tanggung jawab primordial. Yaitu dapat dilakukan dengan memenuhi apa saja yang dibutuhkan, baik kebutuhan materi maupun kebutuhan ruhani. Menjaga kebutuhan sehari-hari juga menjag mereka dari api neraka. Amar ma’ruf nahi munkar adalah konsep yang sengaja dipersiapkan untuk menjaga tata sosial masyarakat itu berjalan sesuai aturannya.
Makanya di bulan Ramadlan itu seorang muslim diwajibkan mengeluarkan zakat. Ini merupakan manfestasi dari pembelajaran akan tanggung jawab sosialnya kepada masyarakat. Di samping mereka diajarkan untuk memberi asupan ruhani dan pembelajaran ilmu kepada orang disekitarnya. Maka, tiap individu diajarkan dasar-dasar akidah sekaligus tanggung jawab sosialnya.
Sehingga, dalam tata sosial masyarakat Islam, tiap individu muslim harus memiliki karakter teologis yang kuat. Menurut teori sosiologi Islami Ibn Khaldun, Agama memikiliki peran sosial yang sangat penting dan positif. Ia dapat meredakan pertikaian yang disebabkan oleh iri hati kepada golongan lain. Agama dapat melenyapkan sifat kasar, sombong, dan melatih untuk menguasai hati. Apabila individu-individu religius itu berkumpul menjadi satu akan membentuk kesatuan sosial dan memperoleh kemenangan dan kedaulatan.
Kata Sayyib Qutb, Masyarakat Islami tidak terbentuk tanpa pembelajaran ilmu akidah yang benar. Akidah dalam masyarakat Islam menjadi pedoman dasar dalam mengatur aspek-aspek kehidupan, seperti ekonomi, politik dan aspek-aspek lainnya (Nahwa Mujtama’ al-Islamiy, hal. 139).
Oleh sebab itu, momen Ramadlan merupakan waktu yang tidak salah dalam rangka upaya membangun masyarakat yang beradab. Sebab, bulan ini layaknya madrasah yang dipersiapkan untuk mencetak individu-individu beradab (insan adabi). Suasan bulan suci dengan semarak ibadah dan mengaji sangat mendukung. Masyarakat muslim lebih taat ibadah pada bulan ini. Dan kemaksiatan relative berkurang.
Suasana yang demikian sesunggunya suasana yang dicita-citak peradaban Islam.
Selain itu tradisi Ramadlan di beberapa pesantren yang diisi dengan mengkhatamkan kitab-kitab turats adalah tradisi pembangkit peradaban yang perlu dipelihara. Makanya sesunggunya tepat bila dikatakan Ramadlan adalah bulan ilmu dan bulan peradaban Islam.*
Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Institut Studi Islam (ISID) Gontor Ponorogo Jurusan Ilmu Akidah
Red: Cholis Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar