Aliran Kepercayaan adalah sejenis paham yang mengakui adanya Tuhan Yang Maha Esa, tetapi tidak termasuk atau tidak berdasarkan ajaran salah satu dari kelima agama yang resmi (Islam, Katolik, Kristen Protestan, Hindu, dan Buddha)
A. Pengertian aliran kepercayaan
Menurut Prof. Kamil Kartapradja dari IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Syarif Hidayatullah Jakarta, bahwa aliran kepercayaan adalah keyakinan dan kepercayaan rakyat Indonesia di luar agama, dan tidak termasuk ke dalam salah satu agama. Aliran kepercayaan itu ada dua macam:
1. Kepercayaan yang sifatnya tradisional dan animistis, tanpa filosofi dan tidak ada pelajaran mistiknya, seperti kepercayaan orang-orang Perlamin dan Pelebegu di Tapanuli.
2. Golongan kepercayaan yang ajarannya ada filosofinya, juga disertai mistik, golongan inilah yang disebut atau menamakan dirinya golongan kebatinan. Golongan kebatinan ini dalam perkembangannya akhirnya menamakan dirinya sebagai Golongan Kepercayaan Kepada Ketuhanan Yang Maha Esa.
B. Latar belakang sejarah Seperti keagamaan Suku Batak, Suku Dayak, Suku di Nusa Tenggara Timur dan keagamaan orang Jawa. Yang menunjukkan bahwa sejak zaman kuno, sebelum masuknya agama-agama besar seperti Hindu, Budha, Kristen, dan Islam, berbagai suku bangsa di Indonesia sudah menganut animisme, kepercayaan kepada roh-roh ghaib, yang kemudian bercampur dengan agama-agama dunia yang masuk di Indonesia, terutama agama Islam.
Masuknya Islam Tarekat.
Agama Islam yang masuk di Indonesia bukan lagi Islam yang murni tetapi yang sudah dipengaruhi ajaran mistik (tarekat). Tarekat (jalan) adalah suatu aliran dan gerakan yang tumbuh dalam masyarakat Islam dan kehormatan yang diberikan orang kepada para pemimpinnya. Aliran-aliran tersebut memakai nama menurut nama pemimpinnya.
Aliran-aliran tarekat yang masuk di Indonesia misalnya Tarekat Syathariah (abad 16-17) yang didirikan Syekh Syatari, Tarekat Qadiriah yang didirikan Abdul Qadir Jailani (wafat 1165), Tarekat Naksabandiyah yang didirikan Bahaudin Naksabandi (wafat 1315), Tarekat Syadzaliah yang didirikan Abdul Hasan Syadzali (wafat 1258), dan kemudian Tarekat Samaniyah, dan ada juga Tarekat Rifaiyah yang didirikan Ahmad Rifa’i (wafat 1182).
Pada umumnya tujuan tarekat-tarekat itu adalah untuk mencapai hakikat Ketuhanan, yang biasanya ditempuh oleh para anggota (murid-muridnya), dengan melakukan bai’at (janji) lebih dulu ketika memasuki tarekat, kemudian berusaha melalui empat tingkat yaitu “syari’ah” (mempelajari hukum), “tarekat” (menempuh cara-cara tertentu), “ma’rifat” (mengetahui ketuhanan) dan terakhir “hakekat” (kebenaran yang tertinggi).
Di antara tarekat-tarekat itu terdapat yang menyimpang, misalnya Tarekat Rifaiyah lambat laun bukan lagi megutamakan pelajaran ibadah melainkan lebih menonjolkan seni pertunjukannya melukai diri seperti permainan debus dan sebagainya. Atau tarekat-tarekat itu mendalami ajaran yang sifatnya ekstrim dan dapat diperalat untuk melakukan pemberontakan terhadap penguasa dan sebagainya.
Politik Adu Domba
Selama penjajahan Belanda sebagian besar pemberontakan rakyat terhadap Belanda dilakukan oleh gerakan yang berlatar belakang kepemimpinan Islam yang didukung kaum tarekat. Misalnya di Jawa sejak zaman Sultan Agung Mataram, Pangeran di Ponegoro. Pihak Belanda untuk dapat menumpas gerakan perlawanan rakyat itu memperalat para bangsawan pemuka adat, sehingga antara golongan adat dan agama di adu domba.
Selain tidak ada lagi perlawanan rakyat, maka kehidupan tarekat-tarekat dan pendidikan agama Islam dicurigai. Begitu pula dilakukan politik adu domba penganut Islam modern (Muhammadiyah) yang diberi cap Wahabi, dengan penganut Islam (Nahdlatul Ulama) Ahlussunnah, yang disebut kaum lama. Perpecahan umat Islam ini berkelanjutan sampai zaman kemerdekaan. Sementara itu misi Kristen mendapat kesempatan berkembang bebas dan baik.
Zaman Kemerdekaan
Sejak berdirinya negara Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, maka perkembangan agama dan pendidikan Islam berangsur maju di bawah bimbingan Departemen Agama. Begitu pula aliran-aliran kepercayaan tumbuh dan berkembang di bawah pimpinannya yang cendikiawan, sehingga aliran lama muncul kembali dan yang baru tumbuh subur dengan bermacam ragamnya. Sehingga ada di antara kelompok aliran kepercayaan itu yang dapat diperalat Partai Komunis Indonesia sampai meletusnya G30S/PKI.
Di masa orde baru suasana berubah. Umat Islam mereda dari pertikaian masalah ‘furu’’ dan ‘khilafiyah’ yang diwarisi dari zaman Hindia Belanda, kemajuan pendidikan Islam telah melahirkan sarjana-sarjana Islam yang menyadari pentingnya persatuan Islam, diskusi-diskusi ilmiah tentang Islam terus meningkat, tempat-tempat beribadah bertambah baik, umat beragama diarahkan pada kerukunan seagama dan kerukunan antar agama. Sementara itu aliran kepercayaan tumbuh berkembang dan menurut kesamaan haknya dan kedudukannya dengan agama yang resmi diakui, dan di sana sini timbul masalah sosial keagamaan yang baru, misalnya masalah pedukunan dan perkawinan.
C. Dasar Hukum Aliran Kepercayaan
Negara Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Warga negaranya terdiri dari orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang diasahkan dengan undang-undang sebagai warga negara. Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum. Mengenai agama, negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Jadi, negara yang penduduknya bhineka tunggal ika dan berpandangan hidup Pancasila ini mempunyai hak yang sama di dalam hukum. Dengan demikian baik umat beragama mauopun umat non agama yang percaya pada Ketuhanan Yang Maha Esa tidak ada bedanya di dalam hukum kesemuanya mempunyai hak hidup yang sama.
Dasar Perundangan
Di dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pasal 29 (1-2) dikatakan “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Kemudian dalam penjelasan pasal 29 (1) dikatakan bahwa “ayat ini menyatakan kepercayaan bangsa Indonesia terhadap Tuhan Yang Maha Esa”.
Berdasarkan Undang-Undang Dasar tersebut berarti setiap orang atau golongan aliran baik berdasarkan agama ataupun berdasarkan kepercayaan, mempunyai hak hidup di dalam Negara Republik Indonesia dan negara menjamin setiap penduduk yang melakukan ibadah (hubungan dengan Tuhan) baik menurut cara agama yang dianutnya maupun menurut cara kepercayaan yang dianutnya.
Dengan berdasarkan pasal 29 (UUD) 1945 tersebut, maka pada dasarnya orang boleh menganut aliran kepercayaan apa saja, boleh menjadi pendiri dan pembawa ajaran kepercayaan, boleh menjadi dukun atau kyai apa saja, dan boleh beribadat cara bagaimana saja, di dalam Negara Republik Indonesia, sepanjang sikap tindaknya, sepak terjangnya, perilaku kegiatannya, tidak bertentangan dengan Negara Pancasila, tidak mengganggu ketertiban, dan keamanan masyarakat dan tidak berusaha melakukan kekacauan masyarakat atau melakukan pemberontakan terhadap Negara Pancasila.
Dasar Haluan Negara
Di dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) TAP MPR. IV tanggal 22 Maret 1973 di Jakarta, dikatakan bahwa:
Atas dasar kepercayaan Bangsa Indonesia terhadap Tuhan Yang Maha Esa maka peri kehidupan beragama dan peri kehidupan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa di dasarkan atas kebebasan menghayati dan mengamalkan Ketuhanan Yang Maha Esa sesuai dengan falsafah Pancasila.
b. Pembangunan agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa ditujukan untuk pembinaan suasana hidup rukun di antara sesama umat beragama, sesama penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan antara semua umat beragama dan semua penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa serta meningkatkan amal dalam bersama-sama membangun masyarakat.
Kemudian menurut GBHN TAP MPR tahun 1978 Bab IV/D huruf 1 ayat 1, dikatakan antara lain bahwa:
Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa tidak merupakan agama. Pembinaan terhadap kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dilakukan:
Agar tidak mengarah pada pembentukan agama baru.
Untuk mengefektifkan pengambilan langkah yang perlu agar pelaksanaan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Pengawasan dan kebijaksanaan.
Dikarenakan demikian banyaknya aliran paham kebatinan atau kepercayaan, baik dalam bentuk perkumpulan maupun perorangan, yang adakalanya menyebabkan timbulnya kegelisahan masyarakat, dan mengganggu ketertiban serta keamanan masyarakat. Sehingga dikeluarkan Surat Keputusan Perdana Menteri tanggal 21 Maret 1959 No. 122/PM/1959 yang melarangnya. Oleh karenanya, maka pemerintah memandang perlu untuk melakukan pengawasan terhadap aliran kepercayaan.
Berdasarkan Surat Menteri Kehakiman tertanggal 18 November 1960 maka dibentuklah Biro Pakem, kemudian dibentuk lagi suatu Badan Koordinasi Pakem dengan suatu panitia yang bersifat interdepartemental dengan anggota-anggota yang terdiri dari para wakil instansi, yaitu: Kebijaksanaan
Departemen Agama
Departemen Dalam Negeri
Departemen Luar Negeri
Kepolisian
Pusat Jawatan Rohani Militer
Panitia tersebut merupakan lembaga pemerintah yang bertugas mengawasi dan menertibkan berbagai kepercayaan yang ada, terutama untuk kepentingan keamanan/ketentraman umum dan membantu pemerintah untuk bertindak tegas dan tepat.
Adanya lembaga tersebut kemudian diperkuat dengan Undang-Undang No. 15 tahhun 1961, yang dalam pasal 3 dikatakan bahwa adalah wewenang dan tugas kejaksaan untuk melakukan pengawasan terhadap aliran kepercayaan.
A. Pengertian aliran kepercayaan
Menurut Prof. Kamil Kartapradja dari IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Syarif Hidayatullah Jakarta, bahwa aliran kepercayaan adalah keyakinan dan kepercayaan rakyat Indonesia di luar agama, dan tidak termasuk ke dalam salah satu agama. Aliran kepercayaan itu ada dua macam:
1. Kepercayaan yang sifatnya tradisional dan animistis, tanpa filosofi dan tidak ada pelajaran mistiknya, seperti kepercayaan orang-orang Perlamin dan Pelebegu di Tapanuli.
2. Golongan kepercayaan yang ajarannya ada filosofinya, juga disertai mistik, golongan inilah yang disebut atau menamakan dirinya golongan kebatinan. Golongan kebatinan ini dalam perkembangannya akhirnya menamakan dirinya sebagai Golongan Kepercayaan Kepada Ketuhanan Yang Maha Esa.
B. Latar belakang sejarah Seperti keagamaan Suku Batak, Suku Dayak, Suku di Nusa Tenggara Timur dan keagamaan orang Jawa. Yang menunjukkan bahwa sejak zaman kuno, sebelum masuknya agama-agama besar seperti Hindu, Budha, Kristen, dan Islam, berbagai suku bangsa di Indonesia sudah menganut animisme, kepercayaan kepada roh-roh ghaib, yang kemudian bercampur dengan agama-agama dunia yang masuk di Indonesia, terutama agama Islam.
Masuknya Islam Tarekat.
Agama Islam yang masuk di Indonesia bukan lagi Islam yang murni tetapi yang sudah dipengaruhi ajaran mistik (tarekat). Tarekat (jalan) adalah suatu aliran dan gerakan yang tumbuh dalam masyarakat Islam dan kehormatan yang diberikan orang kepada para pemimpinnya. Aliran-aliran tersebut memakai nama menurut nama pemimpinnya.
Aliran-aliran tarekat yang masuk di Indonesia misalnya Tarekat Syathariah (abad 16-17) yang didirikan Syekh Syatari, Tarekat Qadiriah yang didirikan Abdul Qadir Jailani (wafat 1165), Tarekat Naksabandiyah yang didirikan Bahaudin Naksabandi (wafat 1315), Tarekat Syadzaliah yang didirikan Abdul Hasan Syadzali (wafat 1258), dan kemudian Tarekat Samaniyah, dan ada juga Tarekat Rifaiyah yang didirikan Ahmad Rifa’i (wafat 1182).
Pada umumnya tujuan tarekat-tarekat itu adalah untuk mencapai hakikat Ketuhanan, yang biasanya ditempuh oleh para anggota (murid-muridnya), dengan melakukan bai’at (janji) lebih dulu ketika memasuki tarekat, kemudian berusaha melalui empat tingkat yaitu “syari’ah” (mempelajari hukum), “tarekat” (menempuh cara-cara tertentu), “ma’rifat” (mengetahui ketuhanan) dan terakhir “hakekat” (kebenaran yang tertinggi).
Di antara tarekat-tarekat itu terdapat yang menyimpang, misalnya Tarekat Rifaiyah lambat laun bukan lagi megutamakan pelajaran ibadah melainkan lebih menonjolkan seni pertunjukannya melukai diri seperti permainan debus dan sebagainya. Atau tarekat-tarekat itu mendalami ajaran yang sifatnya ekstrim dan dapat diperalat untuk melakukan pemberontakan terhadap penguasa dan sebagainya.
Politik Adu Domba
Selama penjajahan Belanda sebagian besar pemberontakan rakyat terhadap Belanda dilakukan oleh gerakan yang berlatar belakang kepemimpinan Islam yang didukung kaum tarekat. Misalnya di Jawa sejak zaman Sultan Agung Mataram, Pangeran di Ponegoro. Pihak Belanda untuk dapat menumpas gerakan perlawanan rakyat itu memperalat para bangsawan pemuka adat, sehingga antara golongan adat dan agama di adu domba.
Selain tidak ada lagi perlawanan rakyat, maka kehidupan tarekat-tarekat dan pendidikan agama Islam dicurigai. Begitu pula dilakukan politik adu domba penganut Islam modern (Muhammadiyah) yang diberi cap Wahabi, dengan penganut Islam (Nahdlatul Ulama) Ahlussunnah, yang disebut kaum lama. Perpecahan umat Islam ini berkelanjutan sampai zaman kemerdekaan. Sementara itu misi Kristen mendapat kesempatan berkembang bebas dan baik.
Zaman Kemerdekaan
Sejak berdirinya negara Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, maka perkembangan agama dan pendidikan Islam berangsur maju di bawah bimbingan Departemen Agama. Begitu pula aliran-aliran kepercayaan tumbuh dan berkembang di bawah pimpinannya yang cendikiawan, sehingga aliran lama muncul kembali dan yang baru tumbuh subur dengan bermacam ragamnya. Sehingga ada di antara kelompok aliran kepercayaan itu yang dapat diperalat Partai Komunis Indonesia sampai meletusnya G30S/PKI.
Di masa orde baru suasana berubah. Umat Islam mereda dari pertikaian masalah ‘furu’’ dan ‘khilafiyah’ yang diwarisi dari zaman Hindia Belanda, kemajuan pendidikan Islam telah melahirkan sarjana-sarjana Islam yang menyadari pentingnya persatuan Islam, diskusi-diskusi ilmiah tentang Islam terus meningkat, tempat-tempat beribadah bertambah baik, umat beragama diarahkan pada kerukunan seagama dan kerukunan antar agama. Sementara itu aliran kepercayaan tumbuh berkembang dan menurut kesamaan haknya dan kedudukannya dengan agama yang resmi diakui, dan di sana sini timbul masalah sosial keagamaan yang baru, misalnya masalah pedukunan dan perkawinan.
C. Dasar Hukum Aliran Kepercayaan
Negara Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Warga negaranya terdiri dari orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang diasahkan dengan undang-undang sebagai warga negara. Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum. Mengenai agama, negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Jadi, negara yang penduduknya bhineka tunggal ika dan berpandangan hidup Pancasila ini mempunyai hak yang sama di dalam hukum. Dengan demikian baik umat beragama mauopun umat non agama yang percaya pada Ketuhanan Yang Maha Esa tidak ada bedanya di dalam hukum kesemuanya mempunyai hak hidup yang sama.
Dasar Perundangan
Di dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pasal 29 (1-2) dikatakan “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Kemudian dalam penjelasan pasal 29 (1) dikatakan bahwa “ayat ini menyatakan kepercayaan bangsa Indonesia terhadap Tuhan Yang Maha Esa”.
Berdasarkan Undang-Undang Dasar tersebut berarti setiap orang atau golongan aliran baik berdasarkan agama ataupun berdasarkan kepercayaan, mempunyai hak hidup di dalam Negara Republik Indonesia dan negara menjamin setiap penduduk yang melakukan ibadah (hubungan dengan Tuhan) baik menurut cara agama yang dianutnya maupun menurut cara kepercayaan yang dianutnya.
Dengan berdasarkan pasal 29 (UUD) 1945 tersebut, maka pada dasarnya orang boleh menganut aliran kepercayaan apa saja, boleh menjadi pendiri dan pembawa ajaran kepercayaan, boleh menjadi dukun atau kyai apa saja, dan boleh beribadat cara bagaimana saja, di dalam Negara Republik Indonesia, sepanjang sikap tindaknya, sepak terjangnya, perilaku kegiatannya, tidak bertentangan dengan Negara Pancasila, tidak mengganggu ketertiban, dan keamanan masyarakat dan tidak berusaha melakukan kekacauan masyarakat atau melakukan pemberontakan terhadap Negara Pancasila.
Dasar Haluan Negara
Di dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) TAP MPR. IV tanggal 22 Maret 1973 di Jakarta, dikatakan bahwa:
Atas dasar kepercayaan Bangsa Indonesia terhadap Tuhan Yang Maha Esa maka peri kehidupan beragama dan peri kehidupan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa di dasarkan atas kebebasan menghayati dan mengamalkan Ketuhanan Yang Maha Esa sesuai dengan falsafah Pancasila.
b. Pembangunan agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa ditujukan untuk pembinaan suasana hidup rukun di antara sesama umat beragama, sesama penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan antara semua umat beragama dan semua penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa serta meningkatkan amal dalam bersama-sama membangun masyarakat.
Kemudian menurut GBHN TAP MPR tahun 1978 Bab IV/D huruf 1 ayat 1, dikatakan antara lain bahwa:
Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa tidak merupakan agama. Pembinaan terhadap kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dilakukan:
Agar tidak mengarah pada pembentukan agama baru.
Untuk mengefektifkan pengambilan langkah yang perlu agar pelaksanaan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Pengawasan dan kebijaksanaan.
Dikarenakan demikian banyaknya aliran paham kebatinan atau kepercayaan, baik dalam bentuk perkumpulan maupun perorangan, yang adakalanya menyebabkan timbulnya kegelisahan masyarakat, dan mengganggu ketertiban serta keamanan masyarakat. Sehingga dikeluarkan Surat Keputusan Perdana Menteri tanggal 21 Maret 1959 No. 122/PM/1959 yang melarangnya. Oleh karenanya, maka pemerintah memandang perlu untuk melakukan pengawasan terhadap aliran kepercayaan.
Berdasarkan Surat Menteri Kehakiman tertanggal 18 November 1960 maka dibentuklah Biro Pakem, kemudian dibentuk lagi suatu Badan Koordinasi Pakem dengan suatu panitia yang bersifat interdepartemental dengan anggota-anggota yang terdiri dari para wakil instansi, yaitu: Kebijaksanaan
Departemen Agama
Departemen Dalam Negeri
Departemen Luar Negeri
Kepolisian
Pusat Jawatan Rohani Militer
Panitia tersebut merupakan lembaga pemerintah yang bertugas mengawasi dan menertibkan berbagai kepercayaan yang ada, terutama untuk kepentingan keamanan/ketentraman umum dan membantu pemerintah untuk bertindak tegas dan tepat.
Adanya lembaga tersebut kemudian diperkuat dengan Undang-Undang No. 15 tahhun 1961, yang dalam pasal 3 dikatakan bahwa adalah wewenang dan tugas kejaksaan untuk melakukan pengawasan terhadap aliran kepercayaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar