Hadits Nabi saw tentang kondisi manusia; "Kedua kaki seorang hamba tidak akan bergeser pada hari kiamat sehingga ditanya tentang empat perkara: tentang umurnya, untuk apa dihabiskannya, tentang masa mudanya, digunakan untuk apa, tentang hartanya, dari mana diperoleh dan kemana dihabiskan, dan tentang ilmunya, apa yang dilakukan dengan ilmunya itu." (HR. Tirmidzi).

Selasa, 07 Juni 2011

Pancasila Masih Pro-Kontra, Bagaimana Sikap Kita?

Oleh: Kholili Hasib

SEJAK bergulir Orde Reformasi hingga kini, Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia masih mengundang pro dan kontra. Setelah diperingati pada 1 Juni kemarin, demam diskusi Pancasila kini cukup tinggi. KH. Cholil Ridwan, Lc, salah satu Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengatakan, Pancasila hanyalah sebagai kendaraan sementara, bukan tujuan utama.

Dr. Adian Husaini, MA, dalam bukunya, “Pancasila bukan untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam” (Jakarta: GIP, 2010) mengatakan, yang terpenting saat ini mendudukkan Pancasila secara tepat dan proporsional. Menurutnya, Pancasila sesungguhnya bukan pandangan hidup Islam, makanya perlu ditafsir secara Islam seperti yang diinginkan perumusnya.

Bagi sebagian kalangan, ideologi Pancasila adalah suatu keniscayaan. Apalagi ketika ancaman disintegrasi sering mencuat paska reformasi. Ideologi ini dapat menjadi ideologi pemersatu bangsa yang beraneka ragam suku, kepercayaan dan agama. Dalam konteks ber-Indonesia, lahirnya landasan negara (Pancasila) yang diperingati pada setiap 1 Juni adalah medium penghantar lahirnya semangat baru untuk selalu berintegrasi.

Roeslan Abdulgani (1976), pernah mengatakan bahwa secara politis Pancasila merupakan lambang rekonsiliasi nasional. Sedangkan arus sentral rekonsiliasi itu menurut Roeslan adalah nasionalisme. “Lima asas (dalam sidang Badan Persiapan Kemerdekaan pada bulan Juni 1945) yang dikemukakan Sukarno adalah nasionalisme, internasionalisme atau kemanusiaan, demokrasi, keadilan sosial, dan last but not least – terakhir tetapi bukan tidak penting – ialah kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa”, kata Roeslan.

Kontroversi Ideologi Pancasila

Akan tetapi, ideologi Pancasila, pasca reformasi, memancing pro-kontra dalam internal umat Islam. Gus Dur pernah memaknai Pancasila secara pluralis. Tiga tahun silam dalam acara Talk Show di Antv (02/06/2008) Gus Dur pernah menegaskan bahwa nilai-nilai kebhinekaan, toleransi dan pluralisme adalah esensi dari Pancasila. Tapi bila pluralisme itu dimaksudkan, berarti itu adalah fenomena keaneka ragaman. Maka ia sebenarnya salah mendefinisikan, sebab keanekaragaman itu bukan pluralisme tapi pluralitas di mana hal itu tidak masalah bagi Islam.

Bagi aktivis Islam Liberal, Pancasila memang ditumpangi sebagai pintu masuk ide-ide sekularisme dan pluralisme. Sila pertama Pancasila Ketuhanan Yang Maha Esa, kata aktivis liberal bukan bermakna Tauhid, tapi sekuler. Seperti dalam buku “Esai-Esai Pemikiran Moh.Shofan dan Refleksi Kritis Kaum Pluralis” (halaman.180), secara filosofis mengandung kebebasan berkeyakinan dan menjalankan ibadah menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Kebebasan di sini berarti bahwa keputusan beragama dan beribadah diletakkan pada tingkat individu tidak terkait dengan campur tangan Negara.

Dalam pandangan Shofan, sila-sila Pancasila secara eksplisit melihat agama merupakan persoalan individu dan bukan persoalan Negara. Tugas Negara hanya memfasilitasi pemeluk agama dan memberi jaminan keamanan menjalankan agama. Jelas tampak bahwa pemikiran Shofan akan menggiring agama kepada ruang yang lebih sempit yaitu ruang privat, nilai-nilai agama boleh saja masuk ruang publik, namun dengan syarat nilai moral religi yang sudah menjadi kesepakatan umum. Pandangan ini sama dengan Jose Casanova yang mempopulerkan istilah deprivatisasi agama.

Piagam Jakarta

Semangat mengegolkan nilai-nilai sekularisme ini sebenarnya tidak hanya diaktivkan pada saat ini, pada awal-awal penetapan Pancasila sebagai asas Negara juga terjadi perdebatan hebat antara nasionalis-sekuler dengan Islam. Kegagalan memasukkan tujuh kata dalam sila pertama, merupakan awal kesuksesan kaum sekuler di Indonesia. Pada saat persiapan kemerdekaan, terjadi perdebatan hebat antara nasionalis-sekuler dangan Islam tentang asas negara. Setelah melalui perdebatan panjang, akhirnya pada 22 Juni 1945 semua pihak sepakat terhadap Dasar Negara Indonesia yang dikenal dengan nama Piagam Jakarta. Poin penting bagi umat Islam dalam Piagam Jakarta tersebut adalah sila pertama Pancasila yang berbunyi: Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Usai kesepakatan Soekarno mengatakan "Saya ulangi lagi bahwa ini satu kompromis untuk menyudahi kesulitan antara kita bersama".

Namun, meski telah disepakati, Lathuharhary tokoh dari pihak Kristen mengkritik sila pertama tersebut dan mengusulkan agar diganti karena akan merugikan pihak Kristen dan kaum adat. KH. Wachid Hasjim, tokoh NU, dan H. Agus Salim membantah bahwa tidak akan ada yang dirugikan karena syariat itu hanya untuk umat Islam saja. Bahkan Soekarno, yang Nasionalis, menanggapi bahwa Piagam Jakarta tersebut adalah hasil jerih payah semua pihak untuk menghilangkan perselisihan faham.

Akan tetapi, Piagam Jakarta yang telah menjadi kesepakatan antara golongan nasionalis-sekuler dengan Islam tidak berumur panjang. Secara mendadak Bung Hatta mengusulkan tujuh kata (Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya) dihapus karena ada ancaman dari pihak Kristen bahwa Indonesia Timur akan melepaskan diri dari NKRI jika tujuh kata itu ditetapkan. Akhirnya pada 18 Agustus tujuh kata tersdbut dihapus dan diganti dengan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Di sini jelas pihak Islam dikhianati. Dan belakangan diketahui bahwa cerita Bung Hatta tentang ancaman disintegrasi dari Indonesia Timur tersebut tidak dapat dibuktikan dalam sejarah. Peneliti muslim mencurigai bahwa semua itu adalah konspirasi Belanda untuk menekan kekuatan Islam di Indonsia. Apakah pihak Kristen-Sekuler berhenti sampai di sini? ternyata tidak. M. Natsir memperingatkan bahwa meski tujuh kata dalam sila pertama digugurkan, kaum Kristen-Sekuler tidak puas. Setelah pemilu pertama (1955) bidang Legislatif, kaum Kristen berusaha keras menggagalkan setiap usaha pengesahan undang-undang yang diinginkan kaum Muslim untuk dapat lebih mentaati ajaran-ajaran agama Islam.

Kegagalan pihak Islam tersebut membuka peluang kaum sekuler untuk memasukkan ide-idenya dalam negara Indonesia. Imbasnya dapat dirasakan oleh umat Islam pada saat ini. Pada zaman Orde Baru, mantan Presiden Soeharto, mencanangkan asas tunggal Pancasila bagi setiap ormas dan organisasi partai politik. Pancasila sebagai satu-satunya ideologi dan pandangan hidup seperti dipaksakan kepada rakyat Indonesia. Umat Islam pada masa itu tertekan, kasus Jilban dan pembantaian umat Islam terjadi pada zaman tersebut. Sementara pihak Kristen-Sekuler terus membayangi pemerintahan.

Pemahaman Pancasila cukup terasa menggiring bangsa Indonesia pada nilai-nilai sekuler dan pluralis. Penulis masih ingat ketika duduk di SMU, para murid diajari nilai moral Pancasila yang diantaranya menyatakan bahwa hakikatnya semua agama mengajarkan kebaikan. Akibat dari pernyataan tersebut, dalam diri siswa tertanan pemahaman bahwa kelima agama di Indonesia adalah sama – yaitu sama-sama mengajarkan kebaikan. Sila pertama sebenarnya juga bermasalah, di dalam dunia pendidikan Ketuhanan Yang Maha Esa, tidak pernah dijelaskan Tuhan yang mana? Dari segi kata memang itu tampak sesuai dengan Tauhid. Yang menjadi masalah adalah yang dimaksud Ketuhanan itu adalah Tuhan yang fleksibel yang diterima oleh semua kalangan dan kepercayaan.

Bingkai Islam

Menyikapi ideologi Pancasila seperti sekarang, pernyataan M. Natsir cukup menarik. "Pancasila memang mengandung tujuan-tujuan Islam, tetapi Pancasila itu bukan berarti Islam" kata Natsir. Bukan berarti Pancasila sudah mewakili seluruh ajaran Islam, ia hanya sebagian kecil dari sekian banyak ajaran Islam. Sejak dihapuskannya tujuh kata dalam sila pertama, Pancasila telah kehilangan ruh Islamnya, disebabkan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya telah diganti. Dan Pancasila dengan konsepnya seperti sekarang telah mengakar kuat.

Oleh karena itu yang bisa dilakukan umat Islam saat ini adalah mengislamkan Pancasila. Tidak ada yang salah jika tujuh kata itu dimasukkan kembali dalam Pancasila. Sebab, Piagam Jakarta – yang didalamnya memuat tujuh kata – memiliki landasan historis. Disamping pengembalian Piagam Jakarta, Pancasila sudah saatnya ditafsir secara Islami.

Hingga saat ini yang mendominasi tafsir Pancasila adalah kelompok-kelompok negarawan sekuler. Akibatnya, Pancasila menjadi tersekulerkan. Padahal yang diinginkan para perumus dari kelompok Islam (KH.Agus Salim dan KH.Wachid Hasyim) tidak bermaksud merumuskan konsep Pancasila yang sekuler, namun beliau ingin membentengi Pancasila dari interfensi kelompok-kelompok nasionalis-sekuler.

Wajar sekali bila kita teliti ternyata KH.Agus Salim dan KH.Wachid Hasyim berusaha sekuat, tenaga di tengah perdebatan hebat dengan kelompok sekuler, memasukkan nilai-nilai Islam dalam Pancasila. Setelah gagal menjadikan Islam sebagai dasar negara, maka jalan satu-satunya bagi Agus Salim dan Wachid Hasyim adalah mengemas Pancasila dengan kemasan yang bermuatan nilai-nilai Islam.

Kenyataannya memang, hanya Islam yang bisa menafsir Pancasila dengan baik. Sila satu misalnya yang berbunyi "Ketuhanan Yang Maha Esa". Untuk mengetahui Tuhan yang mana dalam sila satu tersebut, dapat dirujuk pada pembukaan UUD '45 yang berbunyi "Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa.....". Maka Tuhan yang dimaksud dalam sila satu tersebut adalah Allah. Begitu pula sila-sila selanjutnya, jika diteliti terdapat kalimat/kata yang berasal dari konsep Islam. Contoh "adil dan beradab" (sila ke-2), kata adab adalah konsep Islam. Dalam agama-agama lain tidak mempunyai konsep adab. Contoh lain sila ke-4 terdapat kata musyawarah. Bila diamati sila ke-4 ini tampak bertolak belakang dengan demokrasi. Sebab jelas-jelas sila tersebut menyebut musyawarah (dalam Islam disebut syuro) bukan demokrasi.

Demokrasi jelas beda dengan syuro. Memang para perumus Pancasila – yang di antaranya terdiri dari beberapa Kiai – ingin dasar negara Indonesia lebih Islami tidak tercampur dengan ide-ide sekuler seperti sekarang ini. Maka tugas kita, dalam posisi umat Islam seperti sekarang ada dua, pertama membuang penafsiran yang sekuler, dan yang kedua mengembalikan tujuh kata dalam Piagam Jakarta tersebut, sebab itu adalah hak umat Islam Indonesia yang legal.

Penulis Mahasiswa Pascasarjana Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Gontor Ponorogo Jurusan Ilmu Akidah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri yang Diunggulkan

MENJUAL AGAMA PADA PENGUASA DISIFATI ANJING DALAM AL QURAN

Pemimpin/Ulama adalah cermin dari umat atau rakyat yang dipimpinnya. Definisi Ulama (wikipedia) adalah pemuka agama atau pemimpin agama ...

Popular Post