Hidayatullah.com—MASIH ingat, nama Mbah Petruk yang mendadak menjadi sangat populer ketika Gunung Merapi kembali bergejolak? Di samping Mbah Petruk, ada juga Nyai Rara Kidul. Berkait dengan dua tokoh jagading lelembut tadi, diadakanlah ritual sedekah gunung dan sedekah laut yang menjadi ritual rutin masyarakat Jawa. Kebanyakan, citra sinkretik seperti ini menjadi wajah tunggal ketika seseorang berbicara tentang Jawa.
Juga, apabila kita mengamati buku-buku mengenai kebudayaan Jawa, maka istilah seperti larung sesaji, kejawen, pusaka keramat, adalah tema-tema dominan ketika berbicara kebudayaan Jawa.
Pandangan seperti itulah sebenarnya yang diinginkan dari gerakan jangka panjang orientalisme dan missionarisme di Jawa di masa kolonial. Di mana mereka berusaha menghapus identitas Islam di tanah itu dengan selalu mengkait-kaitkan antara Jawa dengan Hindu atau Budha.
Namun, data sejarah justru menunjukkan hal yang sebaliknya, Jawa dan Islam adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Upaya ”pengkerdilan” identitas Islam tidak lain bertujuan untuk memuluskan misi kristenisasi di Jawa. Tulisan ini merupakan ringkasan dari tesis Arif Wibowo di Program Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta, yang berhasil ia pertahankan di hadapan para penguji. Selamat menikmati.
***
Berkaca dari Kiai Sadrach
Para misionaris dan orientalis berupaya memisahkan identitas Islam dari Jawa untuk melancarkan misi kristenisasi.
Islam pada abad XIX menjadi inspirasi utama perlawanan rakyat Indonesia terhadap pemerintah kolonial Belanda. Baik yang berskala besar seperti Perang Diponegoro, Perang Padri, Perang Aceh sampai perlawanan yang berskala kecil dalam pemberontakan petani di Cilegon. Kejadian ini menyebabkan Belanda mengubah gaya politik kolonialnya, dengan melakukan politik etis yang meliputi educatie, emigratie dan irrigatie (pendidikan, perpindahan dan pengairan).
Kerstening politiek (politik pengkristenan) merupakan bagian tidak terpisahkan dari politik etis. Sehingga kaum etisi mendapat sokongan penuh dari partai-partai agama di Belanda. Pengkristenan Nusantara tetap merupakan panggilan rakyat Kristen Eropa (Belanda).
Kisah yang Gagal
Setidaknya, ada dua macam penetrasi Kristen ke dalam masyarakat Jawa, yakni penerjemahan Alkitab dan pemakaian kebudayaan Jawa. Penerjemahan pertama kali dilakukan oleh Johannes Emde pada 1811. Sedangkan yang memelopori pemakaian budaya Jawa dalam penginjilan adalah Coenraad Laurens Colen. Konsep Colen inilah yang kemudian berkembang dan disebut inkulturasi. Nama-nama seperti Paulus Tosari, Matius Niep, Kiai Sadrach, Ngibrahim Tunggul Wulung adalah buah dari inkulturasi dalam penginjilan.
Dari deretan nama tadi, Kiai Sadrach merupakan sosok yang paling populer. Ia seorang guru ngelmu (pinisepuh). Dalam mengenalkan Kristen kepada masyarakat, Sadrach menyebut gerejanya dengan masjid. Dan memang gereja itu gaya bangunannya mirip masjid pada umumnya. Sebelum upacara peribadatan dimulai, sebuah bedhug dipukul dan diakhiri dengan ritual slametan.
Bagi Kiai Sadrach, Bible adalah norma hidup yang mirip dengan pitutur (nasehat) dan wewaler (larangan, pantangan) orang Jawa dan syariat dalam pandangan Islam.
Sadrach bukan fenomena tunggal, sebab di Jawa Timur juga ada Ngibrahim Tunggul Wulung, yang memaknai kekristenannya menyerupai Muslim dan akhirnya dikafirkan oleh para pendeta Calvinis yang membaptisnya.
Kegagalan Kristen versi Sadrach dan Tunggul Wulung yang dianggap berkepercayaan ganda, separo kristen dan separo Islam, disebabkan integrasi yang sangat kuat pandangan metafisika Islam ke dalam masyarakat Jawa. Selain itu, menjadi Kristen saat itu, bagi orang Jawa adalah aib terbesar dalam hidupmenjadi Kristen saat itu, bagi orang Jawa adalah aib terbesar dalam hidup. Di masyarakat, ia akan menyandang gelar "wong jawa ilang jawane" (orang jawa hilang jawanya), atau "jawa wurung landa durung" (hilang jawanya, tapi Belanda juga belum).
Karena itu, apa yang dilakukan Sadrach maupun Ngabdullah Tunggul Wulung, bisa jadi untuk menghindari resistensi sosial masyarakat sekitar.*/Sahid 2011
Juga, apabila kita mengamati buku-buku mengenai kebudayaan Jawa, maka istilah seperti larung sesaji, kejawen, pusaka keramat, adalah tema-tema dominan ketika berbicara kebudayaan Jawa.
Pandangan seperti itulah sebenarnya yang diinginkan dari gerakan jangka panjang orientalisme dan missionarisme di Jawa di masa kolonial. Di mana mereka berusaha menghapus identitas Islam di tanah itu dengan selalu mengkait-kaitkan antara Jawa dengan Hindu atau Budha.
Namun, data sejarah justru menunjukkan hal yang sebaliknya, Jawa dan Islam adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Upaya ”pengkerdilan” identitas Islam tidak lain bertujuan untuk memuluskan misi kristenisasi di Jawa. Tulisan ini merupakan ringkasan dari tesis Arif Wibowo di Program Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta, yang berhasil ia pertahankan di hadapan para penguji. Selamat menikmati.
***
Berkaca dari Kiai Sadrach
Para misionaris dan orientalis berupaya memisahkan identitas Islam dari Jawa untuk melancarkan misi kristenisasi.
Islam pada abad XIX menjadi inspirasi utama perlawanan rakyat Indonesia terhadap pemerintah kolonial Belanda. Baik yang berskala besar seperti Perang Diponegoro, Perang Padri, Perang Aceh sampai perlawanan yang berskala kecil dalam pemberontakan petani di Cilegon. Kejadian ini menyebabkan Belanda mengubah gaya politik kolonialnya, dengan melakukan politik etis yang meliputi educatie, emigratie dan irrigatie (pendidikan, perpindahan dan pengairan).
Kerstening politiek (politik pengkristenan) merupakan bagian tidak terpisahkan dari politik etis. Sehingga kaum etisi mendapat sokongan penuh dari partai-partai agama di Belanda. Pengkristenan Nusantara tetap merupakan panggilan rakyat Kristen Eropa (Belanda).
Kisah yang Gagal
Setidaknya, ada dua macam penetrasi Kristen ke dalam masyarakat Jawa, yakni penerjemahan Alkitab dan pemakaian kebudayaan Jawa. Penerjemahan pertama kali dilakukan oleh Johannes Emde pada 1811. Sedangkan yang memelopori pemakaian budaya Jawa dalam penginjilan adalah Coenraad Laurens Colen. Konsep Colen inilah yang kemudian berkembang dan disebut inkulturasi. Nama-nama seperti Paulus Tosari, Matius Niep, Kiai Sadrach, Ngibrahim Tunggul Wulung adalah buah dari inkulturasi dalam penginjilan.
Dari deretan nama tadi, Kiai Sadrach merupakan sosok yang paling populer. Ia seorang guru ngelmu (pinisepuh). Dalam mengenalkan Kristen kepada masyarakat, Sadrach menyebut gerejanya dengan masjid. Dan memang gereja itu gaya bangunannya mirip masjid pada umumnya. Sebelum upacara peribadatan dimulai, sebuah bedhug dipukul dan diakhiri dengan ritual slametan.
Bagi Kiai Sadrach, Bible adalah norma hidup yang mirip dengan pitutur (nasehat) dan wewaler (larangan, pantangan) orang Jawa dan syariat dalam pandangan Islam.
Sadrach bukan fenomena tunggal, sebab di Jawa Timur juga ada Ngibrahim Tunggul Wulung, yang memaknai kekristenannya menyerupai Muslim dan akhirnya dikafirkan oleh para pendeta Calvinis yang membaptisnya.
Kegagalan Kristen versi Sadrach dan Tunggul Wulung yang dianggap berkepercayaan ganda, separo kristen dan separo Islam, disebabkan integrasi yang sangat kuat pandangan metafisika Islam ke dalam masyarakat Jawa. Selain itu, menjadi Kristen saat itu, bagi orang Jawa adalah aib terbesar dalam hidupmenjadi Kristen saat itu, bagi orang Jawa adalah aib terbesar dalam hidup. Di masyarakat, ia akan menyandang gelar "wong jawa ilang jawane" (orang jawa hilang jawanya), atau "jawa wurung landa durung" (hilang jawanya, tapi Belanda juga belum).
Karena itu, apa yang dilakukan Sadrach maupun Ngabdullah Tunggul Wulung, bisa jadi untuk menghindari resistensi sosial masyarakat sekitar.*/Sahid 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar