REPUBLIKA.CO.ID, Oleh : Prof Dr KH Didin Hafidhuddin MS.
Setiap menjelang tanggal 30 September, bangsa Indonesia takkan lupa tragedi nasional pengkhianatan G.30-S/PKI tahun 1965. Peristiwa kudeta tersebut didalangi oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Kesimpulan tentang keterlibatan PKI dalam tragedi nasional 1965 didasarkan pada bukti-bukti di lapangan dan fakta-fakta yang terungkap di dalam persidangan Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmillub).
Pada masa itu, banyak orang yang tidak percaya PKI akan melakukan kudeta dan membunuh pimpinan Angkatan Darat. Salah satu taktik PKI yang dipimpin oleh DN Aidit adalah menggunakan kedudukan pengaruh dan wibawa pemimpin besar revolusi Presiden Soekarno sebagai “senjata politik” untuk menekan lawan-lawan politiknya, seperti untuk memaksa bubar partai politik Islam Masyumi, PSI, serta menyerang HMI. Soekarno, seperti kita tahu dalam periode itu membangun konsepsi politik keseimbangan (balance of power) antara kekuatan Nasionalis, Agama dan Komunis atau dikenal dengan singkatan Nasakom. Soekarno tidak melihat dan tidak menyadari bahaya PKI terhadap bangsa dan negara. Dalam agenda jangka panjangnya PKI secara terencana hendak menjadikan Indonesia negara Komunis dan satelit RRC (Republik Rakyat Cina). PKI tentu saja pada waktunya akan menghabisi kekuatan kaum agama dan nasionalis. Hanya pertolongan Allah SWT yang menyelamatkan negara dan bangsa Indonesia ketika itu dari malapetaka yang hendak ditimbulkan oleh orang-orang yang tidak percaya kepada Tuhan.
Pemberontakan G-30-S/PKI yang dapat digagalkan dan ditumpas oleh ABRI khususnya Angkatan Darat bersama kekuatan rakyat anti-komunis dalam masyarakat Indonesia, terutama umat Islam, mengingatkan kita pada firman Allah dalam Alquran, ”Wahai orang-orang yang beriman. Ingatlah nikmat Allah yang telah dikaruniakan kepadamu, tatkala suatu kaum mengulurkan tangan mereka (untuk membinasakanmu). Maka Allah telah menahan tangan-tangan mereka itu (untuk melindungimu). Maka bertakwalah kamu kepada Allah dan kepada Allah-lah orang-orang beriman berserah diri.” (QS Al-Maidah [5]: 11).
Umat Islam, sebagian besar pemimpin Muslim dan ormas-ormas Islam sebagai golongan mayoritas bangsa Indonesia dengan tegas dan konsisten menolak paham komunis dan menentang PKI. Umat Islam semenjak PKI menancapkan pengaruhnya di dalam kehidupan negara dan pemerintahan terus melakukan perlawanan. Komunisme adalah paham dan ideologi yang bertentangan dengan akidah Islamiyah. PKI menerima dasar negara Pancasila yang sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa adalah sebagai taktik belaka agar bisa berada dalam lembaga pemerintahan di era Demokrasi Terpimpin.
Penolakan terhadap ajaran komunis dan perlawanan terhadap PKI dilakukan oleh umat Islam jauh sebelum meletusnya peristiwa G-30-S tahun 1965. Pada permulaan kemerdekaan, PKI juga melancarkan pemberontakan bersenjata di Madiun tahun 1948. Watak gerakan partai Komunis di seluruh dunia tidak segan-segan menggunakan kekerasan, teror dan menghabisi lawan-lawan politiknya, di samping menyebar fitnah, melakukan adu-domba dan memecah-belah.
Sejarah perjuangan umat Islam mencatat bahwa Muktamar Alim Ulama Seluruh Indonesia yang diadakan di Palembang, Sumatera Selatan, pada 12 - 16 Safar 1377 H/8 – 11 September 1957. Muktamar ini mengeluarkan keputusan memperingatkan Pemerintah di masa itu agar mewaspadai gerakan aksi subversif-asing yang membantu perjuangan kaum Komunisme/Ateisme Indonesia, dan mendesak kepada Pemerintah RI untuk mengeluarkan dekrit menyatakan PKI dan mantel organisasinya sebagai Partai Terlarang di Indonesia. Muktamar Alim Ulama itu menyatakan bahwa ideologi/ajaran komunisme adalah kufur hukumnya dan haram bagi umat Islam menganutnya. Haram hukumnya bagi umat Islam mengangkat/memilih Kepala Negara/Pemerintah yang berideologi komunisme. Keputusan Muktamar Alim Ulama di Palembang juga menegaskan bahwa usaha mencapai ukhuwah Islamiyah hukumnya wajib dan mendesak kepada partai-partai Islam agar menghilangkan garis-garis pemisah yang ada di antara partai-partai Islam guna mencapai kesatuan perjuangan umat Islam.
Sangat disayangkan, seruan ulama ketika itu tidak digubris oleh pemerintah. Sebagai akibatnya, pengaruh Komunisme bertambah kuat dalam negara hingga akhirnya PKI dapat mengkonsolidasikan kekuatan untuk merebut kekuasaan melalui strategi melumpuhkan TNI Angkatan Darat. Gerakan 30 September PKI menculik dan membunuh beberapa jenderal Angkatan Darat dan seorang ajudan jenderal secara keji dan kejam di luar batas-batas perikemanusiaan.
Kalau kita membaca kondisi kehidupan bangsa Indonesia pada waktu menjelang meletusnya G.30-S/PKI sungguh memprihatinkan. Kehidupan rakyat dalam keadaan sulit. Kemiskinan dan pengangguran terlihat di mana-mana. Harga-harga kebutuhan melonjak naik. Laju inflasi tidak terkendali dan nilai rupiah merosot. Fitnah dan politik adu-domba merebak di berbagai penjuru.
Di kalangan elite pemerintahan merajalela penyelewengan kekuasaan dan skandal moral. Proyek-proyek pembangunan yang bersifat mercusuar di ibukota negara menambah ketimpangan antara pusat dan daerah. Situasi seperti itu memberi peluang bagi PKI untuk aktif melakukan gerilya politik, melancarkan propaganda, agitasi dan menyerang semua pihak yang anti-Komunis. Rakyat yang miskin secara ekonomi dan miskin ruhani menjadi lahan subur bagi tumbuh berkembangnya ideologi radikal seperti paham Marxisme dan komunisme.
Proklamator Kemerdekaan dan Wakil Presiden Pertama RI Mohammad Hatta dalam salah satu tulisannya mengingatkan, ”Kalau kemiskinan tidak hilang dari negeri ini, kita akan mendapat musuh baru, yaitu komunis. Komunis musuh yang pernah besar di negeri ini. Kaum komunis itu mempunyai ajaran yang mengatakan bahwa mereka akan membela orang-orang miskin. Oleh karena itu senjata yang paling ampuh untuk menghadapi kaum Komunis ialah memakmurkan masyarakat.”
Agama terutama Islam adalah benteng kekuatan bangsa untuk menangkal dan mencegah kembalinya ideologi komunis. Prof Dr HM Rasjidi dalam bukunya Islam Menentang Komunisme (1965) menyebut mendiang Faris Al-Khouri, mantan Perdana Menteri Republik Arab Suriah dan Ketua Dewan Keamanan PBB tahun 1947 mengatakan, “Bahwa hanya Islam-lah yang dapat membendung komunisme. Walaupun saya seorang Kristen, tetapi saya yakin bahwa hanya Islam yang dapat kita harapkan.“
Bangsa Indonesia bersyukur bahwa PKI telah dibubarkan oleh Jenderal Soeharto tidak lama setelah peristiwa G-30-S dan keputusan pembubaran PKI diperkuat dengan Ketetapan MPRS yang menyatakan PKI sebagai organisasi terlarang serta melarang penyebaran ajaran Komunisme, Marxisme-Leninisme di seluruh wilayah Indonesia. Ketetapan MPRS itu sampai sekarang masih berlaku kendati setelah reformasi diusulkan oleh beberapa kalangan agar dicabut.
Bahaya latent komunis tetap harus diwaspadai. Kewaspadaan terhadap kebangkitan kembali paham atau ideologi komunis selayaknya dipandang sebagai sikap peduli bangsa terhadap bahaya yang bisa mengancam keselamatan negara dan agama jika kita lengah. Rekonsiliasi dengan anak keturunan PKI seyogyanya ditempatkan dalam koridor kemanusiaan, tapi bukan dalam konteks politik.
Kesadaran masyarakat untuk mengenang peristiwa G-30-S/PKI tidak perlu disikapi secara reaktif bahwa itu akan hanya membuka luka bangsa dan sebagainya. Bukankah tiap tahun bangsa Indonesia memperingati Hari Kesaktian Pancasila tanggal 1 Oktober, dimana hal itu mengingatkan kita pada tragedi 1965. Hal yang tidak relevan dengan kondisi kekinian ialah memperdebatkan keterlibatan dan kesalahan PKI dalam tragedi 196, bukan mewaspadai kebangkitan komunis.
Bangsa Indonesia harus bisa menempatkan peristiwa masa lalu sebagai pelajaran untuk dipetik maknanya dan mencegah supaya tidak terulang kembali. Indonesia menolak Komunisme dan Ateisme adalah sesuatu yang tidak dapat ditawar lagi. Penolakan bangsa Indonesia terhadap Komunis dan PKI bukan semata-mata karena partai berlambang “palu arit” itu pernah memberontak dan melancarkan kudeta. Penolakan terhadap Komunis dan PKI adalah karena Marxisme-Leninisme yang menjadi landasan gerakan komunis bertentangan 180 derajat dengan pandangan hidup bangsa Indonesia yang beragama.
Setiap menjelang tanggal 30 September, bangsa Indonesia takkan lupa tragedi nasional pengkhianatan G.30-S/PKI tahun 1965. Peristiwa kudeta tersebut didalangi oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Kesimpulan tentang keterlibatan PKI dalam tragedi nasional 1965 didasarkan pada bukti-bukti di lapangan dan fakta-fakta yang terungkap di dalam persidangan Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmillub).
Pada masa itu, banyak orang yang tidak percaya PKI akan melakukan kudeta dan membunuh pimpinan Angkatan Darat. Salah satu taktik PKI yang dipimpin oleh DN Aidit adalah menggunakan kedudukan pengaruh dan wibawa pemimpin besar revolusi Presiden Soekarno sebagai “senjata politik” untuk menekan lawan-lawan politiknya, seperti untuk memaksa bubar partai politik Islam Masyumi, PSI, serta menyerang HMI. Soekarno, seperti kita tahu dalam periode itu membangun konsepsi politik keseimbangan (balance of power) antara kekuatan Nasionalis, Agama dan Komunis atau dikenal dengan singkatan Nasakom. Soekarno tidak melihat dan tidak menyadari bahaya PKI terhadap bangsa dan negara. Dalam agenda jangka panjangnya PKI secara terencana hendak menjadikan Indonesia negara Komunis dan satelit RRC (Republik Rakyat Cina). PKI tentu saja pada waktunya akan menghabisi kekuatan kaum agama dan nasionalis. Hanya pertolongan Allah SWT yang menyelamatkan negara dan bangsa Indonesia ketika itu dari malapetaka yang hendak ditimbulkan oleh orang-orang yang tidak percaya kepada Tuhan.
Pemberontakan G-30-S/PKI yang dapat digagalkan dan ditumpas oleh ABRI khususnya Angkatan Darat bersama kekuatan rakyat anti-komunis dalam masyarakat Indonesia, terutama umat Islam, mengingatkan kita pada firman Allah dalam Alquran, ”Wahai orang-orang yang beriman. Ingatlah nikmat Allah yang telah dikaruniakan kepadamu, tatkala suatu kaum mengulurkan tangan mereka (untuk membinasakanmu). Maka Allah telah menahan tangan-tangan mereka itu (untuk melindungimu). Maka bertakwalah kamu kepada Allah dan kepada Allah-lah orang-orang beriman berserah diri.” (QS Al-Maidah [5]: 11).
Umat Islam, sebagian besar pemimpin Muslim dan ormas-ormas Islam sebagai golongan mayoritas bangsa Indonesia dengan tegas dan konsisten menolak paham komunis dan menentang PKI. Umat Islam semenjak PKI menancapkan pengaruhnya di dalam kehidupan negara dan pemerintahan terus melakukan perlawanan. Komunisme adalah paham dan ideologi yang bertentangan dengan akidah Islamiyah. PKI menerima dasar negara Pancasila yang sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa adalah sebagai taktik belaka agar bisa berada dalam lembaga pemerintahan di era Demokrasi Terpimpin.
Penolakan terhadap ajaran komunis dan perlawanan terhadap PKI dilakukan oleh umat Islam jauh sebelum meletusnya peristiwa G-30-S tahun 1965. Pada permulaan kemerdekaan, PKI juga melancarkan pemberontakan bersenjata di Madiun tahun 1948. Watak gerakan partai Komunis di seluruh dunia tidak segan-segan menggunakan kekerasan, teror dan menghabisi lawan-lawan politiknya, di samping menyebar fitnah, melakukan adu-domba dan memecah-belah.
Sejarah perjuangan umat Islam mencatat bahwa Muktamar Alim Ulama Seluruh Indonesia yang diadakan di Palembang, Sumatera Selatan, pada 12 - 16 Safar 1377 H/8 – 11 September 1957. Muktamar ini mengeluarkan keputusan memperingatkan Pemerintah di masa itu agar mewaspadai gerakan aksi subversif-asing yang membantu perjuangan kaum Komunisme/Ateisme Indonesia, dan mendesak kepada Pemerintah RI untuk mengeluarkan dekrit menyatakan PKI dan mantel organisasinya sebagai Partai Terlarang di Indonesia. Muktamar Alim Ulama itu menyatakan bahwa ideologi/ajaran komunisme adalah kufur hukumnya dan haram bagi umat Islam menganutnya. Haram hukumnya bagi umat Islam mengangkat/memilih Kepala Negara/Pemerintah yang berideologi komunisme. Keputusan Muktamar Alim Ulama di Palembang juga menegaskan bahwa usaha mencapai ukhuwah Islamiyah hukumnya wajib dan mendesak kepada partai-partai Islam agar menghilangkan garis-garis pemisah yang ada di antara partai-partai Islam guna mencapai kesatuan perjuangan umat Islam.
Sangat disayangkan, seruan ulama ketika itu tidak digubris oleh pemerintah. Sebagai akibatnya, pengaruh Komunisme bertambah kuat dalam negara hingga akhirnya PKI dapat mengkonsolidasikan kekuatan untuk merebut kekuasaan melalui strategi melumpuhkan TNI Angkatan Darat. Gerakan 30 September PKI menculik dan membunuh beberapa jenderal Angkatan Darat dan seorang ajudan jenderal secara keji dan kejam di luar batas-batas perikemanusiaan.
Kalau kita membaca kondisi kehidupan bangsa Indonesia pada waktu menjelang meletusnya G.30-S/PKI sungguh memprihatinkan. Kehidupan rakyat dalam keadaan sulit. Kemiskinan dan pengangguran terlihat di mana-mana. Harga-harga kebutuhan melonjak naik. Laju inflasi tidak terkendali dan nilai rupiah merosot. Fitnah dan politik adu-domba merebak di berbagai penjuru.
