Masalah dasar negara Pancasila dinilai sudah bermasalah sejak Pancasila itu dilahirkan. Jangankan masyarakat, perumus Pancasila juga kebingungan. Demikian diungkapkan budayawan, Radhar Panca Dahana, dalam sebuah diskusi yang bertema Pancasila di Warung Daun Cikini, Jakarta, Sabtu (4/6).
"Persoalan (Pancasila) besar itu, bukan pada masa reformasi saja. Pada masa Soeharto juga terjadi masalah, zaman Soekarno pun Pacasila terjadi kesulitan. Bisa dikatakan, sejak Pancasila lahir Juni 1945, Soekarno bingung menerapkan sila-sila yang dibuat sama teman-temannya itu sendiri," ujar Radhar dikutip laman Liputan6.com.
Selain itu, menurut Radhar, sebenarnya Pancasila itu tidak bisa dijadikan panduan hidup di negeri ini. "Pancasila belum mampu menjadi pegangan. Bukan perumusannya yang masalahnya, aplikasi itu yang masalahnya, kita hidup hanya memandang slogan. Apakah kita tahu arti setiap sila dalam Pancasila? katanya.
Aktivis muda, Melki Lakalena, mengatakan hal senada. Menurutnya sejak Pancasila lahir pro dan kontra sudah terjadi. Tapi secara tidak langsung Pancasila bisa membuat persatuan di negeri ini, meski sedikit efeknya.
"Tanpa Pancasila itu kita sudah pecah, Pancasila menyelesaikan agama," ungkap Melki Lakalena.
Demam Pancasila
Seperti diketahui, sejak beberapa tahun belakangan, bangsa Indonesia sedang demam Pancasila. Menurut Wakil Ketua MPR RI Ahmad Farhan Hamid, hal ini terjadi sebagai titik balik bagi perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara.
"Dalam masa transisi seperti ini kita tidak bisa bayangkan dalam dunia pendidikan kita. Kita berharap segala hal akan kembali kepada etika politik berbangsa sesuai dengan Pancasila. Penegakan hukum dan relasi sosial juga demikian, dan aspek lainnya," katanya di sela-sela pembukaan pelatihan untuk pelatih sosialisasi empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara, di Sanur, Denpasar, Bali, Jumat (3/6) malam.
Sementara itu Presiden RI Ketiga, Baharuddin Jusuf Habibie, dalam pidato kebangsaan memperingati Pidato Bung Karno 1 Juni di Gedung DPR/MPR, Rabu 1 Juni 2011 mengatakan, ada penyalahgunaan Pancasila di masa Orde Baru yang memicu trauma di masa reformasi. Hal itulah yang menyebabkan Pancasila absen dalam kehidupan berbangsa di Indonesia saat ini.
"Penolakan terhadap segala hal yang berhubungan dengan Orde Baru menjadi penyebab mengapa Pancasila kini absen," kata Habibie.
Menurut Habibie, penolakan Pancasila di awal era reformasi memang akibat ketakutan indoktrinisasi Pancasilai pada masa Orde Baru. Habibie mengakui, di masa lalu terjadi mistifikasi dan ideologisasi Pancasila secara sistematis, terstruktur, dan masif. Pancasila dijadikan senjata ideologis untuk mengelompokkan kelompok yang tak sepaham dengan pemerintah.
Selain itu, ia juga mengajak semua pihak memperkuat empat pilar kebangsaan melalui aktualisasi nilai-nilai Pancasila dan secara bersamaan menjauhkan stigma lama bahwa Pancasila penuh mistis, sakti dan sesuatu yang disakralakan.
“..kita perlu menyegarkan kembali pemahaman kita terhadap Pancasila dan dalam waktu yang bersamaan, kita melepaskan Pancasila dari stigma lama yang penuh mistis bahwa Pancasila itu sakti, keramat dan sakral, yang justru membuatnya teraleinasi dari keseharian hidup warga dalam berbangsa dan bernegara,” ujarnya.*
Hidayatullah
"Persoalan (Pancasila) besar itu, bukan pada masa reformasi saja. Pada masa Soeharto juga terjadi masalah, zaman Soekarno pun Pacasila terjadi kesulitan. Bisa dikatakan, sejak Pancasila lahir Juni 1945, Soekarno bingung menerapkan sila-sila yang dibuat sama teman-temannya itu sendiri," ujar Radhar dikutip laman Liputan6.com.
Selain itu, menurut Radhar, sebenarnya Pancasila itu tidak bisa dijadikan panduan hidup di negeri ini. "Pancasila belum mampu menjadi pegangan. Bukan perumusannya yang masalahnya, aplikasi itu yang masalahnya, kita hidup hanya memandang slogan. Apakah kita tahu arti setiap sila dalam Pancasila? katanya.
Aktivis muda, Melki Lakalena, mengatakan hal senada. Menurutnya sejak Pancasila lahir pro dan kontra sudah terjadi. Tapi secara tidak langsung Pancasila bisa membuat persatuan di negeri ini, meski sedikit efeknya.
"Tanpa Pancasila itu kita sudah pecah, Pancasila menyelesaikan agama," ungkap Melki Lakalena.
Demam Pancasila
Seperti diketahui, sejak beberapa tahun belakangan, bangsa Indonesia sedang demam Pancasila. Menurut Wakil Ketua MPR RI Ahmad Farhan Hamid, hal ini terjadi sebagai titik balik bagi perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara.
"Dalam masa transisi seperti ini kita tidak bisa bayangkan dalam dunia pendidikan kita. Kita berharap segala hal akan kembali kepada etika politik berbangsa sesuai dengan Pancasila. Penegakan hukum dan relasi sosial juga demikian, dan aspek lainnya," katanya di sela-sela pembukaan pelatihan untuk pelatih sosialisasi empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara, di Sanur, Denpasar, Bali, Jumat (3/6) malam.
Sementara itu Presiden RI Ketiga, Baharuddin Jusuf Habibie, dalam pidato kebangsaan memperingati Pidato Bung Karno 1 Juni di Gedung DPR/MPR, Rabu 1 Juni 2011 mengatakan, ada penyalahgunaan Pancasila di masa Orde Baru yang memicu trauma di masa reformasi. Hal itulah yang menyebabkan Pancasila absen dalam kehidupan berbangsa di Indonesia saat ini.
"Penolakan terhadap segala hal yang berhubungan dengan Orde Baru menjadi penyebab mengapa Pancasila kini absen," kata Habibie.
Menurut Habibie, penolakan Pancasila di awal era reformasi memang akibat ketakutan indoktrinisasi Pancasilai pada masa Orde Baru. Habibie mengakui, di masa lalu terjadi mistifikasi dan ideologisasi Pancasila secara sistematis, terstruktur, dan masif. Pancasila dijadikan senjata ideologis untuk mengelompokkan kelompok yang tak sepaham dengan pemerintah.
Selain itu, ia juga mengajak semua pihak memperkuat empat pilar kebangsaan melalui aktualisasi nilai-nilai Pancasila dan secara bersamaan menjauhkan stigma lama bahwa Pancasila penuh mistis, sakti dan sesuatu yang disakralakan.
“..kita perlu menyegarkan kembali pemahaman kita terhadap Pancasila dan dalam waktu yang bersamaan, kita melepaskan Pancasila dari stigma lama yang penuh mistis bahwa Pancasila itu sakti, keramat dan sakral, yang justru membuatnya teraleinasi dari keseharian hidup warga dalam berbangsa dan bernegara,” ujarnya.*
Hidayatullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar