Hadits Nabi saw tentang kondisi manusia; "Kedua kaki seorang hamba tidak akan bergeser pada hari kiamat sehingga ditanya tentang empat perkara: tentang umurnya, untuk apa dihabiskannya, tentang masa mudanya, digunakan untuk apa, tentang hartanya, dari mana diperoleh dan kemana dihabiskan, dan tentang ilmunya, apa yang dilakukan dengan ilmunya itu." (HR. Tirmidzi).

Minggu, 03 November 2013

Dicari: Pemimpin Sekelas Wali

oleh: Muhaimin Iqbal

KETIKA terjadi euphoria reformasi di negeri ini lima belas tahun lalu, untuk sesaat nampaknya negeri ini ada harapan membaik. Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang mencengkeram negeri selama puluhan tahun sebelumnya – seolah-olah bisa dibersihkan mulai saat itu. Kini harapan itu kembali memudar, KKN bukannya habis dibasmi – malah tumbuh mengakar kuat di seluruh pilar-pilar negeri. Bahkan trias-politika-pun kini seolah sah untuk diplesetkan menjadi trias-koruptika, karena KKN telah menjalar sama luasnya di eksekutif, yudikatif maupun legislatif. Masih adakah harapan untuk memperbaiki negeri ini? InsyaAllah masih ada.

Negeri ini insyaAllah bisa membaik bila ada pemimpin yang bener-bener mumpuni untuk mengatasi seluruh persoalan bangsa ini. Tetapi bukankan pemimpin-pemimpin negeri ini dahulunya juga orang-orang hebat? Sebagiannya mungkin betul, tetapi kali ini kita butuh pemimpin yang kwalitasnya jauh lebih tinggi dari pemimpin-pemimpin sebelumnya.

Dalam bahasa sederhananya, yang kita butuhkan saat ini adalah pemimpin sekelas wali. Hanya dengan pemimpin seperti inilah negeri ini bisa dibawa kepada jalan kemakmuran yang sesungguhnya – yaitu negeri yang penuh berkah dari langit dan dari bumi.

Tetapi masih adakah wali itu kini? Dan bagaimana kita bisa tahu bahwa seorang (calon) pemimpin itu sekelas wali atau bukan?

Alhamdulillah definisi dan standar kwalitas wali itu baku, terbuka dan ada tuntunannya yang jelas. Bahkan dalam sejarah ada contoh aplikasinya yang bisa ditiru.

Mengenai rujukan definisi dan standar kwalitas wali, bisa kita ambilkan dari al-Qur’an melalui ayat berikut:

أَلا إِنَّ أَوْلِيَاء اللّهِ لاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ

الَّذِينَ آمَنُواْ وَكَانُواْ يَتَّقُونَ

لَهُمُ الْبُشْرَى فِي الْحَياةِ الدُّنْيَا وَفِي الآخِرَةِ لاَ تَبْدِيلَ لِكَلِمَاتِ اللّهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan) di akhirat. Tidak ada perobahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar”. (QS Yunus [10] : 62-64).

Bisa dilengkapi pula dengan hadits qudsi berikut : Dari Abu Hurairah RadhiyAllahu ‘Anhu Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

“Sesungguhnya Allah Yang Maha Mulia dan Maha Besar berfirman: “Barangsiapa yang memusuhi waliKu, maka Aku telah mengumumkan perang kepadanya. HambaKu tidak mendekatkan diri kepadaKu dengan sesuatu yang paling Aku sukai dari pada sesuatu yang Aku fardhukan atasnya. HambaKu senantiasa mendekatkan diri kepadaKu dengan sunnat-sunnat sampai Aku mencintainya. Apabila Aku mencintainya maka Aku menjadi pendengarannya untuk mendengar, menjadi penglihatannya untuk melihat, menjadi tangannya untuk memukul dan menjadi kakinya untuk berjalan. Jika ia memohon kepadaKu, pasti Aku benar-benar memberinya. Jika ia memohon perlindungan kepadaKu, pasti Aku benar-benar melindunginya”. (HR Bukhari)

Dari ayat dan hadits tersebut di atas sekarang kita bisa merumuskan bahwa wali itu adalah orang yang sungguh-sungguh beriman dan bertakwa, yang kemudian dibuktikan dengan ketaatannya dalam melaksanakan yang wajib dan juga menyempurnakannya dengan yang sunnah.

Kurang lebih seperti apa pemimpin sekelas wali ini dapat kita lihat dari kisah Muhammad Al-Fatih. Pemimpin sekelas wali yang satu ini mampu berfikir jauh melampau jamannya – think the unthinkable – karena memang dia memenuhi syarat-syarat yang ada di ayat maupun hadits tersebut di atas.

Dikisahkan bahwa setelah Al-Fatih berhasil memimpin penaklukan Constantinople pada usianya yang sangat belia (usia 20 tahun Masehi atau 22 tahun Hijriyah) – dengan cara yang tidak terbayangkan oleh pemimpin-pemimpin perang sebelumnya, Al-Fatih dan pasukan hendak melaksanakan sholat Jum’at pertamanya di Constantinople.

Pertanyaan timbul adalah siapa yang layak untuk menjadi Imam pada sholat Jum’at tersebut. Tidak ada anggota pasukannya yang berani menawarkan diri.

Kemudian Al-Fatih berdiri dan mengajak semua pasukannya juga berdiri, kemudian dia berucap: “Siapakah di antara kalian yang sejak baligh hingga hari ini pernah meninggalkan shalat wajib lima waktu, silakan duduk!” , maka tidak ada seorangpun yang duduk – Alhamdulillah berarti semua anggota pasukan Al-Fatih adalah ahli shalat fardhu dan tidak ada yang pernah melalaikannya sekalipun.

Lalu Al Fatih bertanya kembali: “ iapa di antara kalian yang sejak baligh hingga hari ini pernah meninggalkan shalat sunnah rawatib? Kalau ada yang pernah meninggalkan shalat sunnah sekali saja silakan duduk.”

Sebagian pasukannya-pun duduk – artinya sebagian pasukan yang lain tidak pernah meninggalkan sholat sunnah rawatib.

Dengan memandangi seluruh jamaah dan pasukanya Al-Fatih kembali bertanya: “Siapa di antara kalian yang sejak baligh hingga hari ini pernah meninggalkan shalat tahajud? Yang pernah meninggalkan sekali saja, silakan duduk !” Ternyata semuanya duduk – artinya pernah sekali-kali meninggalkan shalat tahajjudnya.

Tinggal satu orang saja yang berdiri – yang tidak pernah meninggalkan shalat wajib, shalat rawatib maupun shalat tahajjudnya – dialah Muhammad Al-Fatih sendiri, maka hanya dialah yang layak menjadi Imam sholat Jum’at hari itu.

Bukan hanya layak untuk menjadi Imam Shalat Jum’at, dia juga menjadi pemimpin pasukan yang dipuji oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alahi Wasallam – sekitar 800 tahun sebelum kelahirannya melalui hadits: “Constantinople benar-benar akan ditaklukkan, maka sebaik-baik pemimpin pasukan adalah pemimpin pasukannya dan sebaik-baik pasukan-adalah pasukannya.” (HR. Ahmad).

Sekarang kita bisa belajar dari korelasi sejarah penaklukan Constantinople ini, dengan definisi ke-wali-an seorang pemimpin menurut al-Qur’an dan hadits, kemudian menghubungkannya dengan kinerja yang bisa dicapai oleh pemimpin tersebut bersama pasukan/rakyatnya. Sesuatu yang nampaknya tidak mungkin – seperti kapal yang bisa mendaki bukitpun – menjadi mungkin, manakala pemimpin itu sekwalitas wali ini.

Pekerjaan seberat apapun insyaAllah akan dapat ditangani bila dengan ‘telingaNya’ kita mendengar, dengan ‘mataNya’ kita melihat, dengan ‘tanganNya’ kita berbuat, dengan ‘kakiNya’ kita melangkah, dan dengan doa-doa kita yang dikabulkanNya.

Tetapi pemimpin adalah cermin dari umat atau rakyat yang dipimpinnya. Muhammad Al-Fatih didukung oleh pasukan yang tidak pernah meninggalkan sholat wajib, sebagiannya bahkan juga selalu melaksanakan sholat sunnah rawatib, sebagiannya bahkan juga melaksanakan sholat malam dan hanya sekali-kali saja meninggalkannya.

Maka bila kita berharap memiliki pemimpin sekelas wali atau sekaliber contoh Muhammad Al-Fatih tersebut, dari mana kita mempersiapkannya ?

Dari mana lagi kalau bukan dari diri kita sendiri ! bila kita berkomitmen yang kuat untuk tidak pernah meninggalkan yang wajib, selalu melaksanakan yang rawatib dan selalu sholat malam – maka insyaAllah pada waktunya nanti akan muncul pemimpin sekelas wali itu di antara kita. Kalau-pun di generasi ini belum juga muncul, terus kita bangun niat kearah sana melalui pendidikan untuk anak-anak kita, kemudian ke cucu-cucu kita dan seterusnya.

Pada waktunya nanti negeri ini bisa melahirkan pemimpin sekelas wali, maka umat ini memenuhi syarat untuk menjadi pemimpin bukan hanya di dalam negeri ini tetapi pemimpin untuk seluruh penduduk bumi sesuai janjiNya pula :

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُم فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّن بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْناً يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئاً وَمَن كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Aku. Dan barang siapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS an-Nuur [24]:55).

Maka itulah jalannya untuk pemimpin negeri ini maupun pemimpin seluruh bumi, tidak ada jalan lain selain yang telah ditunjukan oleh Yang Maha Tahu itu sendiri. Wa Allahu A’lam.*

Penulis adalah Direktur Gerai Dinar

Rep: -

Editor: Cholis Akbar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri yang Diunggulkan

MENJUAL AGAMA PADA PENGUASA DISIFATI ANJING DALAM AL QURAN

Pemimpin/Ulama adalah cermin dari umat atau rakyat yang dipimpinnya. Definisi Ulama (wikipedia) adalah pemuka agama atau pemimpin agama ...

Popular Post