Hidayatullah.com--Yobbi Ensel sengaja memperdengarkan rekaman orang Yahudi di Israel membacakan kitab Torah (Taurat dalam bahasa Arab). Suaranya mirip orang mengaji. “Tetangga-tetangga saya yang Muslim senang mendengarkan ini,” katanya dengan logat Manado yang kental sebagaimana dikutip Tempointeraktif, Kamis, 13 Oktober 2011, di rumah seorang keturunan Yahudi di kawasan Bekasi, Jawa Barat.
Lelaki 37 tahun ini adalah pemimpin komunitas Yahudi di Manado yang beranggotakan 30 orang dewasa. Berbeda dengan orang-orang Indonesia keturunan Yahudi lainnya yang menutup identitas asli mereka, Yobbi malah terbuka.
“Lingkungan dekat rumah saya tahu saya ini berdarah Yahudi.”
Mungkin saja ia berani karena situasi di Manado yang didominasi non-muslim kondusif. Di sana sudah berdiri sebuah sinagoge. Bahkan, pemerintah daerah setempat juga membangun sebuah menorah terbesar di dunia untuk menarik wisatawan asing. Informasi yang beredar pun menyebutkan bendera Israel bertebaran.
Yobbi mendapat darah Yahudi dari ayahnya (Jonathan Hatti Ensel) dan ibunya (Yureine Andasia). Mereka adalah Yahudi Portugis. Namun, karena situasi tidak memungkinkan, sejak kecil ia diajarkan agama Nasrani.
Ayah dua anak ini baru sadar bahwa ia keturunan Yahudi. Karena itu, ia mulai belajar dan mempraktekkan ajaran Yudaisme. Ketika ayah dan kakeknya meninggal, keduanya dikuburkan dengan prosesi menurut agama Yahudi.
“Tidak ada kebanggaan. Saya lebih suka menjadi non-Yahudi (goyim) karena menjadi Yahudi itu tanggung jawabnya besar.
Lain halnya dengan Benjamin Verbrugge, Ketua the United Indonesian Jewish Community (UIJC). Ayah lima anak ini menutup rapat-rapat identitasnya sebagai keturunan Yahudi. Pedagang kopi ini berayahkan seorang jaksa muslim (Agus Sudarsono) dan ibu seorang Yahudi Belgia
Ia hidup bebas tanpa ajaran agama, bahkan tidak pernah mempraktetakan salat. Ia mengaku pernah diajarkan mengaji, tapi sekarang sudah lupa. Ayahnya menganut Islam kejawen.
“Saya hanya sering melihat ia salat Zuhur dan Isya. Ibu saya paling-paling hanya dua kali setahun ke gereja,” katanya. Ibunya sangat sekuler. Ia cuma datang untuk kumpul-kumpul, seperti pada perayaan Natal.
Pria 40 tahun ini mulai diberitahu oleh kakek dari ibunya (Benjamin Meiers Verbrugge) soal identitas rahasia mereka saat ia berusia lima tahun.
“Saya adalah orang Jerman turunan Yahudi. Kamu bisa lihat dari hidung saya,” ujar Verbrugge menirukan ucapan opanya itu. Ketika itu, mereka sedang merayakan Natal. Umur 14 tahun, ia pun disunat sesuai ajaran Yahudi.
Sejak 2003, Verbrugge mulai serius mendalami agama Yahudi, termasuk mengikuti berbagai seminar yang membahas Torah. Hanya saja, ia mengaku masih sulit untuk menjadi seorang Yahudi religius.
Bersama Yokhanan Eliahu, pria keturunan Yahudi Turki yang menetap di Kudus, Jawa Tengah, Verbrugge mendirikan UIJC yang diresmikan Oktober tahun lalu. Ia memperkirakan ada hampir 2.000 orang Indonesia keturunan Yahudi yang tersebar merata di seluruh Tanah Air.
Ia mengaku amat senang dengan sudah terbinanya hubungan ekonomi antara Indonesia dan Israel. Walhasil, mereka bisa membeli perlengkapan beribadah langsung dari negara Yahudi itu.
“Diberikatilah kantor pos, agen kurir, sampai bea cukai yang meloloskan barang-barang itu tanpa ada biaya apapun,” ujarnya.
Yokhanan Eliahu mendapat darah Yahudi dari bapaknya yang keturunan Turki. Sejak 2005, ia mulai mempelajari ajaran Yudaisme melalui Internet.
“Saya merasa sreg dengan Yudaisme. Akar dari Nasrani adalah Yudaisme,” ujar pria 39 tahun ini.
Sedangkan Marlina Van der Stoop Pardede, 60 tahun, memeluk Yudaisme lantaran menikah dengan lelaki Belanda keturunan Yahudi. Dialah yang mendanai pendirian sinagoge di Manado, Namun, ia menolak membuka berapa fulus yang digelontorkan untuk itu.
Ia mulai tertarik agama Yahudi setelah suaminya mendapat wangsit untuk mendirikan sebuah sinagoge di Indonesia bagian timur.
“Saya merasa tenang dan dekat dengan Tuhan setelah mendalami Yudaisme,” katanya.
Verbrugge, Yobbi, Yokhanan, dan Marlina sama-sama pernah berkunjung dan bahkan tinggal di Israel.
Orang Yahudi sembahyang tiga kali sehari, yakni Sacharit (pagi), Mischa (petang), dan Maariv (malam). Perlengkapan sembahyangnya berupa tallit (syal), tallit chotan (kaus dalam berwarna putih), dan kippa (peci). Selama bersembahyang, mereka membaca 18 ayat.
Tiap bayi yang baru lahir dibacakan syahadat ala Yahudi di telinga kiri. Bunyinya: “Shema Yisrael, adonai eloheinu adonai ehad” (Dengarkanlah Israel, Tuhan kita adalah Tuhan yang satu).
Sang bayi tidak boleh menginjak tanah hingga usia tujuh bulan. Jika sudah sampai umur itu, ada upacara di mana dua kaki bayi diletakkan di atas Torah sebelum menginjak tanah. Torah itu lantas diperlihatkan kepada sang bayi. Seperti Islam, lelaki Yahudi juga wajid disunat. Mereka juga harus makan dan minum halal (kosher).
Komnunitas Yahudi di Indonesia sebenarnya sudah ada sejak lama. Profesor Rotem Kowner dari Universitas Haifa, Israel, mengungkapkan orang Yahudi pertama yang bermukim di Indonesia adalah seorang saudagar dari Fustat, Mesir.
“Ia meninggal di Pelabuhan Barus, barat daya Sumatera pada 1290,” ujarnya. Sejak 2003, Kowner sudah meneliti sejarah komunitas Yahudi di Indonesia.
Ia bahkan yakin, orang-orang Yahudi yang sudah memeluk agama Nasrani juga ikut dalam rombongan kapal Portugis yang mendarat di Nusantara pada awal abad ke-16. Orang-orang Yahudi ini menetap di sekitar Selat Malaka, pantai utara Sumatera, dan Pulau Jawa.
Kedatangan orang-orang Yahudi ke Indonesia terus berlangsung seiring masuknya dua perusahaan Belanda: the Dutch East India Company (VOC) dan the Dutch West Indian Company (WIC) pada 1602. Salah satunya, seorang prajurit Belanda kelahiran Ukraina, Leendert Miero (1755-1834) yang tiba pada 1775. Ia menjelma menjadi tuan tanah di Pondok Gede (sekarang daerah perbatasan antara Jakarta Timur dan Bekasi).
Setelah itu muncul Jacob Saphir (1822-1886) yang mampir selama tujuh pekan dalam perjalanannya ke Australia pada 1861. Pelancong Yahudi keturunan Rumania ini melaporkan terdapat sejumlah orang Yahudi di Batavia, Surabaya, dan Semarang. Namun, tidak ditemukan komunitas Yahudi.
Saphir mencatat, terdapat sedikitnya 20 keluarga Yahudi di Batavia yang merupakan keturunan Belanda dan Jerman. Mereka berprofesi sebagai pedagang, pegawai pemerintah, dan serdadu Hindia Belanda. Namun, tidak ada sinagoge atau kuburan khusus orang Yahudi saat itu.
Pada 1921, seorang penyandang dana Zionis, Israel Cohen, mendarat di Jawa dalam kunjungan lima hari. Ia memperkirakan saat itu terdapat sekitar 2.000 orang Yahudi yang tinggal di Pulau Jawa.
Komunitas Yahudi mulai muncul pada 1920-an dengan munculnya the Association for Jewish Interests in the Dutch East Indies dan the World Zionist Conferemce (WZC) yang memiliki cabang di Batavia, Bandung, Malang, Medan, Padang, Semarang, dan Yogyakarta. WZC yang berpusat di London ini berdiri pada 1920 dan merupakan organisasi pencari dana bagi gerakan Zionis. Sebuah majalah bulanan bernama Erets Israel terbit di Padang sejak 1926 hingga ditutup oleh Jepang pada 1942.
Pemerintah Hindia Belanda pernah melakukan sensus pada 1930 yang menyebutkan terdapat 1.039 orang Yahudi. Kebanyakan tinggal di Jawa (lebih dari 85 persen), Sumatera (11 persen), dan di beberapa pulau (kurang dari 4 persen). Menjelang Perang Pasifik (1941-1945), jumlah orang Yahudi di Indonesia mencapai puncaknya, yakni sekitar 3.000 orang.
Kaum Yahudi di Indonesia ini terdiri dari tiga golongan. Pertama, orang-orang Yahudi berkewarganegaraan Belanda yang dipekerjakan oleh pemerintah kolonial sebagai penjaga toko, tentara, guru, dan dokter. Kelompok kedua adalah Yahudi Bagdadi yang berasal dari Irak, Yaman, dan negara lain di Timur Tengah. Mereka kebanyakan tinggal di Surabaya dan bekerja sebagai pengusaha ekspor-impor, penjaga toko, pedagang asongan, serta tukang kayu dan batu. Golongan ketiga adalah Yahudi pengungsi yang lari dari kejaran Nazi. Mereka dari Jerman, Austria, dan Eropa Timur.
Yahudi Bagdadi dikenal religius, bahkan banyak yang ultraortodoks. Sedangkan Yahudi Belanda sering berasimilasi walau tetap menjaga tradisi Yahudi. Beberapa di antaranya menyembunyikan identitas Yahudi mereka dan menikah dengan perempuan Kristen Eropa atau gadis Indonesia.
Secara ekonomi, orang-orang Yahudi ini hidup makmur. Mereka mempekerjakan orang-orang asli Indonesia sebagai pembantu, tukang masak, dan sopir. Pendapatan per kapita mereka 4.017 guilder ketimbang pribumi yang cuma 78 guilder.
“Kami mempunyai sebuah mobil sport,” kata Dr Eli Dwek yang pernah tinggal di Surabaya semasa kecil.
Setelah Indonesia merdeka, komunitas Yahudi mulai menurun. Menurut laporan Kongres Yahudi Sedunia (WJC) yang keluar beberapa hari setelah pengsuran orang-orang Belanda, terdapat sekitar 450 orang Yahudi di Indonesia pada November 1957. Enam tahun kemudian jumlahnya terus merosot menjadi 50 orang. Kini diperkirakan hanya 20 orang.
Namun, sekarang komunitas Yahudi mulai bangkit dengan berdirinya menorah raksasa dan dua sinagoge di kota Manado dan Tondano, Sulawesi Utara. Kelompok ini dipimpin oleh Rabbi Yaakov Baruch. “Kami berupaya menjadi Yahudi yang baik,” kata Rabbi Yaakov.
Menorah ini juga menjadi lambang dari Mossad (dinas rahasia luar negeri Israel).*
Keterangan Foto: Benjamin Verbrugge dan Yobbi Ensel (tempo)
Lelaki 37 tahun ini adalah pemimpin komunitas Yahudi di Manado yang beranggotakan 30 orang dewasa. Berbeda dengan orang-orang Indonesia keturunan Yahudi lainnya yang menutup identitas asli mereka, Yobbi malah terbuka.
“Lingkungan dekat rumah saya tahu saya ini berdarah Yahudi.”
Mungkin saja ia berani karena situasi di Manado yang didominasi non-muslim kondusif. Di sana sudah berdiri sebuah sinagoge. Bahkan, pemerintah daerah setempat juga membangun sebuah menorah terbesar di dunia untuk menarik wisatawan asing. Informasi yang beredar pun menyebutkan bendera Israel bertebaran.
Yobbi mendapat darah Yahudi dari ayahnya (Jonathan Hatti Ensel) dan ibunya (Yureine Andasia). Mereka adalah Yahudi Portugis. Namun, karena situasi tidak memungkinkan, sejak kecil ia diajarkan agama Nasrani.
Ayah dua anak ini baru sadar bahwa ia keturunan Yahudi. Karena itu, ia mulai belajar dan mempraktekkan ajaran Yudaisme. Ketika ayah dan kakeknya meninggal, keduanya dikuburkan dengan prosesi menurut agama Yahudi.
“Tidak ada kebanggaan. Saya lebih suka menjadi non-Yahudi (goyim) karena menjadi Yahudi itu tanggung jawabnya besar.
Lain halnya dengan Benjamin Verbrugge, Ketua the United Indonesian Jewish Community (UIJC). Ayah lima anak ini menutup rapat-rapat identitasnya sebagai keturunan Yahudi. Pedagang kopi ini berayahkan seorang jaksa muslim (Agus Sudarsono) dan ibu seorang Yahudi Belgia
Ia hidup bebas tanpa ajaran agama, bahkan tidak pernah mempraktetakan salat. Ia mengaku pernah diajarkan mengaji, tapi sekarang sudah lupa. Ayahnya menganut Islam kejawen.
“Saya hanya sering melihat ia salat Zuhur dan Isya. Ibu saya paling-paling hanya dua kali setahun ke gereja,” katanya. Ibunya sangat sekuler. Ia cuma datang untuk kumpul-kumpul, seperti pada perayaan Natal.
Pria 40 tahun ini mulai diberitahu oleh kakek dari ibunya (Benjamin Meiers Verbrugge) soal identitas rahasia mereka saat ia berusia lima tahun.
“Saya adalah orang Jerman turunan Yahudi. Kamu bisa lihat dari hidung saya,” ujar Verbrugge menirukan ucapan opanya itu. Ketika itu, mereka sedang merayakan Natal. Umur 14 tahun, ia pun disunat sesuai ajaran Yahudi.
Sejak 2003, Verbrugge mulai serius mendalami agama Yahudi, termasuk mengikuti berbagai seminar yang membahas Torah. Hanya saja, ia mengaku masih sulit untuk menjadi seorang Yahudi religius.
Bersama Yokhanan Eliahu, pria keturunan Yahudi Turki yang menetap di Kudus, Jawa Tengah, Verbrugge mendirikan UIJC yang diresmikan Oktober tahun lalu. Ia memperkirakan ada hampir 2.000 orang Indonesia keturunan Yahudi yang tersebar merata di seluruh Tanah Air.
Ia mengaku amat senang dengan sudah terbinanya hubungan ekonomi antara Indonesia dan Israel. Walhasil, mereka bisa membeli perlengkapan beribadah langsung dari negara Yahudi itu.
“Diberikatilah kantor pos, agen kurir, sampai bea cukai yang meloloskan barang-barang itu tanpa ada biaya apapun,” ujarnya.
Yokhanan Eliahu mendapat darah Yahudi dari bapaknya yang keturunan Turki. Sejak 2005, ia mulai mempelajari ajaran Yudaisme melalui Internet.
“Saya merasa sreg dengan Yudaisme. Akar dari Nasrani adalah Yudaisme,” ujar pria 39 tahun ini.
Sedangkan Marlina Van der Stoop Pardede, 60 tahun, memeluk Yudaisme lantaran menikah dengan lelaki Belanda keturunan Yahudi. Dialah yang mendanai pendirian sinagoge di Manado, Namun, ia menolak membuka berapa fulus yang digelontorkan untuk itu.
Ia mulai tertarik agama Yahudi setelah suaminya mendapat wangsit untuk mendirikan sebuah sinagoge di Indonesia bagian timur.
“Saya merasa tenang dan dekat dengan Tuhan setelah mendalami Yudaisme,” katanya.
Verbrugge, Yobbi, Yokhanan, dan Marlina sama-sama pernah berkunjung dan bahkan tinggal di Israel.
Orang Yahudi sembahyang tiga kali sehari, yakni Sacharit (pagi), Mischa (petang), dan Maariv (malam). Perlengkapan sembahyangnya berupa tallit (syal), tallit chotan (kaus dalam berwarna putih), dan kippa (peci). Selama bersembahyang, mereka membaca 18 ayat.
Tiap bayi yang baru lahir dibacakan syahadat ala Yahudi di telinga kiri. Bunyinya: “Shema Yisrael, adonai eloheinu adonai ehad” (Dengarkanlah Israel, Tuhan kita adalah Tuhan yang satu).
Sang bayi tidak boleh menginjak tanah hingga usia tujuh bulan. Jika sudah sampai umur itu, ada upacara di mana dua kaki bayi diletakkan di atas Torah sebelum menginjak tanah. Torah itu lantas diperlihatkan kepada sang bayi. Seperti Islam, lelaki Yahudi juga wajid disunat. Mereka juga harus makan dan minum halal (kosher).
Komnunitas Yahudi di Indonesia sebenarnya sudah ada sejak lama. Profesor Rotem Kowner dari Universitas Haifa, Israel, mengungkapkan orang Yahudi pertama yang bermukim di Indonesia adalah seorang saudagar dari Fustat, Mesir.
“Ia meninggal di Pelabuhan Barus, barat daya Sumatera pada 1290,” ujarnya. Sejak 2003, Kowner sudah meneliti sejarah komunitas Yahudi di Indonesia.
Ia bahkan yakin, orang-orang Yahudi yang sudah memeluk agama Nasrani juga ikut dalam rombongan kapal Portugis yang mendarat di Nusantara pada awal abad ke-16. Orang-orang Yahudi ini menetap di sekitar Selat Malaka, pantai utara Sumatera, dan Pulau Jawa.
Kedatangan orang-orang Yahudi ke Indonesia terus berlangsung seiring masuknya dua perusahaan Belanda: the Dutch East India Company (VOC) dan the Dutch West Indian Company (WIC) pada 1602. Salah satunya, seorang prajurit Belanda kelahiran Ukraina, Leendert Miero (1755-1834) yang tiba pada 1775. Ia menjelma menjadi tuan tanah di Pondok Gede (sekarang daerah perbatasan antara Jakarta Timur dan Bekasi).
Setelah itu muncul Jacob Saphir (1822-1886) yang mampir selama tujuh pekan dalam perjalanannya ke Australia pada 1861. Pelancong Yahudi keturunan Rumania ini melaporkan terdapat sejumlah orang Yahudi di Batavia, Surabaya, dan Semarang. Namun, tidak ditemukan komunitas Yahudi.
Saphir mencatat, terdapat sedikitnya 20 keluarga Yahudi di Batavia yang merupakan keturunan Belanda dan Jerman. Mereka berprofesi sebagai pedagang, pegawai pemerintah, dan serdadu Hindia Belanda. Namun, tidak ada sinagoge atau kuburan khusus orang Yahudi saat itu.
Pada 1921, seorang penyandang dana Zionis, Israel Cohen, mendarat di Jawa dalam kunjungan lima hari. Ia memperkirakan saat itu terdapat sekitar 2.000 orang Yahudi yang tinggal di Pulau Jawa.
Komunitas Yahudi mulai muncul pada 1920-an dengan munculnya the Association for Jewish Interests in the Dutch East Indies dan the World Zionist Conferemce (WZC) yang memiliki cabang di Batavia, Bandung, Malang, Medan, Padang, Semarang, dan Yogyakarta. WZC yang berpusat di London ini berdiri pada 1920 dan merupakan organisasi pencari dana bagi gerakan Zionis. Sebuah majalah bulanan bernama Erets Israel terbit di Padang sejak 1926 hingga ditutup oleh Jepang pada 1942.
Pemerintah Hindia Belanda pernah melakukan sensus pada 1930 yang menyebutkan terdapat 1.039 orang Yahudi. Kebanyakan tinggal di Jawa (lebih dari 85 persen), Sumatera (11 persen), dan di beberapa pulau (kurang dari 4 persen). Menjelang Perang Pasifik (1941-1945), jumlah orang Yahudi di Indonesia mencapai puncaknya, yakni sekitar 3.000 orang.
Kaum Yahudi di Indonesia ini terdiri dari tiga golongan. Pertama, orang-orang Yahudi berkewarganegaraan Belanda yang dipekerjakan oleh pemerintah kolonial sebagai penjaga toko, tentara, guru, dan dokter. Kelompok kedua adalah Yahudi Bagdadi yang berasal dari Irak, Yaman, dan negara lain di Timur Tengah. Mereka kebanyakan tinggal di Surabaya dan bekerja sebagai pengusaha ekspor-impor, penjaga toko, pedagang asongan, serta tukang kayu dan batu. Golongan ketiga adalah Yahudi pengungsi yang lari dari kejaran Nazi. Mereka dari Jerman, Austria, dan Eropa Timur.
Yahudi Bagdadi dikenal religius, bahkan banyak yang ultraortodoks. Sedangkan Yahudi Belanda sering berasimilasi walau tetap menjaga tradisi Yahudi. Beberapa di antaranya menyembunyikan identitas Yahudi mereka dan menikah dengan perempuan Kristen Eropa atau gadis Indonesia.
Secara ekonomi, orang-orang Yahudi ini hidup makmur. Mereka mempekerjakan orang-orang asli Indonesia sebagai pembantu, tukang masak, dan sopir. Pendapatan per kapita mereka 4.017 guilder ketimbang pribumi yang cuma 78 guilder.
“Kami mempunyai sebuah mobil sport,” kata Dr Eli Dwek yang pernah tinggal di Surabaya semasa kecil.
Setelah Indonesia merdeka, komunitas Yahudi mulai menurun. Menurut laporan Kongres Yahudi Sedunia (WJC) yang keluar beberapa hari setelah pengsuran orang-orang Belanda, terdapat sekitar 450 orang Yahudi di Indonesia pada November 1957. Enam tahun kemudian jumlahnya terus merosot menjadi 50 orang. Kini diperkirakan hanya 20 orang.
Namun, sekarang komunitas Yahudi mulai bangkit dengan berdirinya menorah raksasa dan dua sinagoge di kota Manado dan Tondano, Sulawesi Utara. Kelompok ini dipimpin oleh Rabbi Yaakov Baruch. “Kami berupaya menjadi Yahudi yang baik,” kata Rabbi Yaakov.
Menorah ini juga menjadi lambang dari Mossad (dinas rahasia luar negeri Israel).*
Keterangan Foto: Benjamin Verbrugge dan Yobbi Ensel (tempo)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar