Hadits Nabi saw tentang kondisi manusia; "Kedua kaki seorang hamba tidak akan bergeser pada hari kiamat sehingga ditanya tentang empat perkara: tentang umurnya, untuk apa dihabiskannya, tentang masa mudanya, digunakan untuk apa, tentang hartanya, dari mana diperoleh dan kemana dihabiskan, dan tentang ilmunya, apa yang dilakukan dengan ilmunya itu." (HR. Tirmidzi).

Selasa, 11 Januari 2011

KEWAJIBAN MENGETAHUI HUKUM AKAL

Sesungguhnya tiap-tiap seorang yang hendak mengenal ALLAH Taala dan mengetahui sifat-sifat-Nya maka wajiblah lebih dahulu ia mengetahui akan hukum akal dan bagiannya, karena ia jadi neraca bagi hendak menghukumkan sifat-sifat Tuhan yang diperintahkan mengenal itu. Sekalipun permulaan wajib atas tiap-tiap mukallaf mengenal Tuhan tetapi permulaan wajib untuk mengenal sifat-sifat Tuhan itu ialah mengetahui hukum-hukum akal. Pengertian Hukum Akal Hukum akal itu ialah menetapkan suatu perkara kepada suatu perkara yang lain atau menafikan suatu perkara daripada perkara yang lain dengan tidak berkehendak kepada dicoba pada menetapkan sesuatu perkara itu (bersalahan hukum ‘adi yakni adat) dan tidak tergantung kepada sesuatu perbuatan yang diperbuat oleh mukallaf (yang bersalahan hukum syarii).

Pengertian Akal

Adalah akal itu satu sifat yang dijadikan Tuhan pada manusia sehingga dengan dia terbeda manusia daripada hewan. Maka dengan dialah bisa menerima alam nazariah (pengetahuan yang berkehendak pikir) dan bisa mentadbirkan segala-gala pekerjaan dengan pikiran yang halus-halus dan yang sulit-sulit dan daripadanya tempat terbit dan terpancar berbagai-bagai manfaat dan kebagiaan bagi manusia. Tetapi kiranya akal itu bersendirian maka tidak akan dapat akal sejahtera, akal waras dan akal sehat melainkan berpandu kepada undang-undang syarak, demikian juga undang-undang syarak tidak bisa berjalan mengikut yang dikehendaki melainkan berhajat kepada akal. Walhasil antara kedua-duanya itu berlaziman dan berhajat antara satu dengan yang lain (akal berhajat kepada syarak dan syarak berhajat kepada akal).

Dalam syariat atau perundangan Islam, terdapat kaedah feqah atau qawa’idul fiqh yang menetapkan bahwa kalau perjalanan menuju ke satu-satu matlamat (tujuan) itu wajib, maka menempuh jalan-jalan yang membawa ke matlamat itu dikira wajib juga. Untuk memahaminya, kita perhatikan satu contoh. Bagi mendirikan sembahyang, kita wajib berwudhuk dengan air. Katakanlah kita berada di satu kampung yang tidak terdapat sumber air semulajadi seperti air perigi, air mata air, sungai, laut, dan sebagainya. Dan satu-satunya jalan yang mudah untuk mendapatkan air ialah dengan menggali perigi. Maka menggali perigi itu hukumnya wajib. Inilah yang dimaksudkan dengan kaedah feqah tadi: Bila satu-satu matlamat itu wajib, menempuh jalan-jalan untuk menuju ke matlamat itu juga wajib. Dan begitulah dengan kaedah mengenal ALLAH SWT. Hukum mengenal ALLAH itu wajib, malah ia diletakkan pada tempat yang pertama dan utama dalam ajaran Islam. Seseorang itu tidak akan dapat mengenal ALLAH dengan setepat-tepatnya kalau dia tidak mengetahui hukum akal. Dengan mengetahui hukum akal, ia menjadi sebab untuk kita mengenal ALLAH SWT.

Oleh itu, mengetahui hukum akal itu wajib. Apakah takrif hukum akal Hukum akal ialah menetapkan sesuatu perkara kepada suatu perkara yang lain, atau menafikan suatu perkara daripada perkara yang lain. Dan dalam menetapkan sesuatu hukum itu, ia tidak berkehendakkan kepada dicoba. Misalnya, dua campur dua, empat. Dalam hal ini, akal menetapkan dua campur dua itu sama dengan empat. Begitu jugalah dalam hal-hal lain yang seumpama ini. Akallah yang menetapkan satu-satu hukum itu, bukan adat dan bukan juga syarak. Apabila hukum itu ditetapkan oleh syarak, ia bersumberkan Al Quran dan hadis. Tetapi dalam hal-hal seperti tadi, akal saja yang menetapkannya.

Satu contoh yang lain ialah, seorang anak itu tidak bisa menjadi lebih tua daripada ayahnya dalam masa (waktu) yang sama. Atau dengan kata-kata lain, seorang anak itu tidak bisa lebih dahulu daripada ayahnya. Hukum seperti ini hanya ditetapkan oleh akal. Akal kita mengatakan bahwa seorang ayah itu pasti lebih tua daripada anaknya. Contoh lain, setiap jirim ataupun benda mempunyai sifat-sifat yang mendatang, termasuk sifat-sifat yang berlawanan antara satu dengan yang lain. Umpamanya sifat gerak dan sifat diam. Setiap benda atau jirim bisa bergerak atau digerakkan, dan bisa diam atau didiamkan. Tangan kita misalnya, adalah satu jirim atau benda, dan ia bisa bergerak dan bisa diam. Sifat gerak dan diam itu dua sifat yang berlawanan.

Menurut hukum yang telah ditetapkan oleh akal, dua sifat yang berlawanan ini tidak bisa terjadi serentak dalam satu ketika. Artinya, tangan kita ini tidak bisa bergerak dan diam dalam satu masa yang sama. Kita bisa gerakkan tangan kita dan kita bisa diamkan ia. Bisa jadi selepas kita gerakkan, kita diamkan ia, atau selepas ia diam kita gerakkan. Untuk kita gerakkan dan kita diamkan tangan kita serentak, tentu tidak bisa. Begitu juga diri kita ini, tak bisa kita lakukan gerak dan diam serentak. Contoh sifat berlawanan yang lain ialah malam dan siang. Mana bisa malam dan siang itu berlaku dalam masa yang sama. Ia belum pernah terjadi. ‘Dan begitulah seterusnya dengan sifat-sifat berlawanan yang lain. Tidak akan berlaku sifat-sifat berlawanan itu serentak dalam satu jirim. Yang bisa berlaku ialah secara bergilir-gilir. Di antara gerak dan diam misalnya, bisa jadi gerak berlaku dahulu kemudian baru diam, atau bisa jadi diam berlaku dahulu kemudian baru gerak. Begitu juga antara siang dengan malam bisa jadi siang berlaku dahulu, kemudian baru malam, atau malam dahulu kemudian baru siang.

Semua ini, akal yang menetapkannya, bukan adat dan bukan syarak. Ini yang dikatakan hukum akal. Untuk lebih jelas, kita turunkan satu contoh lagi. Akal telah menetapkan bahwa dua atau tiga dan sebagainya lebih banyak daripada satu. Dan satu itu kurang daripada dua atau tiga, dan sebagainya. Akal telah menetapkan demikian dan sekali-kali akal tidak bisa menerima yang satu itu lebih daripada dua atau tiga dan sebagainya. Kemudian, hukum akal ini tidak perlu dicoba-coba. Umpamanya, hukum akal yang menetapkan bahwa ayah itu lebih tua daripada anak, tidak perlu dicoba-coba seperti kita banding-bandingkan antara anak dan ayah. Tak perlu dibuat demikian karena secara spontan akal menerima bahwa anak itu lebih muda daripada ayah, atau ayah itu lebih tua daripada anak. Jadi, hukum akal yang menetapkan bahwa ayah itu lebih tua daripada anak tak perlu dicoba-coba.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri yang Diunggulkan

MENJUAL AGAMA PADA PENGUASA DISIFATI ANJING DALAM AL QURAN

Pemimpin/Ulama adalah cermin dari umat atau rakyat yang dipimpinnya. Definisi Ulama (wikipedia) adalah pemuka agama atau pemimpin agama ...

Popular Post