Di kalangan elite pemerintahan merajalela penyelewengan kekuasaan dan skandal moral. Proyek-proyek pembangunan yang bersifat mercusuar di ibukota negara menambah ketimpangan antara pusat dan daerah. Situasi seperti itu memberi peluang bagi PKI untuk aktif melakukan gerilya politik, melancarkan propaganda, agitasi dan menyerang semua pihak yang anti-Komunis. Rakyat yang miskin secara ekonomi dan miskin ruhani menjadi lahan subur bagi tumbuh berkembangnya ideologi radikal seperti paham Marxisme dan komunisme.
Proklamator Kemerdekaan dan Wakil Presiden Pertama RI Mohammad Hatta dalam salah satu tulisannya mengingatkan, ”Kalau kemiskinan tidak hilang dari negeri ini, kita akan mendapat musuh baru, yaitu komunis. Komunis musuh yang pernah besar di negeri ini. Kaum komunis itu mempunyai ajaran yang mengatakan bahwa mereka akan membela orang-orang miskin. Oleh karena itu senjata yang paling ampuh untuk menghadapi kaum Komunis ialah memakmurkan masyarakat.”
Agama terutama Islam adalah benteng kekuatan bangsa untuk menangkal dan mencegah kembalinya ideologi komunis. Prof Dr HM Rasjidi dalam bukunya Islam Menentang Komunisme (1965) menyebut mendiang Faris Al-Khouri, mantan Perdana Menteri Republik Arab Suriah dan Ketua Dewan Keamanan PBB tahun 1947 mengatakan, “Bahwa hanya Islam-lah yang dapat membendung komunisme. Walaupun saya seorang Kristen, tetapi saya yakin bahwa hanya Islam yang dapat kita harapkan.“
Bangsa Indonesia bersyukur bahwa PKI telah dibubarkan oleh Jenderal Soeharto tidak lama setelah peristiwa G-30-S dan keputusan pembubaran PKI diperkuat dengan Ketetapan MPRS yang menyatakan PKI sebagai organisasi terlarang serta melarang penyebaran ajaran Komunisme, Marxisme-Leninisme di seluruh wilayah Indonesia. Ketetapan MPRS itu sampai sekarang masih berlaku kendati setelah reformasi diusulkan oleh beberapa kalangan agar dicabut.
Bahaya latent komunis tetap harus diwaspadai. Kewaspadaan terhadap kebangkitan kembali paham atau ideologi komunis selayaknya dipandang sebagai sikap peduli bangsa terhadap bahaya yang bisa mengancam keselamatan negara dan agama jika kita lengah. Rekonsiliasi dengan anak keturunan PKI seyogyanya ditempatkan dalam koridor kemanusiaan, tapi bukan dalam konteks politik.
Kesadaran masyarakat untuk mengenang peristiwa G-30-S/PKI tidak perlu disikapi secara reaktif bahwa itu akan hanya membuka luka bangsa dan sebagainya. Bukankah tiap tahun bangsa Indonesia memperingati Hari Kesaktian Pancasila tanggal 1 Oktober, dimana hal itu mengingatkan kita pada tragedi 1965. Hal yang tidak relevan dengan kondisi kekinian ialah memperdebatkan keterlibatan dan kesalahan PKI dalam tragedi 196, bukan mewaspadai kebangkitan komunis.
Bangsa Indonesia harus bisa menempatkan peristiwa masa lalu sebagai pelajaran untuk dipetik maknanya dan mencegah supaya tidak terulang kembali. Indonesia menolak Komunisme dan Ateisme adalah sesuatu yang tidak dapat ditawar lagi. Penolakan bangsa Indonesia terhadap Komunis dan PKI bukan semata-mata karena partai berlambang “palu arit” itu pernah memberontak dan melancarkan kudeta. Penolakan terhadap Komunis dan PKI adalah karena Marxisme-Leninisme yang menjadi landasan gerakan komunis bertentangan 180 derajat dengan pandangan hidup bangsa Indonesia yang beragama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar